“Itu artinya, Wanita itu juga mandul.”
Firman terdiam, mungkin saja apa yang di katakan Amira itu benar. Namun pertemuan yang tak terduga antara mereka berdua tadi siang, membuat Firman belum sempat banyak bertanya pada Nirmala. Keadaan rumah tangga Nirmala berasama pak Husen saja, ia belum memastikan sepenuhnya. Ia bahkan tidak terpikirkan, apa Nirmala memang belum sama sekali memiliki keturunan. “Kenapa Mas diam? Benar dugaanku bukan, kamu memang mencintainya. Bukan hanya menginginkan seorang anak.” Amira kembali mencecar sang suami. Firman hanya membisu, ia bingung untuk merangkai kata-kata yang akan ia ucapkan. Ia juga takut salah bicara, dan akan semakin memperparah keadaan. Akhirnya pria itu, kembali merebahkan tubuh. Menarik selimut, hingga hampir seluruh tubuhnya tertutupi. Membiarkan sang istri, dengan amarah yang belum mereda. Pagi ini, Firman mengerjapkan mata, bangun dan ingin memulai aktifitas. Menemukan Nirmala, dan memutuskan hal yang besar serta terlibat keributan dengan sang istri membuatnya begitu lelah. Setelah melihat Amira di dapur pagi ini, Firman sedikit lega. Amira sudah nampak tenang, tak ada menujukkan kemarahan seperti semalam. Tak ada juga, ocehan yang keluar dari bibirnya. Ia bahkan masih menyiapkan keperluan Firman seperti biasa, tanpa ada yang berbeda. Firman akan membiarkan Amira sedikit tenang untuk beberapa waktu. Ia tahu, keputusannya untuk menikahi Nirmala, akan melukai sang istri. Tak ada obrolan penting keduanya di meja makan pagi. Mereka berdua, menghabiskan sarapan dengan tenang. “Sayang, sepertinya Mas akan pulang sore hari ini. Para pesaham akan berkunjung keperusahaan.” Ucap Firman, sembari kembali menyuapkan sarapan yang di buat sang istri. “Iya Mas, aku juga akan berkunjung kerumah ibu hari ini.” Ucap Amira dengan tenang. “Kenapa, bukankah dua hari yang lalu kamu juga baru berkunjung kesana?” “Tidak apa-apa, aku bosan di rumah.” Meski curiga, Firman tentu tidak dapat menahan sang istri. Setelah selesai sarapan, Firman pun pergi.Sementara Amira, juga bersiap. Karena motor miliknya tertinggal di kos tempat Nirmala berada, ia terpaksa memesan ojek online. Sesampainya di kantor, Firman bekerja seperti biasa. Sebenarnya tidak ada kunjungan dari siapa pun, di kantornya hari ini. Ia bahkan berniat untuk pulang lebih awal. Pikirannya terus tertuju pada Nirmala, wanita yang akan segera ia nikahi. Bahkan, ia terlihat begitu gelisah. Setelah lewat setengah hari, Firman memutuskan untuk pulang. Ia merasa tak bisa menyelesaikan pekerjaan, jika pikirannya tidak berada di tempat. Seperti yang sudah ia rencanakan, ia kembali menemui Nirmala. Entah mengapa, debaran di hatinya kian terasa. Impian untuk memiliki Nirmala sejak dulu, akhirnya hampir menjadi nyata. Ia bahkan melupakan, jika Nirmala sudah terjerembab dalam dunia hitam. Dia dengan cepat melajukan mobil kearah kos-kosan. Jarak antara kos-kosan dan rumahnya memang cukup jauh, sekitar empat puluh menit. Membuatnya merasa aman, tidak munngkin Amira akan menyusulnya lagi. Lagi pun, Amira hari ini pergi kerumah orang tuanya. Tok tok... Firman mengetuk pintu, setelah tiba di lantai dua. Jika siang hari, gerbang kos-kosan ini tidak di kunci oleh pemiliknya. “Nirmala,” tak ada sautan dari dalam. “Nirmala, Nirmala.” Karena tak ada sautan, Firman pun meneluarkan benda pipih dari saku celananya. Saat jarinya sudah mengotak-ngatik benda itu, ia pun menepuk dahi. “Ah, bagaimana ini. Aku bahkan lupa