"Aku tidak suka sepatu tinggi, Gamma," protes Serra kepada suaminya saat seorang pelayan menyusun beberapa display sepatu dihadapannya. Barang rekomendasi yang diminta Gamma beberapa menit yang lalu. "Aku takut jatuh," lanjut perempuan itu kembali.Gamma yang sedang mengamati sebuah sepatu kulit untuk pria segera menolehkan kepalanya ke arah Serra. Detik berikutnya kedua alis pria itu menyatu dengan sempurna. Lelaki itu menepati kata-katanya, mengajak Serra pergi ke sebuah tempat. Sepasang suami istri itu kini berada pada pusat perbelanjaan yang cukup ramai dan mereka telah berdiri di dalam sebuah fashion shop yang cukup terkenal. Hari ini Gamma cukup berbeda. Selain perlakuan manisnya pagi tadi, lelaki itu juga sejak tadi berikap lembut dengan Serra, meski dalam beberapa kesempatan lelaki itu masih menampakkan ekspresi datar. Dan anehnya lagi, Gamma tidak mengajak Romana ataupun William. Ia memilih menyetir sendiri dengan Serra.Ya berdua.Hanya berdua saja.Kedua pualam hitam mil
"Bian?" Gamma menghentikan gerakan tangan untuk membuka layar ponsel ketika mendengar suara Serra menyebutkan nama seseorang yang tidak asing di telinga. Pria itu kini sedang berdiri di sudut ruangan dengan maksud mencari tempat dengan suasana yang tidak terlalu ramai, mencari ketenangan karena Rencananya Gamma akan menelpon William untuk menanyakan pekerjaan. Akan tetapi ia urungkan niat itu karena terganggu dengan ucapan istrinya. Ponsel yang sudah ia keluarkan dari saku celana pun kini ia masukkan kembali. Setelahnya pria itu melangkah maju lebih dekat, ia memasang telinga baik-baik, dan menajamkan indera penglihatan. Benar, seorang pria bertato naga itu sudah berdiri di hadapan sang istri. Bian Aditama, orang yang sempat membuat hubungannya dengan Serra kacau. Untuk apa lelaki itu ada di tempat ini? Namun pertanyaan itu hanya ia simpan dalam hati tanpa berani menginterupsi. Nanti saja, ia hanya ingin tahu bagaimana interaksi Serra dan Bian jika mereka tak melihat dirinya. Gamm
Sebuah mobil hitam dengan harga milyaran telah membaur dengan kendaraan lain, memadati jalanan kota metropolitan yang cukup sesak walau di siang hari. Kendaraan beroda empat itu sudah melaju selama 10 menit lamanya, begitu juga dengan dua orang di dalamnya menghabiskan waktu dengan tanpa suara. Serra dan Gamma, sepasang suami istri itu masih bertukar geming, diam bagai pasukan pengibar bendera yang sedang mengheningkan cipta.Sejak keluar dari pusat perbelanjaan tadi, tidak ada interaksi lebih lanjut dari kedua insan itu. Gamma yang fokus dengan jalanan dan Serra yang memilih bungkam, mengamati pergerakan kendaraan lain pada kaca spion. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan lebih dulu, keduanya sama-sama berkutat dengan banyak hal dalam kepala masing-masing.yang terdengar Hanya deru mesin mobil yang mereka tumpangi, juga suara klakson kendaraan lain yang bertegur sapa.Serra yang tak ingin berlama-lama dengan suasana ini lantas membuang napas pelan. Hubungannya dengan Gamma baru saj
“Ada bulu mata jatuh,” kata Gamma seraya menyingkirkan helaian rambut kecil yang jatuh itu menggunakan telunjuk kanannya. Menggesernya dengan Perlahan dan hati-hati, agar tak merusak riasan make up pada wajah istrinya. Posisi mereka masih tanpa jarak, mungkin bisa dikatakan mereka sedang berpelukan.Detik berikutnya, kedua kelopak mata Serra yang sempat terpejam terbuka kembali. Sayangnya, begitu membuka mata, sepasang pualam hitam itu bertemu lagi dengan milik sang suami. Ada sebuah rasa nyaman yang merambat dalam hati yang mampu membuat kedua insan itu hanya diam pada posisinya. Menikmati deru napas lembut yang beradu. Dan, entah kenapa mereka sama-sama menikmati kedekatan itu, Gamma yang enggan melepas pelukan dan Serra yang ingin menikmati momen ini lebih lama lagi.Gamma yang lebih dulu mendapatkan kesadarannya. Pria itu lantas memutus kontak mata dan segera membentangkan jarak pada istrinya.“Kita berangkat sekarang, aku tunggu di luar!” tuturnya kemudian melenggang pergi mening
