"Sindy sekarang sombong banget, Bu.""Sombong gimana, Di?"Sore itu Ardi tengah menikmati tenggelamnya matahari di halaman belakang rumah, ditemani sang ibu sekaligus secangkir kopi susu panas dan pisang goreng yang masih hangat."Dia bilang kalau Sisil jauh lebih berbahagia sama ayah tirinya sekarang ...""Serius sindy bilang begitu, Di?""Serius lah, makanya aku benci banget. Niat aku kan baik nanyain kabar Sisil, eh malah dia menyombongkan diri."Ratna geleng-geleng kepala, rasa tidak sukanya terhadap Sindy jadi semakin besar."Benar-benar sombong, apa dia nggak takut kualat sama kamu?""Tahu tuh ...""Lagian ayah tiri baik juga nggak selamanya, apalagi kalau nantinya si dia sudah bosan ... Bisa-bisa nangis darah itu sindy."Ardi manggut-manggut. "Nah, dia nggak mikir ke arah sana, malah sibuk menyombongkan diri.""Lagian tumben kamu telepon sindy segala?" Cibir Ratna tidak suka."Niat aku kan baik, Bu. Mau tahu kabar anak kami, makanya aku telepon sindy. Kan nggak mungkin aku nany
"Aku mau ajak Sisil menginap di rumahku selama beberapa hari," kata Ardi tanpa basa-basi. "Aku ini ayah kandungnya, jadi aku merasa punya hak untuk itu."Zayyan mengangguk. "Aku tidak akan menghalangi, tapi apa kamu sudah izin Sindy?""Kenapa aku harus izin sindy? Kan kamu kepala rumah tangganya, jangan bilang kalau kamu termasuk suami takut istri?"Zayyan tersenyum saja meski ucapan Ardi yang terakhir seolah mengejeknya."Aku menghargai sindy sebagai ibu kandung Sisil, karena itu tidak salah kalau aku harus minta izin dia kalau Sisil mau mengubah di rumahmu.""Alasan saja kamu ...""Terserah, pendapat Sindy juga penting bagiku."Ardi berdecih tidak suka. "aku tidak peduli. Dengan atau tanpa seizin sindy, aku tetap punya hak untuk membawa Sisil menginap.""Kalau sikap kamu arogan seperti ini, aku tidak yakin kalau Sindy akan kasih kamu izin.""Aku kan sudah bilang kalau aku tidak butuh izin dari kalian berdua, secara hukum aku punya hak penuh atas Sisil karena aku adalah ayah kandungn
"Terus apa yang harus aku lakukan kalau Ardi memaksa, Mas? Kejadian yang dulu itu fatal sekali, aku tidak mau terjadi lagi!"Suasana hati Sindy berubah gusar, dia tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat perbuatan ceroboh Ardi.Entah disengaja atau tidak."Nanti kita hadapi berdua, tapi ada baiknya juga kamu tanya Sisil dulu.""Sisil masih kecil, Mas. Dia pasti mau-mau saja kalau diajak pergi, apalagi sama ayahnya."Zayyan terdiam sebentar. Sebagai ayah sambung, tentu dia sependapat dengan sindy karena mengizinkan Sisil menginap di rumah Ardi memiliki risiko yang sangat luar biasa mengerikan.Namun, sekali lagi dia kalah secara status jika dibandingkan dengan ayah kandung Sisil.Bahkan orang tua Sindy sendiri juga menolak keras saat putri mereka menelepon untuk meminta pendapat."Aduh Sin, nanti cucu ibu hilang lagi kayak dulu! Ardi itu kan ceroboh ... beruntung Sisil nggak ketemu sama orang jahat ..."Rita langsung menyatakan ketidaksetujuannya saat Sind
Waktu berlalu, sindy bersyukur karena tidak ada telepon dari Ardi lagi yang menanyakan kabar Sisil. Bukan apa-apa, dia malas saja jika harus ribut dengan mantan suaminya itu perkara adu pendapat yang berbeda."Pak, ada Ardi di depan." Nesi memberi tahu tepat ketika Zayyan muncul dari balik pintu ruangannya."Kapan dia datang?""Baru beberapa menit yang lalu, Pak. Dia datang sama adiknya yang dulu itu ...""Oke," angguk Zayyan yang sudah bisa menebak siapa adik Ardi yang ikut serta. "Tolong panggilkan sindy sekalian, biar tidak ada kesalahpahaman.""Baik, Pak."Usai Zayyan berlalu untuk menemui Ardi lebih dulu, Nesi segera melesat ke dapur untuk memanggil Sindy."Kerjaan kamu sudah selesai belum, Sin?" Tanya Nesi buru-buru. "Ada pesanan tadi, sudah selesai kok tapi ... Ada apa, Nes?""Kamu dipanggil Pak Zayyan, Ardi datang lagi tuh!" "Oh ya? Mau ngapain kira-kira ..."Nesi mengangkat bahu. "Ada mantan adik ipar kamu juga."Sindy membulatkan matanya ketika Nesi menyebut mantan adik ip
“Ini nafkah buat kamu, Sin.”Sindy menatap tiga lembar uang warna merah yang diletakkan Ardi di atas meja, dahinya berkerut karena jumlah nafkah yang diberikan kepadanya semakin berkurang dari minggu ke minggu.“Kok cuma segini, Mas?”“Segitu masa nggak cukup? Hemat sedikit lah, kapan kita bisa nabung kalau kamu nggak bisa atur uang belanja?”Sindy menghela napas. Mau protes, tapi dia juga tahu kalau akhir-akhir ini pekerjaan Ardi sebagai tenaga borongan di gudang besi sedang sepi, sehingga mempengaruhi penghasilan yang diterima suaminya.“Ya sudah, disyukuri saja ...”“Nah, itu tahu! Jadi istri memang harus pintar-pintar bersyukur, Sin.”“Kalau begitu hari ini aku masak tumis kangkung sama goreng tempe buat kamu ya, Mas?”Ardi mengernyitkan keningnya mendengar deretan menu yang disebut Sindy.“Tempe goreng lagi? Baru dua hari yang lalu kamu masak oseng tempe, sekarang goreng tempe ... Heran, apa kamu nggak bisa bikin menu yang lebih enak lagi selain olahan tempe?”Sindy men
“Cukup, cukup, Di! Wah, kalau kayak begini gaji kamu, ibu yakin nih bisa nabung buat masa depan!”Sindy membeku di tempatnya berdiri. Tangan yang semula akan mengetuk pintu rumah mertuanya, kini menggantung di tengah udara.Mas Ardi gajian? Bukankah belum waktunya? Atau dia punya kerja sampingan, tapi kenapa aku nggak dikasih tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berjubelan di dalam pikiran Sindy.“Ya sudah, Bu. Aku pergi dulu, ya?”“Hati-hati, Di. Yang semangat kerjanya, biar dapat banyak uang!”Ardi tersenyum lebar seraya keluar dari balik pintu, tapi seketika senyum itu memudar ketika melihat keberadaan Sindy tepat di depannya.“Sin? Sejak kapan kamu di situ?” Ardi tergagap, begitupun ibunya yang berdiri di belakang sang putra.“Baru saja kok, ini ngantar soto buat ibu.”“Wah, kamu masak soto, Sin?”“Iya, Bu.”“Nah, gitu dong! Jangan tahu tempe terus, bisa bosen Ardi kalau menu masakan kamu itu-itu saja tiap hari!” komentar ibu mertua, yang ditanggapi dengan senyuman geti
“Tapi, Mas ...” “Kak Ardi, aku boleh ambil tas itu nggak?” Tiba-tiba Sindy mendengar ada suara yang menyela. “Boleh dong, ambil saja yang kamu suka!” “Kak, aku mau sepatu yang itu ...” “Ambil sana, kakak yang bayar!” Sindy mengepalkan sebelah tangan, dia sangat mengenali suara-suara itu. Adik-adik iparnya. “Wah, Kak Ardi lagi banyak uang nih kayaknya!” “Jelas, makanya kita bisa puas jalan-jalan hari ini!” Dengan tubuh lunglai, Sindy duduk terpekur di kursinya sementara ponsel masih menyala di dekat telinganya. Kemungkinan Ardi lupa mematikan sambungan mereka sampai Sindy bisa mendengar percakapan mereka. “Habis ini kita mau makan apa, adik-adikku yang cantik?” Suara Ardi begitu penyayang saat bertanya kepada adik ipar Sindy. “Aku mau ayam goreng tepung, Kak!” “Oke, kalau Mita mau apa?” “Burger sama minuman soda, Kak!” “Ayok, belanjanya dibayar dulu. Habis itu kita makan sama-sama!” “Siap, jangan lupa bungkus juga buat ibu sama ayah di rumah, Kak!” “Be
“Lho, memangnya kenapa kalau Ardi memanjakan saudara-saudaranya? Itu juga pakai uang Ardi kan, kamu iri? Nggak boleh begitu, Sin. Jadi istri jangan banyak nuntut dan protes terhadap apa yang dilakukan suami.” Ibu mertua kembali ceramah. “Gimana aku nggak iri, Bu? Kemarin itu Sisil sakit, tapi Mas Ardi perhitungan banget cuma kasih uang lima puluh ribu. Itupun akhirnya minta dikembalikan karena Sisil nggak jadi periksa ke dokter,” ungkap Sindy agar ibu mertua tahu bagaimana kelakuan ajaib putra kebanggaannya itu. “Salahnya Ardi di mana ya, kan Sisil juga nggak jadi periksa? Daripada uangnya kamu buat foya-foya, lebih baik diambil sama Ardi buat ditabung.” Merasa disudutkan, Sindy kembali melontarkan protes kepada Ibu mertuanya. “Foya-foya dari mana, Bu? Uang lima puluh ribu bisa dapat apa sih?” “Sudah, sudah, kamu ini kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Heran, makin ke sini makin membangkang kamu ya? Hati-hati kualat sama suami sendiri, Sin ...” “Nggak kebalik, Bu? Seh
Waktu berlalu, sindy bersyukur karena tidak ada telepon dari Ardi lagi yang menanyakan kabar Sisil. Bukan apa-apa, dia malas saja jika harus ribut dengan mantan suaminya itu perkara adu pendapat yang berbeda."Pak, ada Ardi di depan." Nesi memberi tahu tepat ketika Zayyan muncul dari balik pintu ruangannya."Kapan dia datang?""Baru beberapa menit yang lalu, Pak. Dia datang sama adiknya yang dulu itu ...""Oke," angguk Zayyan yang sudah bisa menebak siapa adik Ardi yang ikut serta. "Tolong panggilkan sindy sekalian, biar tidak ada kesalahpahaman.""Baik, Pak."Usai Zayyan berlalu untuk menemui Ardi lebih dulu, Nesi segera melesat ke dapur untuk memanggil Sindy."Kerjaan kamu sudah selesai belum, Sin?" Tanya Nesi buru-buru. "Ada pesanan tadi, sudah selesai kok tapi ... Ada apa, Nes?""Kamu dipanggil Pak Zayyan, Ardi datang lagi tuh!" "Oh ya? Mau ngapain kira-kira ..."Nesi mengangkat bahu. "Ada mantan adik ipar kamu juga."Sindy membulatkan matanya ketika Nesi menyebut mantan adik ip
"Terus apa yang harus aku lakukan kalau Ardi memaksa, Mas? Kejadian yang dulu itu fatal sekali, aku tidak mau terjadi lagi!"Suasana hati Sindy berubah gusar, dia tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat perbuatan ceroboh Ardi.Entah disengaja atau tidak."Nanti kita hadapi berdua, tapi ada baiknya juga kamu tanya Sisil dulu.""Sisil masih kecil, Mas. Dia pasti mau-mau saja kalau diajak pergi, apalagi sama ayahnya."Zayyan terdiam sebentar. Sebagai ayah sambung, tentu dia sependapat dengan sindy karena mengizinkan Sisil menginap di rumah Ardi memiliki risiko yang sangat luar biasa mengerikan.Namun, sekali lagi dia kalah secara status jika dibandingkan dengan ayah kandung Sisil.Bahkan orang tua Sindy sendiri juga menolak keras saat putri mereka menelepon untuk meminta pendapat."Aduh Sin, nanti cucu ibu hilang lagi kayak dulu! Ardi itu kan ceroboh ... beruntung Sisil nggak ketemu sama orang jahat ..."Rita langsung menyatakan ketidaksetujuannya saat Sind
"Aku mau ajak Sisil menginap di rumahku selama beberapa hari," kata Ardi tanpa basa-basi. "Aku ini ayah kandungnya, jadi aku merasa punya hak untuk itu."Zayyan mengangguk. "Aku tidak akan menghalangi, tapi apa kamu sudah izin Sindy?""Kenapa aku harus izin sindy? Kan kamu kepala rumah tangganya, jangan bilang kalau kamu termasuk suami takut istri?"Zayyan tersenyum saja meski ucapan Ardi yang terakhir seolah mengejeknya."Aku menghargai sindy sebagai ibu kandung Sisil, karena itu tidak salah kalau aku harus minta izin dia kalau Sisil mau mengubah di rumahmu.""Alasan saja kamu ...""Terserah, pendapat Sindy juga penting bagiku."Ardi berdecih tidak suka. "aku tidak peduli. Dengan atau tanpa seizin sindy, aku tetap punya hak untuk membawa Sisil menginap.""Kalau sikap kamu arogan seperti ini, aku tidak yakin kalau Sindy akan kasih kamu izin.""Aku kan sudah bilang kalau aku tidak butuh izin dari kalian berdua, secara hukum aku punya hak penuh atas Sisil karena aku adalah ayah kandungn
"Sindy sekarang sombong banget, Bu.""Sombong gimana, Di?"Sore itu Ardi tengah menikmati tenggelamnya matahari di halaman belakang rumah, ditemani sang ibu sekaligus secangkir kopi susu panas dan pisang goreng yang masih hangat."Dia bilang kalau Sisil jauh lebih berbahagia sama ayah tirinya sekarang ...""Serius sindy bilang begitu, Di?""Serius lah, makanya aku benci banget. Niat aku kan baik nanyain kabar Sisil, eh malah dia menyombongkan diri."Ratna geleng-geleng kepala, rasa tidak sukanya terhadap Sindy jadi semakin besar."Benar-benar sombong, apa dia nggak takut kualat sama kamu?""Tahu tuh ...""Lagian ayah tiri baik juga nggak selamanya, apalagi kalau nantinya si dia sudah bosan ... Bisa-bisa nangis darah itu sindy."Ardi manggut-manggut. "Nah, dia nggak mikir ke arah sana, malah sibuk menyombongkan diri.""Lagian tumben kamu telepon sindy segala?" Cibir Ratna tidak suka."Niat aku kan baik, Bu. Mau tahu kabar anak kami, makanya aku telepon sindy. Kan nggak mungkin aku nany
"Nggak sopan gimana maksud kamu?""Kenapa kamu cuma sebut nama aku?""Lho, salahnya di mana?"Ardi tentu saja geram bukan kepalang."Mentang-mentang sudah cerai, kamu nggak ada rasa hormat sedikitpun sama aku lagi ... Kenapa kamu cuma panggil aku Ardi?""Lho, nama kamu kan memang Ardi? Apa sudah ganti jadi Michael?"Ardi mengepalkan tangannya erat-erat."Biar begini-begini juga aku tuh mantan suami kamu, tunjukkan dong rasa hormat kamu!""Aku nggak punya kewajiban untuk hormat sama kamu lagi, kecuali buat suamiku seorang.""Hah, sudahlah! Intinya aku mau memastikan kalau suami baru kamu itu benar-benar menyayangi Sisil dan nggak semena-mena kayak bapak tiri kejam. Awas saja kalau dia melakukannya ..."Dapat Ardi dengar jika Sindy menarik napas panjang di ujung sana."Sudah deh ya, intinya Sisil baik-baik saja. Mas Zayyan nggak jahat kayak apa yang kamu pikirkan, dia justru sayang banget sama Sisil melebihi kamu.""Apa?""Memang itu kenyataannya kok."Mendengar sindy memuji-muji lelaki
"Apa sih, biasa saja kali ...""Aku kira kamu sudah move on.""Memang sudah, kamu saja yang telat info. Sibuk bisnis sih," ujar Mita tanpa menatap adiknya."Ya iyalah, mumpung ada kesempatan nih. Lagian tinggal posting-posting doang, barang nggak usah nyetok. Kalau laku, tinggal ambil di toko."Mita mencibir, meski dengan mata terarah lurus ke layar ponsel."Serius amat, sudah ada gebetan baru?" Tanya Sani penasaran."Kamu bikinkan aku kopi dulu, nanti aku kasih tahu cerita lengkapnya.""Dih, ogah banget!""Nggak ada salahnya berbakti sama kakak, San.""Kakak macam apa dulu?""Sudah deh, cepetan!"Dengan bibir maju, Sani pergi ke dapur dan menyeduh kopi untuk Mita."Jadi tuh aku lagi dekat sama seseorang, kali ini usianya nggak terlalu jauh. Memang lebih tuaan dia, tapi nggak sebanyak kakak bos." Mita mulai bercerita, saat Sani menyajikan secangkir kopi panas untuknya."Oh, terus?""Orangnya asyik, ramah, dan menyambut baik pertemanan kita." Mita melanjutkan. "Kalau nggak salah, dia k
“Ma, biar aku saja yang suapi Sisil. Mama kan juga harus sarapan,” ujar sindy menawarkan diri.“Tidak apa-apa, kamu urus Zayyan saja. Mama akan sarapan setelah Sisil kenyang,” sahut Keke.Sindy menoleh ke arah Zayyan yang menganggukkan kepalanya.“Aku jadi nggak enak sama Mama, Mas.” Sindy berangkat ke resto bersama Zayyan, sementara si kembar naik motor seperti biasa.“Ini kan pengalaman pertama mama urus cucu, sin. Jadi kamu tidak usah merasa tidak enakan begitu,” sahut Zayyan tenang sembari menyalakan mesin mobilnya.“Aku ... tetap saja merasa tidak enak, Mas. Seperti egois karena membiarkan mama yang urus anak aku.”“Lho, Sisil juga anak aku sekarang. Cucu mama,” ralat Zayyan tidak sependapat. “Lagian kamu kan ngurusin aku, bukan orang lain.”“Iya, deh ...”Sindy akhirnya tidak memperpanjang pembicaraan mereka karena dia harus fokus untuk bekerja.Setibanya di restoran, terlihat Aftar sedang ngobrol bersama seseorang yang familiar di mata Sindy.“Itu anak bukannya lang
“Kalau iya, bagaimana? Mama jadi khawatir, Zay.”“Masa ketemuan sama satu cewek saja sampai berjam-jam, palingan nongkrong sama teman-teman kampus yang kebetulan ada di sekitar sini.” Zayyan berpendapat.“Justru itu, bagaimana kalau cuma sama satu cewek? Ngeri mama membayangkannya.” Lebih ngeri lagi kalau cewek itu Mita, batin Sindy dalam hati. Dia tidak berani berpendapat, takut salah bicara.“Nanti jangan lupa Aftar suruh makan, Fan.”“Oke, Ma. Nggak usah dipikirin, Aftar kan sudah dewasa.”“Tapi pergaulan zaman sekarang ngeri-ngeri, Fan. Mama sering tuh lihat di berita, ngeri pokoknya.”“Urusan Aftar biar aku sama Affan yang pantau, Ma.” Zayyan yang khawatir, langsung menengahi. “Ya sudah, mama mau ngelonin Sisil dulu di kamar.”Zayyan dan Affan saling pandang usai ibu mereka pergi meninggalkan dapur.“Aku akan coba telepon Aftar,” kata Affan tanpa diminta, dia mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi saudara kembarnya.“Tar, cepat pulang! Bucin banget ... iya-iya, k
"Jangan kebanyakan ngopi kamu," bisik Nesi karena Roni duduk tidak jauh dari mereka. "Memangnya kenapa sih?""Kamu kan sudah nikah lagi, sin ...""Ya terus?""Kebanyakan kopi bisa memengaruhi kesuburan, bukankah normalnya kamu sama Pak Zayyan mau punya momongan?" Celetuk Nesi, membuat mata Sindy melotot lebar."Memangnya ngaruh ya, lagian kan aku cuma minum satu cangkir. Bukan satu ember, Nes!""Iya sih, aku kan cuma mengingatkan saja. Kalau bisa sih jangan kebanyakan kafein ...""Siap, Bu Kasir!"Nesi cekikikan, setelah itu dia menoleh ke arah Roni."Sudah makan siang, Mas?""Sudah tadi, Nes."Masih sambil nyengir, Nesi kembali menatap sindy dan berbisik."Semoga cepat tekdung!"Hampir saja kopi yang ada di mulut Sindy tersembur keluar gara-gara bisikan Nesi, untung tidak sampai tersedak.**"Adik-adik kamu tidak pulang sama kita, Mas?" Sindy masuk mobil setelah jam kerja berakhir, dia celingukan ke tempat duduk belakang yang kosong melompong."Mereka bawa motor sendiri kok, sin."