"Kamu lagi! Untuk apa sebenarnya kamu ke sini?" Suara Fabian yang mendominan cukup menarik perhatian beberapa orang yang sedang melintas di restoran itu. "Maaf, Fabian, Analea. Apa boleh aku ikut duduk di sini?" Wajah Raihan penuh harap menatap Fabian yang rahangnya mulai mengeras. "Hmmm .... " Fabian membuang pandangannya dan mendengkus kesal. Melihat itu Raihan menggunakan kesempatan untuk duduk pada salah satu kursi dan mendekat pada Fabian. "Bian, tolong maafkan aku. Saat ini kesehatan ayahku drop dan harus dirawat di rumah sakit. Semua ini gara-gara aku. Tolonglah, Bian!" Analea terkejut mendengar penjelasan Raihan. Ia tidak menyangka masalahnya akan seperti ini. Netra teduh Analea memandang Fabian dengan cemas. Ia berharap suaminya itu mau memaafkan Raihan. "Bian ..., please ...!" Fabian menoleh dan memandang tajam pada Raihan. "Sebenarnya apa yang akan kamu lakukan pada Analea tadi pagi?" Raihan menghela napas berat. Ia tidak langsung menjawab. Sesaat tampak ia sedang
"Aku mau mandi!" Ratu bertolak pinggang berdiri di depan pintu kontrakan. "Tunggu ya, Non. Masih antri. Non berdiri dulu di barisan itu biar cepat!" Dengan hati-hati Sumi menunjuk para penghuni kontrakan yang sedang berdiri mengantri di depan kamar mandi. "Apaa? Kamu suruh aku berdiri di sana?" Ratu melotot ke arah antrian itu. "Iy-iyaaa, Non. K-kalau pagi-pagi banyak yang mau berangkat kerja. Jadi mandinya antri," jawab Sumi takut-takut. "Kamu aja yang antri! Aku malas bergabung sama orang-orang itu!" Ratu kembali masuk ke kamar kontrakan dan kembali merebahkan tubuhnya di kasur busa. Sumi hanya bisa menarik napas berat, lalu mulai ikut mengantri bersama para penghun kontrakan. "Heh, Sumi! Bukannya tadi kamu udah mandi? Kenapa sekarang antri lagi?" tegur salah satu penghuni kontrakan yang juga sedang mengantri. "Saya antri untuk ... untuk ...." Sumi bingung ingin menjelaskan siapa Ratu pada tetangganya. "Untuk siapa? Untuk perempuan sombong yang ada di kontrakan kamu itu?" sa
"Ratu ... kamu di sini?" Ratu seketika berhenti menoleh pada Analea yang muncul dari kaca jendela mobil. "Iya. Memangnya kenapa? Aku mau membesuk calon mertuaku," sahut Ratu dingin. "Ya sudah, kita sama-sama saja kalau begitu. Gedungnya masih jauh loh, dari sini. Ayo naik!" Analea mengerling ke arah pintu depan agar Ratu naik ke mobilnya dan duduk di sebelah supir. "Nggak usah! Mentang-mentang aku jalan kaki, kamu mau menghinaku!" tolak Ratu sambil membuang pandangan. Ia malu karena saat ini wajahnya penuh dengan peluh dan rambut yang berantakan. Berbeda dengan tampilan Analea yang sangat cantik dan rapi. Apalagi di sebelah Analea kini ada Fabian duduk tanpa menoleh pada Ratu. "Astaga, Ratu! Aku ajak kamu itu baik-baik, loh!" Analea kesal karena dituduh menghina oleh Ratu. Padahal niatnya baik. "Sudahlah Lea, sebaiknya kita pergi saja!" sanggah Fabian ikut geram. "Pak, jalan!" Mobilpun melaju meninggalkan Ratu di tepi jalan masuk rumah sakit itu. "Sial! Harusnya mereka bisa bu
"Ayo aku antar pulang!" Raihan bangkit dan berjalan menuju area parkir. "Ck! Aku belum selesai bicara, Raihan!" Ratu ikut bangkit lalu menghentakkan kakinya. Namun akhirnya ia tetap mengikuti langkah kaki Raihan hingga ke mobil. "Ayo naik!" Raihan telah duduk di belakang kemudi. Sedangkan Ratu duduk di samping Raihan. Ia masih penasaran tentang apa yang dilakukan Rehan kemarin pagi di acara pernikahan Analea. Rehan melajukan mobilnya ke satu arah. "Kamu mau aku antar ke kantor?" "Tidak! Jangan!"cegah Ratu. "Kenapa? Kamu tidak kerja hari ini?" "B-bukan begitu tapi ...." Ratu tiba-tiba ingat bahwa dia ke rumah sakit tidak datang sendirian. "Astaga! Sumi!" bathin Ratu dalam hati. Ia tiba-tiba teringat pada Sumi yang sedang menunggunya di pos satpam. Ratu berpikir sejenak bagaimana caranya agar Sumi bisa pulang tanpanya. Tak lama kemudian ia mengirim pesan pada Sumi agar pulang lebih dulu. "Jadi aku antar kamu ke mana?"tanya Raihan tak sabar "Antar aku pulang saja!" Jawa
"Stop di depan warung itu! Aku turun di situ saja." Raihan menuruti kata-kata Ratu Ia pun berhenti tepat di depan warung kopi yang berada di tepi jalan. Sejak perjalanan dari Jakarta tadi mereka berdua tidak banyak bicara. Apalagi Raihan. Padahal Ratu sudah beberapa kali mencoba untuk membuka percakapan. Namun, Raihan seakan tidak mempedulikan dirinya. Raihan tidak begitu merespon pembicaraan Ratu. "Kamu serius turun di sini?" Raihan mengedarkan pandangannya ke sekitar warung kopi sederhana itu "Iya. Aku lupa dimana rumah temanku. Nanti biar dia jemput aku saja di warung kopi itu," jawab Ratu sambil melihat ekspresi wajah Raihan. Ia berharap Raihan akan iba dan perhatian padanya. "Hmm ... kalau begitu turunlah!" pinta Raihan tanpa menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. Melihat itu Ratu mendengkus kesal. "Kamu serius nggak mau bukain aku pintu?" "Jangan manja!" ketus Raihan dingin. Ratu berdecak kesal sambil membuka pintu mobil dan turun. Sementara Raihan tetap berada di d
"Hari ini kita pulang ke rumah. Lea mau, kan tinggal di rumahku?" Analea mengangguk dan tersenyum. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada suami tercintanya. Pagi ini mereka baru saja terjaga dalam keadaan polos yang hanya ditutupi selimut. Satu minggu sudah mereka habiskan waktu di kamar hotel itu dengan bercumbu dan bermesraan sepanjang hari. "Maafkan aku. Seharusnya aku membawa Lea bulan madu ke luar negeri atau tempat-tempat yang indah lainnya." Fabian menciumi puncak kepala Analea dengan bertubi-tubi. Wanita yang sejak awal ia kenal dengan kesederhanaannya tidak pernah protes ketika Fabian hanya membawanya menginap di hotel bintang lima yang ada di tengah kota. "Nggak apa-apa, kak. Aku bahagia, kok, di kamar mewah ini. Di manapun, asalkan bersama Kak Bian sayang!" Analea menegakkan tubuhnya dan mendaratkan sebuah kecupan pada hidung Fabian yang menjulang. "Hei, mulai nakal, ya!" Menerima ciuman yang tiba-tiba dari Analea berhasil memancing kembali hasrat kelaki-lakian Fabian.
"Sumi, buruan siapin pakaian kerjaku!" Ratu baru saja bangun, langsung memberi perintah pada Sumi. "Bajunya yang mana, Non? Memangnya Non sudah dapat kerja?" Sumi yang ternyata sedang siap-siap juga untuk kerja langsung kalang kabut mencari pakaian Ratu di lemari plastik miliknya. "Cari bajuku yang paling bagus. Aku mau datang ke sebuah perusahana besar." Ratu berkacak pinggang mengawasi Sumi yang sedang mengangkat tumpukan pakaian terlipat yang sudah di setrika. "Ini sudah disetrika, Non. Tinggal pakai aja, nih!" Sumi menyerahkan satu stel pakaian kantor yang dulu biasa dikenakan Ratu untuk bekerja. "Apaan, nih? Masih kusut! Setrika lagi, sana!" Sumi meraih kembali pakaian di tangan Ratu. Karena dia tidak punya lemari gantung, pakaian itu menjadi kusut lagi dalam lemari. Terpaksa Sumi mengulang kembali menyetrika baju Ratu. Sementara Ratu bergegas mandi sebelum kamar mandi itu antri oleh para penghuni kontrakan. "Non, maaf ya. Saya masih belum bisa bawa Non ke kontrakan yang le
[ Aku kangen. Lea pulang jam berapa? Aku jemput] Analea tersenyum membaca pesan yang ke sekian kalinya dari Fabian. Sejak pagi setelah Fabian mengantarnya ke Anggada Jaya, suaminya itu setiap jam mengirimkan pesan rindu untuknya. Hingga pukul satu siang belum waktunya pulang, Fabian tak sabar ingin menjemput. [.Pekerjaanku masih banyak, Kak. Aku juga mau mampir ke rumah Mama nanti sore ] [ Kita ke rumah Mama sama-sama. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan jemput Lea ] Lagi-lagi Analea geleng-geleng kepala sambil tersenyum mengingat suaminya yang berubah drastis setelah menikah. "Kenapa kamu jadi bucin dan agresif begini?" Pikir Analea dalam hati. Tanpa ia sadari ia terus tersenyum mengingat malam-malam yang ia lalui sejak menikah dengan Fabian selalu hangat oleh aktifitas panas mereka. Fabian selalu ingin lagi dan lagi. Ia akan berhenti jika sudah melihat Analea kelelahan. Apa hampir semua pengantin baru seperti ini? "Bu ... Bu Ana ... Bu ...!" "Astaga! Maaf, Lily!" Analea te
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof