"Selingkuhan? Duh, anda ini gimana? Menantu saya ini kalau pergi selalu bicara jujur sama saya. Lagi pula waktu itu yang bertemu dengan dia, saudara jauh kami yang baru datang ke Jakarta. Agak kampungan memang karena dia tidak berniat ke mall, tapi malah nyasar ke supermarket. Untung Frani lihat jadi bisa dibawa ke rumah dengan selamat," kelas Fitri menutupi kecurigaan dari teman-teman arisannya. Frani sendiri bungkam. Dia tidak menyangka jika ada orang yang mengenalinya. Lirikan matanya ke arah Fitri menandakan bahwa dia tidak memahami mertuanya. Kenapa Fitri tiba-tiba membelanya? Biasanya wanita itu akan mengamuk jika Frani tertangkap basah. Apa mungkin nanti setelah orang-orang pergi? Mendadak tubuh Frani mendingin. Apa sebaiknya dia pergi tanpa penjelasan? Kesempatan bagus untuk Frani pura-pura sakit kepala dan harus istirahat. Tapi memikirkan bahwa Fitri bisa saja kembali bersikap buruk, menciutkan nyali Frani. Biarlah nanti wanita itu mencari cara untuk menjelaskan.Setelah or
Melihat muka Frani yang berubah, Rendi meraih benda di tangan istrinya, membaca nama yang tertera di sana. Pria itu menghela napas kasar, dia pikir Frani sedang diteror oleh Fitri. "Mama mau ngapain lagi? Mengusik Frani? Ini masih pagi loh, Ma. Tolong jangan membuat Frani tertekan. Sepagian ini perutnya terasa nggak enak, jangan ditambah..,""Mas, kok marah-marah? Mama hanya bertanya kabarku," sela Frani agak kesal. Dia menarik benda itu lagi dari tangan Rendi. "Maaf, Ma. Mas Rendi tiba-tiba muncul. Kalau masalah itu, aku nggak berjanji apa-apa sama dia. Bicara juga nggak. Jadi mama tenang saja.""Benar begitu?""Benar, Ma.""Baiklah. Tolong kamu marahi Rendi sebagai gantinya. Mama tanya baik-baik tapi malah dia ngamuk begitu. Benar-benar isi kepalanya nggak terlalu beres. Nanti siang mama datang, Fran. Mama buatkan makanan spesial.""Terimakasih, Ma."Frani menutup panggilannya dan menatap tajam pada suaminya. "Yang bicara tadi mama loh, Mas. Mama kamu sendiri. Bisa-bisanya kamu mara
Biasanya para pria akan segera menyerahkan diri jika sang wanita sudah melepaskan harkat dan martabatnya. Nilai jual wanita akan semakin murah dan tentu saja banyak yang tergiur, tapi bukan Rendi orangnya. Pria itu menyeringai penuh ejekan. "Kalau dulu sebelum menikah Frani bicara begitu, saya nggak akan mempertimbangkannya. Saya akan dengan senang hati membawa Frani ke tempat tidur. Asal kamu tahu, saya mengejar Frani beratus-ratus kali tapi nggak semudah itu mendapatkan miliknya. Sedangkan kamu? Bertemu sekali, belum digoda, belum mengejar, tapi kamu sudah merendahkan diri. Memangnya kamu secantik itu?""Sialan. Mulut anda pedas juga ternyata," umpat Celia. "Sayangi yang ada di dalam perut kamu itu. Kasihan dia kalau dari masih berbentuk janin, dia sudah mendengar ocehan ibunya yang hina. Kenapa saya jadi bicara begini? Saya yakin kamu juga nggak akan mendengar. Terimakasih untuk tawarannya hari ini. Semoga beruntung dengan pria lain," tukas Rendi kemudian pergi.Celia berulangkal
Frani tidak bisa tidur. Memikirkan pesan itu membuat tubuhnya memanas dan pikirannya dipenuhi kecemasan. Dia tidak mempertanyakan pada Rendi karena alasan kesopanan. Pesan itu tertuju pada Rendi dan dia tidak ingin Rendi merasa terancam privasinya. Memang benar bahwa dalam pernikahan tidak ada yang namanya privasi, yang diketahui suaminya pasti dia juga pasti tahu. Tapi sekali lagi Frani menekankan bahwa dia menghormati suaminya.Rendi sepertinya sadar keengganan Frani untuk tidur. Tubuh istrinya kelimpungan kesana-kemari, mencari posisi nyaman yang tidak kunjung dia dapatkan. Dengan sentuhan pelan pada wajah istrinya, Rendi berkata, "Kamu baca pesanku?"Seketika kelopak mata istrinya terbuka lebar. "Kamu tahu, Mas?"Rendi mengangguk sambil tersenyum. Tidak ada guratan kemarahan ataupun kekecewaan pada raut wajahnya. "Insting seorang suami.""Maaf, Mas," ucap Frani malu. Dia menunduk sedih. Satu menit kemudian, kecupan singkat justru dia dapatkan. Kepalanya kembali mendongak. "Maafkan
Gani harus berterimakasih pada Sarah. Kalau bukan karena ibunya dia tidak akan menerima pekerjaan sebagai kurir makanan di sebuah restoran dan tidak akan pernah bertemu Frani lagi. Melihat nama kantor yang tidak lagi asing, pria itu bergerak cepat. Yang dia tahu, jika keberuntungan sedang berpihak padanya, dia bisa bertemu Frani. Melihat manik mata yang pernah keterkejutan itu, Gani semakin ingin memeluknya. Dua tangannya penuh dengan paper bag berisi pesanan atas nama Rendi sudah siap dia lempar seandainya Frani menyapanya seperti dulu."Sedang apa kamu di sini?" tanya Frani acuh."Fran, meskipun kita bukan lagi suami istri tapi aku tetap mantan suami kamu, pria yang pernah mencintaimu dengan sepenuh hati."Ingin sekali Frani tertawa mendengarnya. Cinta? "Mencintai sepenuh hati tapi masih bisa selingkuh? Kalau nggak cinta, mungkin dari awal menikah kamu memaksaku untuk jadi istri pertama kan? Sudahlah, masa lalu kita nggak akan pernah indah jika dikenang sekarang.""Aku rindu panggi
"Celia, apa yang kamu lakukan? Ya Tuhan, Gani," pekik Sarah. Wanita itu baru keluar dari dapur ketika suara yang aneh terdengar dari arah depan. Melihat Gani memegang bagian penting dalam tubuhnya, dia merasa ada yang tidak beres. Sekilas dia mendapati Celia menyeringai, merasa menang dalam pertikaian mereka.Sarah membantu Gani berdiri, lalu mendelik pada Celia, "Berani kamu memukul Gani? Gani masih suami kamu, Cel. Ingat nggak?"Celia mendesis, "Siapa yang memukul? Aku hanya membela diri. Dia bilang aku boleh pergi kalau aku bisa melangkahinya? Bukan salahku dong. Sekarang lihat, Mas, aku melangkahi kamu." Dengan berani dia melangkah melewati Gani. Sebelum dia pergi selamanya dari rumah itu, dia mengancam akan menggugat cerai Gani dengan alasan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya selama menjadi istri.Gani meradang. Kekesalannya sudah bukan lagi kekesalan. Dia siap melawan Celia kalau wanita itu tidak mau meminta maaf. "Minta maaf padaku, atau selamanya aku nggak akan menceraikan
Suasana di kantor satpam tidak jauh berbeda. Mereka bukan bertikai secara fisik tapi dengan bibir. Adu mulut yang tidak lagi sekedar menyumpahi secara halus terdengar di sana-sini. Frani terkejut karena Fitri ternyata bisa menyumpahi orang. Dia pikir orang yang memiliki status tinggi tidak akan pernah mengutarakan hal buruk pada sembarang orang. Frani mungkin lupa bahwa dia pernah jadi bahan makian Fitri waktu itu. Kalau Sarah tidak perlu diragukan lagi. Dia lebih bisa menyalurkan emosinya dengan mulut ketimbang perbuatan. Makanya Frani tidak heran sama sekali. Justru yang heran dan tidak bisa berkata apa-apa adalah Rendi. Rendi datang karena Frani menelponnya. Frani tidak bisa mengatasi mereka sendiri. Supir mereka hanya bisa mengambil jalur tengah dengan mengorbankan tubuhnya untuk jadi kambing hitam, tapi yang namanya para wanita sedang menyalurkan bakat terpendam tidak akan mudah dialihkan. Ada-ada saja cara agar keduanya bisa saling menarik rambut lawan.Rendi mendekati mamanya,
Irwan mendengus, setiap kali istrinya mengadu pasti pada akhirnya ucapannya melantur kemana-mana. "Mama nggak berpikir kalau mama akhir-akhir sering plin-plan? Sebentar-sebentar baik pada Frani, menerimanya dengan lapang dada seolah Frani memang berhasil menjadi menantu yang baik. Beberapa hari kemudian berubah menjadi mertua yang jahat yang ingin mengusir menantunya. Lalu jadi baik lagi, belum juga beberapa bulan sudah kembali jahat. Memangnya kalau mama minta Rendi menceraikan Frani, anak kita akan terima? Apa mama nggak pernah berpikir kalau anak mereka nanti yang juga cucu kita, akan jadi bahan bully karena punya orangtua broken home? Apa mama nggak kasihan?"Hati Fitri tertohok begitu mendengar ucapan suaminya. "Tapi mama nggak bisa kalau harus berurusan dengan masa lalu Frani, Pa. Mama benci pada mantan mertuanya itu. Heran kenapa dia harus muncul di sana? Apa jangan-jangan dia membuntuti kita?"Irwan harus mulai menggunakan rayuannya agar Fitri mau berusaha lebih keras lagi unt