"Aku harus bicara. Ini tentang Nenek. Apa Om tahu kalau nenek sudah sadar?" Ketik orang itu tampak sedikit terkejut, tetapi hanya sebentar sudah itu kembali normal "Oh, jadi dia sudah sadar? baguslah. Segara dia bawa pulang ke rumah kamu," ujar Hilman dengan acuh tak acuh. "Om, Nenek itu masih ibu kandungmu. Perlakuanmu itu benar-benar mencerminkan anak durhaka." "Mutia! Jaga mulutmu itu! bukankah kau sangat menyayangi nenekmu itu? aku memberimu kebebasan untuk merawatnya sepuas hatimu." "Terus di mana tanggung jawab Om Sebagai anaknya? Uang perawatan nenek masih menunggak empat puluh juta sekarang, belum lagi nenek ternyata didiagnosa memiliki penyakit jantung, jadi Om harus bertanggung jawab membiayai nenek sebagai seorang anak." "Apa? ini semua salah kamu sendiri! bukankah Tommy sudah menyanggupi membayar semua biaya perawatan nenekmu? Makanya kamu jangan membuat ulah, demi nenekmu, harusnya kamu bertahan. Bukan malah mengemis-ngemis padaku!" "Ngemis? Aku hanya memin
"Pak, wanita itu seperti Nona Mutia," ujar Rais Diaz hanya mengepalkan tangannya menahan amarah. Kurang ajar, berani-beraninya mereka menghajar wanita kesayangannya? Diaz berusaha menyembunyikan amarahnya, wajah lelaki itu tampak acuh tak acuh ketika Hilman datang menyambut mereka dengan wajah tersenyum ramah, tampak kebahagiaan di wajahnya yang berseri-seri. "Selamat datang, Nak Diaz. Saya sangat senang nak Diaz datang ke kediaman saya," sambut Hilman sambil mengulurkan tangan. Diaz membalas uluran tangan lelaki paruh baya itu dengan acuh tak acuh "Mari silahkan masuk, bagaimana kabar pak Hadi? saya sudah hampir satu bulan tidak bertemu dengan beliau," ujar Hilman sambil berjalan masuk ke rumahnya. "Baik," jawab Diaz singkat. Hilman memaklumi sikap Diaz ini, pasalnya Pak Hadi pernah mengatakan jika anaknya itu tidak terlalu banyak bicara, bicara hanya seperlunya tetapi memiliki analisa dan kepekaan bisnis yang luar biasa. Ketika sampai di ruang tamu, Evita yang melihat
"Kak Diaz, minum dulu. Ini aku bawakan air putih," ujar Evita sambil menyerahkan segelas air putih ditangannya. "Aku tidak minum air seperti itu, aku hanya meminum air mineral dari merk khusus. Jadi tidak usah repot-repot." Perkataan Diaz jelas membuat Evita kecewa. Kenapa tidak ngomong dari tadi kalau maunya air mineral. Tangan Evita yang menggantung itu akhirnya ditarik kembali sambil menghela napas kesal. "Sabar," bisik Reni. Wanita paruh baya tersebut tentu tidak ingin membuang kesempatan untuk memiliki menantu seperti Diaz. Akhirnya Evita tersenyum kembali, selama ini dia memang belum menemukan lelaki setampan dan sehebat Diaz, hanya Diaz yang paling hebat. "Tenang, Ma. Aku akan bersabar." "Bagus." Setelah melihat dokumen telah lengkap, Diaz menaruh berkas tersebut di atas meja. Lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya pada keluarga tersebut. "Baiklah, Pak Hilman. Saya sudah membaca semua berkasnya, berapa pak Hilman akan menjual tanah tersebut?" tanya Diaz
Mobil yang dikendarai supir melaju dengan mulus di jalan aspal, lelaki di sebelah Mutia hanya sibuk menatap iPad nya dan mengutak-atik benda itu. Sementara Mutia menyandarkan kepalanya di pintu mobil sambil memandang keluar jendela. Raut wajahnya masih sedih, sebenarnya memang sedih, dia tak tahu ke mana lagi akan mencari uang buat membayar biaya rumah sakit neneknya. sebenarnya, diam-diam Diaz selalu memperhatikan wanita di sebelahnya, bahkan dia ingin sekali merengkuh tubuh wanita itu hingga kesedihan di wajahnya berkurang. Bagaimana wanita ini hidup selama ini, bersama keluarga yang tidak peduli padanya. Diaz bukannya tidak tahu, dia sudah banyak tahu tentang kehidupan Mutia. Bahkan tanah yang akan dibelinya kini, dulu atas nama siapa lelaki itu juga tahu. "Mau ke mana sekarang, Pak?" tanya Rais. "Langsung pulang!" Mobilpun melaju ke arah apartemen, setelah sampai, mobil berhenti di carport depan lobi, tidak langsung masuk ke basemen. "Turun!" Kata perintah dari Diaz mem
"Aku tidak menderita diabetes." "Tapi anda mengatakan punya riwayat diabetes." "Kau melihat aku ada di rumah pamanmu?" "Ya." "Apa yang kau dapatkan setelah mendapat tamparan dan tendangan di sana?" Mutia menghela napas berat, bawang dan cabai yang baru saja diiris membuat matanya perih, membuat hatinya juga bertambah perih. Sehingga memperlancar air matanya mengalir, dengan cepat wanita itu menghapus air matanya memakai tangan, tetapi karena tangannya juga habis memegang bawang, jadi matanya bertambah perih. Melihat itu Diaz tidak bisa tinggal diam. Lelaki itu langsung datang menghampirinya. Memeluknya dengan posesif, membuat Mutia terkejut dan berusaha memberontak. Dengan tangan panjangnya, lelaki itu mudah sekali meriah tissue di atas bufet. Mengambilnya secara sembarangan dan mengusap mata wanita itu dengan lembut. Tak lupa juga mengusap pipinya yang terlihat bengkak. "Apa masih sakit?" tanya lelaki itu dengan suara lembut. "Nggak lagi." "Harus dikompres air hanga
Semalaman Mutia tidak bisa tidur, dia terus memikirkan kondisi neneknya. Hanya neneknya yang dia punya di dunia ini, sebisa mungkin dia harus memperjuangkan kehidupan wanita tua itu. Pagi itu, suara telepon terus berdering. Ini sudah jam setengah tujuh lagi. Mutia juga tidak beranjak dari tempat tidur setelah selesai salat subuh tadi. Mutia dengan malas menatap layar telepon, dia sungguh tidak ingin menerima telepon dari bosnya itu, lelaki yang benar-benar tidak menghargai perempuan, apa bedanya dia dengan Tommy? Semakin di diamkan, suara ponsel itu semakin berdering dengan tanpa jedah. Akhirnya demi ketentraman dirinya, dia terpaksa mengangkat ponselnya. "Ini sudah jam berapa? kenapa tidak menyiapkan keperluanku? sarapanku?!" teriak lelaki dari seberang. "Maaf, Pak Diaz. Mulai hari ini saya akan resign." "Apa?! Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? kau mau resign? kau sudah tahu konsekuensinya? Kau akan didenda dua miliyar, kau paham itu?!" teriak lelaki itu dengan t
Pagi itu Mutia memang memutuskan tidak pergi ke kantor juga tidak ke apartemen Diaz. Dia tidak mau menjadi lebih rusak lagi, baginya kejadian malam itu sudah cukup membuatnya merasa bersalah dan berdosa. Pagi itu dia memutuskan untuk memasukkan lamaran ke tempat kerja Tasya, sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang transfortasi publik. Ada lowongan untuk satu orang staf administrasi dan operator. Sesuai jurusan, Mutia melamar di staf administrasi. Ternyata banyak sekali pelamar yang sudah datang, padahal banyak juga yang mendaftar via online. Hal itu membuat Mutia pesimis akan mendapatkan pekerjaan di tempat ini, karena banyak juga lulusan universitas terbaik yang ikut melamar. Sebenarnya gaji sebagai administrasi kantor juga tidak banyak, gaji pokoknya hanya empat juta ditambah tunjangan kinerja menjadi tujuh juta. Sementara bekerja di perusahaan Diaz bisa bergaji lima belas juta. Tapi apa mau dikata, ternyata selama ini Mutia merasa dijebak. Karena ternyata apartemen ya
Sore harinya, Mutia langsung mengutarakan kepindahannya pada Tasya. Gadis itu hanya mengangguk saja, sepertinya tidak cemas sama sekali. "Aku sudah punya tempat tinggal. Sudah lama aku mencari kontrakan dan ternyata dekat dengan tempat kerjaku. Jadi kamu jangan kuatir tentang aku. Aku juga bisa tinggal di mess karyawan kalau mendesak. Besok pagi aku juga akan pergi, aku bahkan sudah berkemas sejak kemarin," ujar Tasya membuat Mutia sedikit lega. "Oke, besok aku akan mampir ke tempat tinggal kamu, Sya." "Besok cari kerja lagi di tempat lain, siapa yang cepat dipanggil itu yang kamu ambil." "Iya, aku sudah memasukkan lamaran ke tiga perusahaan, tetapi belum juga dipanggil. Aku sih pesimis, sepertinya aku sudah diblacklist juga di sana." Keesokan harinya, Mutia sudah mengepak pakaiannya di koper. Dia tidak akan membawa barang apapun dari apartemen ini selain pakaian yang dia bawa dulu. Pagi-pagi sekali Tasya juga sudah pergi sambil menyeret kopernya menaiki taksi online. Entah
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me