Hai semua ... Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komen, vote, serta gem untuk mendukung penulis yah, terima kasih🙏
"Kau yakin akan meneruskan misi ini secepatnya?" tanya Arya sekali lagi. Saat ini keduanya berada di ruangan Alex. Dua lelaki itu sudah berunding sejak tadi mengenai rencana yang sempat tertunda karena kecelakaan Roy. Dan Alex memutuskan untuk tetap meneruskannya, meski ia sendiri belum yakin apa sanggup menjalankannya tanpa bantuan lelaki itu. "Baiklah. Tapi, sebaiknya kita lebih hati-hati lagi, Lex. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Roy, menimpa kita juga." Arya terus berusaha mengingatkan. Selain itu ia juga sudah menugaskan beberapa orang untuk berjaga dan mengawasi ruangan Roy dari jarak jauh. "Apa ada laporan yang mencurigakan dari orang suruhan kita?" Sesaat Alex mengehentikan tangannya yang sejak tadi bermain-main di papan ketik itu. Pandangannya serius menatap ke arah lelaki yang ada di sebelahnya. "Belum ada, Tuan. Tapi ....?" Sejenak Alex mencoba mengingatnya lagi. Malam itu ia baru saja tiba di rumah sakit setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor. Alex yang
"Jadi, maksudmu ...? Ya Tuhan .... kenapa tega sekali tidak memberitahuku dari awal!" Airin sampai geram sendiri mengetahui Alex menyembunyikan hal sepenting itu darinya. "Maaf, aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir." Bukannya tersanjung oleh ungkapan suaminya baru saja, Airin malah meleotot dan terlihat sangat marah. "Jadi, kamu mengkhawatirkanku, begitu? Lantas, bagaimana dengan Elisa?" ucapnya dengan wajah yang berapi-api. "Elisa, maksudmu?" Alex masih tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. Kenapa mendadak menyinggung nama Elisa? Apa mungkin ia cemburu dengan wanita itu lagi? "Maksudku, kamu sengaja mengorbankan Elisa!" tanya Airin dengan wajah yang sudah di liputi emosi. Sungguh ia tidak akan terima jika Elisa di perlakukan seperti itu. "Bukan begitu maksudku." Alex lebih mendekat lagi. Mensejajari istrinya yang tengah duduk di atas ranjang, "Roy memang membatuku, tapi atas permintaan dari Tuan Arya." Airin merasa sedikit lega mendengarnya. Namun saat ia mengingat kesala
Setelah meluruskan kesalahpahaman yang selama ini terjadi, akhirnya Airin bisa bernapas lega karena Elisa sudah benar-benar memaafkannya seperti perkataan Alex waktu itu. Entah apa yang membuat Elisa sampai berubah sedratis itu, yang pasti Elisa sekarang terlihat lebih dewasa dan mandiri. Berbeda sekali dengan sifatnya dahulu yang terkesan manja, menyebalkan, dan bertindak sesuka hati. Airin sampai melongo di buatnya, padahal ia sudah khawatir jika wanita itu akan marah dan membalasnya tak kalah sengit, nyatanya Elisa hanya tersenyum dan langsung memaafkannya dengan mudah. "Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kau meminta maaf." Ucapan Elisa terdengar tulus dan tanpa paksaan sama sekali. Airin yang semula ragu akhirya langsung memeluk tubuh sahabatnya itu dengan perasaan lega. "Sekali lagi maafkan aku, El. Aku bodoh karena lebih mempercayai orang lain ketimbang sahabatku sendiri." Mereka berbaikan tepat di ruangan itu juga. Tempat di mana terjadi keributan beberapa hari yang lalu
Nyonya Sintia terjaga saat tiba-tiba ia seperti mendengar suara orang yang tengah memanggil. Ia coba mendengar lebih jelas lagi di mana asal suara itu, lantas ia begitu terkejut karena yang memanggilnya sedari tadi adalah putrinya sendiri. "Mi, sakit ...!" Elisa merintih, meraskan kontraksi itu yang tiba-tiba datang lagi. Nyonya Sintia segera bangkit dan menghampiri Elisa yang sudah terlihat sangat kesakitan. "Maafkan Mami, El." Nyonya Sintia ingin segera menekan tombol yang ada di samping ranjang untuk memberikan informasi pada dokter agar segera datang. Namun, belum sempat tangannya sampai ke tombol tersebut, Elisa sudah lebih dulu mencegahnya. "Tidak perlu memanggil Dokter, Mi. El baik-baik saja," cegah Elisa. Meski berulangkali ia meringis menahannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Kau kesakitan, El! Mami tidak tega melihatmu seperti ini." Perempuan paruh baya itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran putrinya, kenapa Elisa malah menolak saat ia akan memanggil dokter? "Aku hanya t
Setelah melalui drama panjang lebih dahulu, akhirnya Airin dan Alex tiba di rumah sakit tepat pukul tiga malam. Mereka bergegas melalui lorong-lorong yang sepi untuk menuju ke ruang rawat Roy. Tiba di sana Airin terlihat terkejut mendapati Elisa masih duduk di samping ranjang suaminya. Ia pikir wanita itu sudah di berada di ruang persalinan dan menunggu detik-detik anak keduanya akan lahir ke dunia. Tapi ternyata wanita itu masih bersikeras untuk tetap tinggal dan tidak beranjak sedikitpun dari sisi sang suami. "El ...?" Airin mendekati Elisa yang terkadang meringis menahan sakit. Wanita itu sudah terlihat pucat dan keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya. "Apa tidak sebaiknya kamu istirahat di ruang bersalin?" Jika sejak tadi Mami Sintia yang mencoba membujuknya, kali ini pertanyaan itu berasal dari sahabatnya yang baru saja datang. Elisa menggeleng lemah, dengan sesekali menggigit bibir bawahnya sendiri untuk mengurangi rasa sakit itu. "Aku nggak apa-apa, Rin. Aku nggak mun
Alex dan Airin langsung terkejut mendengar penjelasan yang Dokter sampaikan. Tapi tidak dengan kedua orang tua dari wanita itu. Mereka sudah menduga jika Elisa harus menjalani operasi lagi untuk persalinan keduanya. Selain pengalaman pertama Elisa yang memang melahirkan secara cesar, air ketuban milik wanita itu juga sudah hampir mengering. Jadi, Dokter meminta pada pihak keluarga untuk secepatnya mengambil keputusan agar bisa di lakukan tindakan. "Lakukan yang terbaik untuk putriku, Dokter." Tuan Andreas langsung menyetujui saran dari Dokter untuk melakukan operasi. Baginya yang terpenting sekarang adalah keselamatan Elisa dan calon cucunya. "Baik, Tuan. Kami akan berusaha memberikan yang terbaik." Semua sudah di persiapkan di ruangan itu juga. Termasuk beberapa perawat yang akan membantu proses persalinan juga sudah berdiri di sana. Elisa yang sejak tadi berbaring hanya bisa menunggu sembari meringis merasakan sakit yang terkadang datang. Sesekali matanya menatap ke arah Roy yang
"Apa!! Yang benar saja kau, El! Kenapa kau memakai namaku untuk anak keduamu?" Alex langsung melotot seraya menatap tak percaya pada dua wanita yang tengah berbincang di depannya. Bagaimana mungkin Elisa mengambil namanya dan memberikannya pada putri kecilnya yang baru lahir tiga hari yang lalu."Memangnya kenapa? Bukankah itu keren jika kalian memiliki nama yang sama?" Elisa semakin menggoda Alex dengan mimik wajah yang di buat-buat. Sebenarnya ia sengaja menggunakan nama itu, karena ia tahu Roy sangat tidak menyukai Alex. Ia berharap Roy akan segera bangun dan memarahinya karena telah memberikan nama putri mereka persis dengan nama lelaki yang sangat ia benci."Lagian kenapa sih! Dia 'kan juga keponakanmu?" Gantian Airin melakukan pembelaan. Wanita itu malah merasa senang dengan nama yang Elisa pilihkan."Kau – ....!" Alex hanya mampu mengeram kesal. Ia tidak mungkin melawan dua wanita yang ada di depannya itu. "Dasar, istri ... !" Alex kebingungan ingin memaki Airin dengan sebutan a
Kali bukan hanya suara, tapi Elisa merasakan ada yang menarik-narik di ujung rambutnya. Tangan yang masih ia gengam pun terasa bergerak perlahan. Elisa memutuskan untuk mendongak. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan pandangan pertama kali yang ia lihat adalah ... "Ka–k!!" Ia seperti mimpi saat menatap wajah itu dengan mata yang terbuka. Sampai-sampai Elisa mencubit pipinya sendiri untuk memastikan apa yang di lihatnya memanglah nyata. "Kak ka–mu ...?" Bahkan untuk melanjutkan ucapannya saja Elisa tidak sanggup. Suaranya seakan tercekat sampai di tenggorokan saja. Hanya cairan bening yang perlahan menetes dari kedua sudut mata. "Jangan menangis." Suara itu semakin meyakinkan Elisa bahwa ini bukanlah mimpi. Tangan Roy terulur mengusapnya perlahan. Elisa segera menghambur kepelukan lelaki itu. Menumpahkan segala kerinduan yang sudah sejak lama ia pendam. "Aku tidak mimpi, kan?" Elisa berbisik sekali lagi. Seakan masih belum percaya dengan apa yang di alaminya saat ini. Elisa