untuk menyimpan nomor hpnya.” Ucap Firman kesal. Ia pun memutar badan, hendak turun dan meminta kunci cadangan pada ibu kos. Ia yakin jika Nirmala, berada di dalam. Namun saat sudah menuruni beberapa anak tangga, ia melihat Nirmala. Namun, mata Firman seketika membulat, bagaimana tidak Doni nampak begitu asyik mengajak Nirmala mengobrol. Sampai-sampai tidak menyadari, jika ia sudah sudah berdiri tak jauh dari mereka. “Nirmala,” “Mas,” Mereka bertiga sama-sama terkejut. “Sedang apa Mas di sini?” “Tentu saja untuk bertemu denganmu, untuk apa lagi?”Ucap Firman, namun ia mentap kearah Doni. Menyadari ada sedikit amarah di tatan Firman, Doni langsung menggeser tubuhnya menjauh. “Tadi Nirmala lapar, jadi kutemani dia membeli makanan.” Penjasan Doni dapat di mengerti olehnya. “Ya sudah Nirmala, aku pergi dulu.” Doni pun meninggal mereka berdua. Ia paham jika ada hal penting yang ingin Firman sampaikan. “Ayo naik, ada hal yang perlu kita bicarakan.” Ucap Firman sembari menarik tangan Nirmala, karena Nirmala hanya diam. “Kenapa harus naik, bukankah di atas tidak ada kursi? Lalu apa dia mengajak ku bicara di kamar? Mas Firman benar-benar sudah berubah.” Guman Nirmala dalam hati. Meski tidak suka, ia tetap mengikuti langkah Firman. “Kita mau bicara di mana Mas?” “Di kamarmu.” Firman menjawab dengan santai. “Tapi, apa tidak masalah? Bagaimana kalau ibu kos tahu? Kitakan belum menikah.” “Aku sudah menjelaskan pada ibu kos semalam, lagi pun aku sudah lama mengenal mereka.” Setelah memasuki kamar, Firman duduk di tepi tempat tidur. Ia terus memeperhatikan wajah Nirmala. Dulu, jangankan untuk berduan di sebuah ruangan, duduk di tepi jalan saja ia sudah sangat senang. “Mas, apa yang ingin Mas bicarakan?” ucap Nirmala memulai pembicaraan. “Mengenai pernikahan kita,” “Apa mbk Amira sudah setuju?” “Belum, sepertinya ia berat menyetujui jika aku menikah denganmu.” Firman mulai menggeser tubuhnya, agar lebih dekat dengan Nirmala. Perlahan ia mulai menyentuh, dan menggenggam posesif tangan Nirmala. “Lalu, bagaimana?” Nirmala sebenarnya hendak menarik kembali tangannya dari genggaman Firman, namun karena genggaman itu cukup kuat, ia hanya tak bisa melakukannya. “Kita akan tetap menikah, tapi beri aku waktu.” “Waktu? Waktu untuk apa, Mas?” tanya Nirmala lagi, ia belum bisa membaca renca Firman kedepan. “Waktu untuk mengurus pernikahan kita, dan membujuk agar kalian bisa tinggal bersama di rumah.” Jawaban Firman bukanlah jawaban yang di inginkan Nirmala, ia berharap Firman dapat melepaskannya. Atau bahkan, memilih salah satu di antara mereka berdua. Menjadi yang kedua, tentu akan membuat orang-orang memandangnya rendah. Belum lagi harus memikirkan, bagaimana menghadapi keluarga Amira. Mereka pasti akan, mengintimidasinya jika bertemu. Tapi, jika ia lari dari cengkraman Firman pun tidak mungkin ia lakukan. Kemana ia akan pergi, bagaimana jika ia kembali terjerat oleh seseorang seperti mami Erni. Atau bahkan lebih buruk, jika pak Husen menemukannya maka laki-laki tua itu sudah pasti akan kembali menyeretnya untuk pulang. “Nirmala, kenapa kamu diam? Apa ada yang salah?” ucap Firman sembari, menyentuh wajah Nirmala. “Tidak Mas, aku hanya merasa bersalah sama mbk Amira. Bagaimana pun, aku orang ketiga diantara kalian.” Firman menghela nafas. Mentap Nirmala dalam. “Aku ingin tahu, bagaimana perasaanmu pada ku saat ini Nirmala? Apa masih ada cinta di hatimu untukku?” Nirmala terdiam, jauh dari lubuk hatinya, cinta untuk Firman tak pernah memudar. Bahkan ia pernah berharap, jika Firman akan menjadi miliknya. Namun keadaan saat ini, membuat hati kacau dan dilema. Tiba-tiba Firman mendekatkan wajahnya, hingga wajah mereka berdua berdekatan tanpa jarak.Pangutan demi pangutan terus Firman lakukan, hingga beberapa saat berlalu. “Nirmala, kenapa?” Dahi Firman mengernyit, menatap wanita yang ada di depannya dengan heran. Sentuhan yang baru saja ia lakukan, ternyata tak mendapat sambutan hangat dari sang wanita. Nirmala hanya diam, mengatup kedua bibirnya.“Apa aku sehina itu, Mas?” Firman seketika menarik tubuhnya menjauh. Tatapan sendu dari mata Nirmala, seakan mendorong tubuhnya dengan keras. Bola mata hitam itu, mulai terlihat berkaca-kaca.“Nirmala, maafkan aku.” Kembali Firman meraih tangan Nirmala. Terasa dingin, dan bergetar.“Aku, benar-benar minta maaf.” Firman sunguh tidak menyangka, jika Nirmala merasa terhina akan apa yang telah ia lakukan.Ia heran, mengapa bisa seperti ini. Bukankah Nirmala sudah menikah, dan bekerja di rumah bordir? Lalu mengapa Nirmala menolak. Firman sempat berpikir, jika Nirmala juga menginginkan kemesraan dengannya. Tapi nyatanya, ia malah menyakiti sang wanita.“Mas, pulanglah. Hidupku sudah berge
“Bukankah nama majikan Ayah dulu pak Husen juga?” ucap Ibu, sembari mengkerutkan keningnya. “Oh iya benar, pantas Ayah merasa tidak asing. Tapi, yang namanya pak Husen bukan hanya satu Bu.” “Orang mana memangnya mantan suami, wanita itu Mir?” Ibu mencoba memastikan, siapa tahu memang pak Husen yang sama. “Aku kurang tahu Bu, kenapa memangnya?” “Jika itu pak Husen yang sama, itu artinya kita punya kesempatan untuk membatalkan pernikahan mereka. Setahu Ayah, pak Husen mantan majikan Ayah dulu juga sering menikahi wanita-wanita muda. Tapi, tidak pernah dia ceraikan.” Kali ini Ayah yang menjawab, ia merasa jika mantan suami Nirmala adalah pak Husen yang sama, yang ia kenal. “Maksud Ayah tidak pernah cerai bagaimana?” Amira bingung, apa maksud sang Ayah. Laki-laki bagaimana sebenarnya pak Husen itu? Namun, di saat mereka belum selesai membahas perkara mantan suami Nirmala, sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah. Ternyata Firman menyusul Amira, selepas menemui Nirmala tadi siang
“Apa kamu tahu tentang pak Husen, Lin?” Tanya Amira dengan antusias. Tanpa ia duga, ternyata Lini mengetahui dengan jelas siapa, dan dimana laki-laki bernama pak Husen itu.Meski hatinya begitu terluka, dan merasa terhina, ia tidak ingin menyerah sedikit pun. Bagaimana pun, Nirmala harus segera ia singkirkan.***Sore itu, semua keluarga Firman dari kampung, memutuskan untuk tidak menginap. Orang tua Firman, memeluk Nirmala dengan erat, ketika berpamitan.Kerinduan terhadap Nirmala, begitu terlihat di wajah ibu Firman. Perlakuan manis yang di terima Nirmala, semakin mencabik hati istri pertama Firman.Meski sang mertua, terbilang baik padanya selama ini. Namun, perlakuan sang mertua hari ini kepada Nirmala, seketika ia merasa di perlakukan begitu berbeda.“Mala, Ibu langsung pulang hari ini.” Ucap Nur, pada menantu barunya itu. Tak lupa ia juga mengelus lembut, pucuk kepala Nirmala.“ia Bu, hati-hati. Padahal, Mala harap Ibu dan yang lainnya bisa menginap malam ini?” sejak dulu, ibu F
“Apa, malam ini?”Firman seketika menatap tajam sang istri. “Kenapa buru-buru sekali?”Amira tak menjawab, ia kembali meneruskan apa yang sudah ia lakukan sejak tadi.“Amira, aku tak mengizinkanmu untuk pergi. Kamu tetap harus dirumah, kami tidak akan menggangumu. Lagi pula jika kamu pergi, siapa yang akan menyiapkan keperluan ku nanti.” Kali ini, Amira benar-benar tertegun mendengar apa yang baru saja kelur dari mulut sang suami.“Istri barumu ‘kan ada Mas, kenapa harus aku yang mengurusmu.” Amira tidak ingin, melayani Firman seperti biasa. Selama ini, ia merasa sangat patuh terhadap sang suami. Tapi apa balasan yang ia terima, Firman malah menikah lagi dengan mantan kekasihnya. Dengan alasan ingin seorang anak.“Nirmala itu belum mengerti apa yang harus ia lakukan. Lagi pun kamu tahu, jika ia harus fokus untuk memiliki anak.” Kali ini Firman menarik koper yang sudah siap, ia tahu jika Amira tidak akan bisa kemana-mana jika benda itu ada di tanganya.“Gak bisa gitu dong, Mas. Nirmala
Leguhan dan ceracau manja, mulai terdengar menghiasi kamar dimana Nirmala dan Firman berada. Udara semakin memanas, seiring dengan bertambahnya cucuran keringat keduanya yang mulai membasahi seprai kamar yang berwarna putih.Sementara di kamar utama rumah ini, seorang wanita meringkuk. Memeluk tubuhnya yang begitu terasa dingin. Padahal Ac di kamarnya, tidak di hidupkan. Ia pun terpaksa, menutup kedua telinga dengan sebuah bantal.Meski dengan sekuat tenaga ia menekan indra pendengarannya itu, nyatanya suara penuh hasrat dari madu dan sang suami, masih menembus gendang telinga wanita malang itu.Cucuran air mata Amira, terus mengalir. Bahkan seprai yang membalut kasur di kamarnya itu, mulai basah.“kurang aj*ar, tadi Mas Firman bilang tidak akan mengganguku. Tapi apa, suara mereka berc*nta bahkan bisa terdengar sampai keluar.” Pada akhirnya, ia kembali membuang bantal yang menutupi telinganya sejak tadi. Tubuhnya terlentang, matanya memandang keatas, menatap langit-langit kamar. Kama
“Kemana dia?”Firman pun dengan cepat meraih hp miliknya, mencari nama sang istri dalam daftar kontak yang ia punya.Namun, panggilan itu tak mendapat respon dari sang istri. “Mas, ada apa?” Nirmala pun, menghampiri Firman yang terlihat begitu panik.“Amira tidak ada,”“Coba hubungi orang tua, atau saudaranya, Mas.” Namun belum sempat Firman menghubungi mertua atau kakak iparnya, Amira sudah berada di depan pintu. Wajahnya terlihat begitu murung, rambut panjangnya terlihat sangat acak-acakan. Mata Amira bahkan terlihat, begitu bengkak.Melihat keadaan sang istri yang tidak baik-baik saja, Firman pun langsung menghampiri sang istri. Memeluknya dengan lembut. “Sayang, dari mana saja?”“Mbk ada apa? Apa Mbk baik-baik saja?” Nirmala yang hendak mendekat, dan hendak menenangkan Amira, seketika terkejut ketika Amira mentap tajam kearah Nirmala.Tentu Firman tidak mengetahui jika tatapan penuh amarah, Amira berikan pada istri keduanya itu.“Mas, aku takut.” Dengan nada manja, Amira memeluk
“A-apa?” Seketika Firman beralih, menatap Nirmala.“Aku sangat yakin Mas, jika mereka memang sengaja melukai ku.”Sejak hari itu, sikap Amira semakin manja. Firman pun, mau tidak mau, harus memberikan perhatian lebih terhadap istri barunya itu.Waktu pun berlalu, hubungan Nirmala dan Firman tidak menghangat selayaknya pengantin baru. Firman yang sibuk bekerja, sementara ketika pulang, ia juga di sibukkan oleh sikap manja Amira.Meski cukup tahu diri akan posisinya, nyatanya rasa perih masih menggerogoti relung hati Nirmala. Hal semacam inilah, yang ia takutkan ketika menjadi orang ketiga.Hari ini, matahari sudah mulai menghangat, Amira bangun siang seperti biasa. Karena semenjak kedatangan Nirmala di rumah ini, pekerjaan rumah yang membosankan ia alihkan semua kepada madunya itu.“Loh, kok Nirmala belum buat sarapan. Pakaian juga belum dicuci, kemana dia?” guman Amira ketika, keluar dari kamar dan berjalan kedapur.“Mas, Mass!” wanita itu berteriak, hendak mengadukan apa yang baru s
“Mana Mas Firman?” Tanya Amira, didepan pintu kamar. Ia segaja tak masuk, dan berkacak tangan di pinggang.“Beli obat, Mbk.”“Obat?”“Iya, aku demam Mbk.”“Alah. Kamu sengajakan pura-pura demam, agar Mas Firman peduli padamu. Sudahlah, sebentar lagi juga mas Firman akan meninggalkanmu.” Amira pun berjalan masuk, lalu menarik tangan Nirmala. “Sudah cepat keluar dari kamar, kamu bahkan bekum belum mencuci piring semalam.”“Tapi, Mbk aku benar-benar tidak enak badan, dari semalam malah.”“Aku tidak peduli cepat!” Karena Amira terus menarik tangannya, mau tidak mau Nirmala akhirnya bangkit. Berjalan tertatih kearah dapur.Namun, saat mulai menyentuh piring kotor, perut Nirmala seolah di aduk. Mual. Sekuat tenaga ia menahan rasa tidak nyaman di tubuhnya. “Nirmala,” Firman yang khawatir dengan keadaan istri keduanya, begitu terkejut ketika mendapati wanita itu sedang terduduk dilantai.“Apa yang kamu lakukan disini?”“Rencananya aku mau cuci piring, Mas. Tapi tubuku lemas.” Firman pun ak
Setelah tiba di mobil, Firman mencoba menghubungi Nirmala. Tidak dapat di hubungi, akhirnya rentetan pesan pun ia kirim. Firman berharap, pesan itu dapat segera di baca oleh Nirmala.Firman benar-benar tidak menyangka jika istri keduanga itu, tengah mengandung. Bagaimana mungkin, Nirmala tidak mengabarkan hal ini padanya. Padahal, kehamialan ini begitu mereka tunggu dan inginkan.Firman terus memandangi hasil USG yang di berikan wanita pemilik kos tadi. Menurut cerita wanita itu, ia menemukan benda itu di meja kamar Nirmala, saat sedang membersihkn kontrakan setelah Nirmala pergi.Amira memejamkan mata dan membuang muka. Sementara, Firman sesekali melitiknya menatap dengan tapapan tidak suka.Selama perjalanan, tidak ada kata-kata yang dapat Firman ucapkan. Kemelut di hati pria itu, kian membingungkan. Semakin rumit.Kekecewaannya terhadap Amira, membuatnya hilang akal dan melakukan hal yang tidak pantas. Hal itu juga yang membuatnya kembali bertemu dengan Nirmala.Prasaan yang
Setelah mendengar cerita Amira, yang mengatakan jika pria itu hanya menanyakan tentang ditinya saja. Lalu Ia berpikir, mungkin saja jika pria itu benar-benar teman dekatnya di kampung.Tapi, saat mobil miliknya berhenti dan Firman hendak turun menemui pria itu, Firman terkejut.“Loh, kemana orang itu tadi? Kok bisa cepat sekali dia pergi?”Firman melihat sekeliling, namun mobil dan pria itu sudah tak terlihat. Menghilang sangat cepat.“Lohh gak jadi kamu ajak orang itu ngobrol, Mas?” Amira tentu saja terkejut, setelah memutuskan untuk turun dan bertanya langsung siapa pria itu, namun beberapa menit Firman sudah kembali masuk kedalam mobil.“Sudah hilang, tapi kok cepat sekali.” Gumannya, namun sang istri masih dapat mendengar.Setelah duduk di belakang kemudi, Firman pun terdiam. Mencoba kembali mengingat sosok pria itu. Namun, ia tak kunjung dapat mengingat. Ia pun merasa janggal, jika memang pria itu teman lamanya, lalu mengapa dia menghilang.Meski Firnam masih di liputi ras
Keheningan masih terjadi di meja makan pagi ini. Firman benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, atas apa yang di katakan Amira. Keduanya sibuk menghabiskan isi piring masing-masing.“Mau kemana?” tanya Firman, ketika melihat Amira susah berpakian rapi.“Kan aku sudah bilang, akan menjemput Nirmala hari ini.”“Apa kamu yakin, Nirmala akan ikut?” Amira menelan salivanya, sejujurnya ia juga tidak yakin jika Nirmala akan pulang. “Lihat, kamu saja terlihat ragu.”Tangan Firman terulur menyentuh tangan Amira. “Sudahlah jangan paksa dia pulang. Mas yakin, ini yang terbaik untuk rumah tangga kita.”“Tapi Mas, semenjak Nirmala pergi dari rumah, Mas juga tidak pulang kerumah. Aku tahu, dan aku sadar ini semua salahku.” Suara bergetar terdengar di kalimat Amira.Tekadnya sudah benar-benar bulat, untuk mempertahankan rumah tangganya bersama Firman. Ia tidak ingin kehilangan segalanya, kehilangan suami atau pun kehilangan sumber uangnya.“Bukan begitu, aku memang sedang banyak pekerjaan, makany
Sepulang dari kontrakan Nirmala, wajah Amira masih terlihat murung. Ia masih tidak menyangka jika Firman, benar-benar tidak berada disana. Sepulangnya sang kakak dan iparnya, Amira hanya duduk menunggu kepulangan Firman yang entah kapan. Semenjak kepergian Nirmala, Amira benar-benar harus mengurus rumah seorang diri. Firman benar-benar tidak memberikannya seorang pembantu.Alhasil, wanita ini kelelahan meski hanya mengurus rumah saja. Bukan hanya itu, uang bulanan pun, juga ikut di kurangi oleh Firman.Hari ini harusnya Nirmala ikut pulang bersamanya kerumah. Namun nyatanya ia gagal, untuk membujuk adik madunya itu. “benar-benar merepotkan, kenapa ia betah tinggal dikontrakan sempit dan kumuh itu. Aku yakin, sebenarnya ia tahu dimana mas Firmab berada. Pokoknya besok ia harus pulang, aku tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah.” Amira terus mengumpat. Rumah mewah yang baru seminggu Nirmala tinggalkan ini pun, sudah nampak begitu kotor. Piring kotor menumpuk, pakian pun demikian. Hamp
Amira tertunduk cukup lama, sementara perempuan yang ia bawa tadi, terus menepuk pundaknya. Wanita itu berusaha menenangkan sang Adik ipar.“Nirmala, kasihan Amira. Sejak kedatanganmu, ia selalu menagis. Harusnya kamu tahu itu.” Ucap Adam, seorang laki-laki yang juga Amira ajak tadi. “Sekarang Firman menghilang, aku tidak yakin jika kamu benar-benar tidak tahu hal ini.” Ucap Adam lagi, matanya memandang Nirmala dengam tajam. Tatapan ketidak sukaan jelas terlihat.Melihat wajah dan ekpresi Adam, Nirmala repleks menaikkan sebelah ujung bibirnya. “Nyatanya begitu Mas. Aku tidak berbohong.”“bagaimana kalau kita periksa saja kedalam, siapa tahu Firman dikamar.” Dewi istri Adam itu pun, berdiri dan hendak melangkah. Wanita itu dengan cepat menarik tangan suaminya, dan sedikit mendorong tubuh Nirmala. “minggir sedikit, jangan halangangi aku masuk.”Meski kesal, Nirmala hanya membiarkan keduanya masuk dan memeriksa kontrannya. Nirmala hanya mengusap wajahnya. Ia tak menyangka, jika Amira tid
“Jadi bagaimana, apa kamu mau beli sendiri, atau menunggu saja di mobil?” Tanya Zidan, hatinya juga merasa panas melihat wajah pias Nirmala.“Tidak usah. Ayo kita pulang saja.”Akhirnya, Zidan pun melajukan mobil, membawa Nirmala untuk pulang kembali kekontrakannya. Sepanjang perjalanan wanita itu hanya diam, memalingkan pandangan kearah jendela. Ada rasa yang pedih, yang terasa. Meski ia hanya istri kedua, rasanya masih sakit ketika melihat Firman bersama perempuan lain.“Uang memang merubah segalanya, Nirmala. Firman belum tahu jika kamu sedang mengandung. Pergilah, sebelum ia menahanmu.” Zidan menoleh sebentar, ingin melihat reaksi Nirmala. Lalu kembali melihat kearah jalan. Setibanya di kontrakan, Nirmala turun didepan gang, tidak sampai di depan kontrakan. Ia takut jika ada yang melihat, lalu melapor pada Firman.“Terimasih untuk hari ini, tolong jangan temui aku lagi.” Ucap wanita itu, sebelum menutup pintu mobil. Tak ada jawaban dari Zidan, ia tahu betul jika wanita itu dalam
Seperginya Zidan, Nirmala hanya duduk diam ditempatnya tadi. Wanita itu terus menimbang dan memikirkan apa saja yang Zidan katakan. Ia dilanda dilema yang luar biasa, takut jika keputusan yang akan ia ambil kembali membuat dirinya terjerat dalam situasi yang menyedihkan.Apa benar Zidan berniat baik padanya? Lalu, bagaimana dengan Firman? Apa tidak terlalu jahat, ia jika ia pergi bersama Zidan. Meninggalkan Firman yang sudah melepaskan dan mengangkatnya dari dunia hitam.Tapi bertahan dengan pernikahan seperti ini, bukanlah hal yang baik. Bagaimana jika Amira, menginginkan anak ini? Lalu, setelah anak ini lahir, bisa saja Amira menyeretnya kembali kepada pak Husen.Tapi Nirmal merasa cukup yakin dan percaya pada Zidan. Pasalnya, sejak dulu Zidan memang kerap terlibat pertengkaran dengan sang ayah. Kemungkinan Zidan akan menjebaknya, itu cukup kecil. Tapi, apa yang tidak mungkin di dunia ini.Malam semakin larut, Nirmala terus berperang dengan pikirannya sendiri. Bahkan ia lupa, hanya
“Kamu hamil. Ayo kita pergi.” Ucap Zidan, menatap Nirmala dengan nanar. “Apa? Hamil?” Ada banyak rasa yang bergejolak dihatinya. Rasa bahagia jika memang benar sedang mengandung. Tapi, mengingat sikap Firman yang lebih mementingkan istri pertamanya, bukan tidak mungkin jika Firman akan membuanhnya.Lagi pun, akan tidak baik jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang berbeda dari kebanyakan keluarga lainnya.“Iya kamu hamil, masa kamu tidam merasakan perbedaan dalam dirimu sendiri?” Nirmalaenggeleng, menandakan ia memang tidak tahu hal itu. Meski ia merasa ada perbedaan ditubuhnya, namun ia sama sekali belum mastikan hl itu. Prasaan iba terus dirasakan pria muda ini. “Aku pikir, aku hanya asam lambung dan kelelahan saja. Jadi, aku pikir karena hal itu.” Wanita itu, tidak melanjutkan kalimatnya. “Hal itu?”“Akuu....memang belum mendapat tamu bulanan, bulan ini.” Jelas Nirmala lagi, sedikit kurang nyaman sebenarnya mengatakan hal seperti ini.“Cihhh.”Wajah Zidan terlihat
“K-kamu siapa?!” Tubuh Nirmala seketika gemetar.Begitu pintu tertutup, pria itu pun membuka topi dan masker yang ia pakai untuk menutupi wajahnya.“Zidan?!” Setelah melihat wajah pria itu, barulah Nirmala mengenali siapa sosok itu. Zidan, adalah anak pertama pak Husen. “Jangan berteriak, nanti warga akan menggerebek kita.”“Tapi, kamu mau apa kesini? Kenapa kamu bisa menemukanku?” Nirmala tak dapat menyembunyikan kepanikannya. Ia takut, jika Zidan akan menyeretnya untuk kembali pulang.Ia pun beruasaha, menarik lengan dan mendorong tubuh Zidan sekuat tenaga.“Tenanglah, aku tidak akan membawamu pulang. Apalagi menyerahkan mu pada ayah.”“A-apa?”“Nirmala tenanglah.” Zidan menatap Nirmala nanar, mata tajam milik pria itu, seketika sedikit berkaca-kaca.Meski tidak yakin akan apa yang diucapkan Zidan, tapi juga Nirmala takut jika warga sekitar akan menemukan mereka didalam. Akhirnya, ia duduk berusaha menenangkan dirinya sendiri.Saat ia menikah dengan pak Husen dulu, Zidan memang jar