"Gamma ...."Suara panggilan dari Serra tidak ditanggapi Gamma dengan sepatah kata pun. Lelaki itu hanya sibuk dengan setir mobilnya fokus pada jalanan di hadapannya. Meski baru beberapa kali Serra pergi berdua dengan Gamma, ia tahu benar jika suaminya itu sedang tidak baik-baik saja.Sejak menariknya untuk pulang dari pesta, Gamma sama sekali tidak mengajak Serra berbicara, padahal saat mereka berangkat lelaki itu cukup hangat walau masih dengan sikap arogannya.Otot-otot tegang pada wajahnya yang tegas belum mengendur, rahangnya masih mengeras, juga injakan pedal gas yang terasa dipijak dengan kuat. Laju mobil mereka bahkan cukup kencang dibandingkan dengan biasanya.Entah apa yang baru saja dialami oleh suaminya, Serra tidak mengerti. Ia ingin tahu. Namun tak berani membuka interupsi, hanya menyimpan pertanyaan itu dalam hati. Suasana hati lelaki itu sedang buruk. Biasanya jika diberikan pertanyaan, suasana hati Gamma akan lebih memburuk. Semuanya akan sia-sia, hanya akan berakhir
Di kantor."Jadi semalam kau bertemu Rossa."William menutup sebuah buku yang sedang ia baca, kemudian meraih secangkir teh yang telah dibuatkan oleh sekretarisnya beberapa saat yang lalu. Sementara Gamma sedang duduk di hadapannya hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon, ia juga sedang memegang sebuah cangkir berisi teh hangat yang sama. Lelaki itu sedang berkunjung ke ruangan William membahas beberapa laporan yang telah ia pelajari pagi tadi."Lalu masalahnya dimana?" tanya William kembali."Banyak!" jawab Gamma setelah mendecakkan bibirnya.Lelaki berkemeja abu-abu itu segera menautkan kedua alisnya saat tak mengerti apa yang dimaksud banyak masalah oleh sang kakak. Semalam lelaki itu pergi ke pesta, tetapi mereka pulang begitu cepat dengan alasan Serra mual dan muntah karena banyak wine ketika ditanya oleh Romana.Tetapi hari ini Gamma mengutarakan kalimat yang berbeda. Pria berusia kepala tiga itu memang bercerita tenta
Menjadi istri dari seorang pebisnis terkenal adalah impian bagi banyak wanita. Sebab, mereka tidak perlu repot-repot membanting tulang dan menghabiskan tenaga untuk bekerja. Tidak perlu memikirkan bagaimana makan di hari esok, hanya diam di rumah, shopping, dan menghabiskan jatah bulanan yang telah diberikan oleh suami. Menjadi istri Gamma, misalnya.Siapa perempuan yang tidak ingin hidup berkecukupan dan bergelimangan harta seperti itu? Semua orang pasti menjawab mau. Begitu juga dengan Serra. Akan tetapi perempuan yang sedang berbadan dua itu tidak setuju jika diminta di rumah saja dan berfoya-foya menghabiskan uang. Itu bukan budayanya. Ia tidak suka.Kebiasaan bekerja yang telah ia lakukan bertahun-tahun membuat tubuhnya tak bisa untuk diam begitu saja.Walaupun Gamma sudah memberikan materi yang sepuluh kali lipat dari gajinya saat bekerja dahulu, Serra tak berminat menghambur-hamburkan uang itu. Rasanya sayang, jika digunakan tak sesuai dengan kebutuhan.Pada tengah hari yang t
Pekikan itu spontan lolos dari bibir Romana karena Lagi-lagi perempuan paruh baya itu memergoki putra dan menantunya sedang memadu cinta di dalam rumah ini. Tidak masalah sebenarnya jika mereka ingin berbuat apa. Hanya saja mengapa harus di ruangan yang terbuka seperti ruang tengah ini? Untung saja sekarang Romana dan William yang memergoki mereka. Bagaimana bila tiba-tiba ada tamu atau orang asing yang masuk ke dalam rumah ini? Tentu akan berbeda cerita jika sepwrti itu masalahnya.Sementara sepasang suami istri yang sedang terbalut gairah panas itu seketika melepaskan pagutan. Serra melipat bibirnya, dan menundukkan kepala sedangkan Gamma memejamkan matanya melebur gelora yang sempat membara.Sekonyong-konyong api yang membara itu padam begitu saja. Hilang entah kemana membuat kedua insan itu tak selera. Bahkan Serra reflek turun dari pangkuan Gamma, suaminya."Maaf, sayang, ibu mengganggu aktivitas kalian!" ujar Romana seraya menampilkan barisan giginya yang putih. Perempuan berum
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika