Pagi hari, Mutia beraktifitas seperti biasanya, ketika dia akan sarapan, Tasya datang sambil tergopoh-gopoh dari kamar. Gadis ini sepertinya sangat terburu-buru. "Say, sarapan dulu!" "Nggak sempet, Mut. Kamu bikin sarapan apa? bawain saja dalam kotak bekal biar kumakan di kantor." "Cuma omlet sayuran sama roti panggang, minumannya jus jeruk." "Iya, bawakan, ya! aku harus cepat berangkat." "Kenapa sih, terburu-buru?" tanya Mutia yang tengah memasukkan jatah sarapan Tasya di kotak bekal. "Jam setengah delapan aku harus sudah sampai kantor, ada monitoring dari kementrian BUMN. tahu sendiri dari rumahmu ini ke kantorku jauh banget, gak cukup satu jam perjalanan," ujar Tasya yang sibuk memakai sepatu hak tingginya di dekat rak sepatu. "Oh, ya sudah. Ini bekalnya jangan lupa dimakan. Makan di jalan saja kalau kamu sangat sibuk sampai kantor." "Terima kasih, ya! aku pergi dulu, bye!" "Iya, walaikumsalam!" "Eh, iya .... assalamualaikum!" ujar Tasya sambil tertawa karena lu
"Maksud anda, Pak?" tanya Mutia mendongak menatap rahang tegas lelaki itu. "Kau tahu yang aku maksud. Kau bukan perempuan yang bodoh, kan?" Mutia melepas pelukan lelaki itu dengan wajah cemberut. Dia sedang butuh dihibur, kenapa malah dikatain bodoh begitu? Diaz yang melihat itu hanya tersenyum tipis, tetapi tidak pula mau menanggapinya. "Pakaikan aku dasi!" Mutia kini menuruti permintaan lelaki itu, Diaz menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan wanita itu, dengan terampil Mutia memasangkan dasi pada lelaki itu, setelah selesai, Diaz juga memperbaiki kemejanya sendiri dengan memasukkan ke celananya. "Mana sarapan untukku?" tanya lelaki itu dengan antusias. "Apa? apa aku harus membuatkan anda sarapan juga?" "Apa aku harus bilang? seharusnya kamu sudah memahami hal itu?" "Oh, aku hanya membuat untukku saja, jika harus membuat lagi, aku tidak punya waktu." "Ya, sudah. punya kamu ini untukku, kamu bisa membeli di luar saja." "Tapi, Pak ... ini sudah aku makan seba
"Assalamualaikum?" Nenek dan Mutia menoleh ke pintu, nenek menjawab salam itu dengan ramah. Sementara Mutia melebarkan matanya, apakah lelaki itu tukang sihir? baru saja neneknya ingin bertemu, lelaki itu sudah nongol di pintu? "Walaikumsalam." Nenek dan Mutia membalas salam dengan serentak Bukan, bukan lelaki yang membuat tanda merah di leher Mutia itu yang mengucapkan salam, tetapi seseorang yang memakai baju jas putih dan di lehernya terdapat stetoskop. Lelaki berjas putih itu tersenyum cerah ke arah dua wanita di sana. "Selamat siang, Nenek? bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya lelaki itu dan menatap Mutia dengan senyum ramah, Mutia sendiri tidak percaya jika lelaki itu berprofesi sebagai seorang dokter. "Hm, oh ya ... ini dokter Fadil Nazib, dia adalah dokter bedah jantung yang terkenal dan dokter terhebat yang dimiliki Indonesia saat ini. Aku harap, dia bisa membantu operasi jantung nenekmu. Dia kesini akan memeriksa seberapa serius penyakit yang diderita oleh nenekmu
Plakk! "Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini. Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini."Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi. "Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku.""Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku aka
"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu. Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah s
Part 3 "Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group."Maksud kamu apa, Ren?" "Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?" Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?" "Ha? Kok bisa?" "Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?" Renita menghela napas kesal, sungguh pen
Part 4 "Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?" "Huh, angkatlah!" Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu. "Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi. "Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang. "Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon. "Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat." "Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah." "Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku." "Dasar anak
Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya. "Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren." Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal. "Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini. "Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini." Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menye