Kuhela napas panjang sambil menatap nelangsa ke arah Ilham yang langsung meraih jemari tanganku. Ia letakkan ke atas pahanya. "Maaf kalau aku harus bilang ke kamu untuk jaga jarak dari Farid.""Iya, Ham. Aku tau batasan dan posisiku. Melupakan memang susah, tapi aku sudah janji akan berusaha keras dan namamu yang ada di hatiku selamanya."Tak ada janji yang bisa kuucapkan selain hal itu. Memang sudah seharusnya bukan?Rahasia Siska terbongkar. Ia digerebek Farid saat datang ke klinik ilegal tentang aborsi bayi. Janin yang di dalam kandungan ternyata tak sempurna, ada cacat dan Siska tak mau. Pun, ternyata Siska ke klinik itu tak sendiri melainkan bersama orang lain yang juga bukan Kevin.Farid naik pitam, ia marah di sana dan segera meminta penjelasan Siska. Kevin juga hadir karena ia yang sudah membuntuti Siska dan mau memperbaiki hubungan pertemanan dengan Farid seperti dulu jadi dengan niat bulat ia akan menyelematkan Farid dari kelicikan Siska.Para pekerja di klinik ilegal itu pa
"Nisa, kok melamun," tegur Ilham lalu aku tersadar setelah ia mengusap kepalaku. Rambut panjangku gerai, lurus hitam dan cukup lebat, Ilham suka berlama-lama mengusapnya. "Ham, ini ...." Tak mau menutupi apapun, aku menunjukkan isi pesan dari Farid. Aku khawatir akan reaksinya, marah atau takutkan ia? Nyatanya Ilham tersenyum tipis lalu memelukku erat. "Aku yakin kamu mampu menepati janjimu, jadi aku tidak perlu khawatir apapun juga, bukan?" Lega rasanya, kuanggukkan kepala mantap. Yakin dengan jawaban yang akan aku berikan. Kuantar kepergian suami ke kantor hingga ke depan pagar. Tak lupa memakai hijab. Pagar aku tutup dan gembok, karena aku berencana berada di kamar untuk merapikan beberapa pakaian kami yang belum ditata ke dalam lemari semua. Ilham mengizinkanku berdagang hijab dan pernak perniknya tapi secara online, ia khawatir jika aku mengendarai mobil sendirian lalu belanja. Semua online pokoknya. Satu persatu pakaian Ilham aku atur ulang sesuai warna, terlihat rapi dan m
Suara musik mengalun indah di kedai kopi yang jadi tempat aku janji bertemu Farid. Sudah lima belas menit aku duduk, green tea latte pesananku sudah habis setengah.Ia datang, wajahnya tampak kusut karena banyak tekanan dalam hati yang tidak bisa diungkapkan. Aku tau Farid, bukan tipe laki-laki yang suka berbagi cerita, lebih mengarah ke menyembunyikan."Assalamualaikum, Anisa," sapanya dengan wajah penuh rindu, aku tau itu."Waalaikumsalam," balasku sambil tetap duduk bersandar. Farid duduk di hadapanku, ia menahan haru karena melihatku dengan perut membesar.Kehamilanku sudah masuk ke lima bulan, aku sengaja mengulur waktu bicara dengannya karena mau melihat sejauh mana ia sabar."Anakku sehat?" Ia menunjuk ke perutku."Alhamdulillah, sehat, tumbuh sempurna dan ... laki-laki." Sengaja aku langsung memberitau gender anak ketiga kami.Farid tersenyum lebar namun dari sorot matanya aku tau ia begitu haru sekaligus senang karena memang ia mau memiliki anak laki-laki."Jagoan kita," liri
Tak percaya dengan siapa yang kulihat. Siska masuk ke ruangan tempat kami makan, ia tak sendiri tapi bersama seorang laki-laki. Rambut Siska ia potong pendek sekali, warnanya berubah coklat terang.Ilham mengusap jemari tanganku, meminta mengabaikan Siska yang tampaknya tak sadar ada aku dan Ilham.Kami lanjut makan tapi hatiku dongkol, ingin rasanya memaki Siska. Namun percuma juga, toh masa depanku bersama Ilham sekarang ini.Segera kami pulang ke rumah setelah membayar, aku terkejut saat Siska menatap tajam ke arahku dengan kobar amarah tertanam di kedua mata tapi raut wajah datar. Sungguh menyeramkan, begitu bengis menatapku saat sedang menerima uang kembalian di kasir."Siska lihat aku sepertinya dia benci aku, Ham," kataku sesaat setelah duduk di dalam mobil."Jangan pikirkan. Kita juga tidak tau dia muncul lagi karena apa. Siapa laki-laki tadi juga kita tidak tau. Dosa kalau berpikir yang bukan-bukan. Mau langsung pulang atau beli sesuatu dulu?" Ilham melajukan mobil dengan pel
Aku menjadi was-was, hari ini masuk minggu ke dua dengan lima surat kaleng lainnya. Sudah bukan darah binatang, tapi hanya kertas berisi pesan mengancam dan fotoku.Siska sepertinya mengincar psikisku. Apalagi kondisi hamil gini mudah stres.Ilham terus memberikan semangat supaya jangan dipikirkan. Belum tentu hal buruk akan Siska lakukan. Siapa tau hanya mengancam.Aku harus pergi mengirim barang pesanan pembeli kerudung jualanku ke jasa pengiriman. Terpaksa keluar rumah tanpa Ilham. Dalam hati aku berdoa supaya dijauhkan dari mara bahaya.Kembali mengemudikan mobil sendiri, perlahan ku arahkan mobil keluar dari garasi rumah. Tak lupa aku izin ke suamiku yang meminta aku terus menghubunginya.Aku istighfar dalam hati tanpa henti supaya tenang, karena bagaimanapun juga rasa was-was itu perkara setan yang bermain. Setelah menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan, aku bisa lebih tenang.Kirim paket selesai, tak langsung pulang karena mau mampir membeli buah-buahan untuk stok di ru
Aku, koma sepuluh hari? Sungguhkah?Tatapan kedua orang tuaku begitu penuh haru namun juga lega, mungkin karena aku kembali sadar. Akan tetapi semua menjadi sepi serta hening saat Ilham memberitau jika Ibnu, anak ketigaku meninggal.Duniaku runtuh seketika, pikiranku kosong serta pandangan hanya mengarah pada langit-langit kamar rawat rumah sakit.Hanya tinggal aku dan Ilham di kamar rawat. Kedua anakku pulang ke rumah bersama para orang tua, pulang ke rumah Ilham.Tubuhku masih terasa susah bergerak, apa aku lumpuh?Ilham mendekat, dikecupnya kening juga kedua pipiku. "Ham, apa ... aku lumpuh?" lirihku mendekati berbisik pelan.Ia menggelengkan kepala. "Bukan lumpuh total, hanya sementara akibat tulang belakang kamu cedera, tapi tidak apa-apa karena kata dokter dengan terapi nanti perlahan semua normal.Kepala kamu terbentur keras, itu yang membuat kamu koma. Operasi darurat langsung dilakukan untuk cek kandungan kamu. Qadarullah, sudah kehendakNYA, Ibnu meninggal dalam kandungan."B
Aku merasa jika kondisi fisik tak sesuai harapan lagi. Dua bulan semenjak kecelakaan, terapi yang dijalankan masih belum membuahkan hasil.Sampai kini masih saja aku duduk di kursi roda. Hidup mengandalkan bantuan asisten rumah tangga yang dibawa ibu dari kampung. Mbak Warsih namanya, wanita empat puluh tahun dengan satu anak yang sudah bekerja di minimarket. Dia dulu menikah muda.Tetangga ibu di kampungku, yang suaminya buruh tani di ladang milik pak lurah."Nisa mau Mbak buatkan teh jahe?" tawar Mbak Warsih yang mendapati aku sedang melamun menatap hujan di teras rumah."Ah, iya, boleh, Mbak. Sambil saya tunggu Ilham pulang kerja," sahutku. Mbak Warsih kembali ke dalam rumah. Kepalaku tertunduk, menatap kedua kaki yang lemas. Bukan mati rasa total, hanya saja untuk bergerak atau berdiri tak ada tenaga.Sudah sering aku jatuh karena mencoba berdiri dan berakhir membuat Ilham marah-marah hingga aku dilarang keras olehnya memaksakan diri.Sungguh mentalku sebagai istri mulai terganggu
Selamat membaca, ___________ Pilihanku jatuh ke negara Swiss, Ilham juga setuju. Semua diurus aku dan Ilham, mulai dari menghubungi travel agent hingga mengatur urusan rumah. Hari yang kami tunggu tiba, Ilham memesan taksi untuk kami berangkat ke bandara. Kursi roda ia belikan yang baru, lebih ringan dan mudah dibawa. Kurapikan hijab sambil mematut di cermin. Ia berdiri di belakangku dengan kedua tangan memegang bahuku. "Udah cantik, sayang," pujinya. Aku tersenyum. Kuraih tangannya lalu aku mengecup jemarinya. "Maaf kalau repotin kamu karena kondisiku, Ham." Ilham menggeleng, sedetik kemudian ia peluk diriku. Diciumi pipi kiriku berkali-kali. "Jangan pernah berpikir kamu merepotkanku, Nisa. Jangan, ya. Siap berangkat?" Kami menatap lewat pantulan cermin, senyumku merekah. Selanjutnya ia mendorong kursi roda hingga menuju taksi. Bibi berpesan supaya kami jangan memikirkan apapun, rumah akan aman. Perjalanan sampai bandara diiringi obrolan ringan. Saat melihat raut waja
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko
Bekerja bersama suami dalam lingkup yang sama juga menjadi hal baru bagiku. Ustadzah Tyas memudahkan semuanya. Ilham bekerja sebagai pengatur jadwal keberangkatan jamaah umrah dan juga haji, ia yang koordinasi dengan banyak pihak juga bersama timnya membuat rincian kegiatan supaya jamaah merasa nyaman. Kami berangkat dan pulang kerja bersama, bahkan makan siang juga tetap aku siapkan di pantry kantor untuk kami makan. Itu kalau Ilham tidak keluar kantor untuk urusan perijinan dan lain-lainnya. "Assalamualaikum, Nis," sapa ustadzah Tyas. "Waalaikumsalam, Ustadzah." Aku beranjak, ia menahanku berjalan mendekat kearahnya dengan gerakan tangan, memintaku duduk saja. "Nisa, keberangkatan jamaah umrah dua minggu lagi, apa bisa Ilham ikut ke sana temani suamiku sebagai ketua rombongannya?" Aku tersenyum senang seraya mengangguk kepala. "Alhamdulillah. Sama satu lagi, apa aku bisa minta tolong kamu atur seragam karyawan kita? Kayaknya harus semakin profesional, Nis. Kamu tau soal gaya p
Air mata Mila turun perlahan, secepat kilat ia hapus dengan punggung tangannya. Ia tertawa miris, "kenapa cinta sesulit ini. Aku berhak mencintai seseorang, bukan?"Masih saya keras kepala. Aku tersenyum masam, "benar. Tetapi bukan dengan suami orang. Apa kamu tidak punya harga diri." Sengaja aku bicara seperti itu, sudah kepalang emosi. Ilham menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Jika begini. Sudah jelas saya aka resign dari perusahaan. Nisa," panggilnya. Aku menoleh. "Temani aku ke kantor, aku mau resign hari ini juga. Tidak masalah aku harus rugi tunjangan apapun. Ini salah dan aku tidak mau mengorbankan perasaanmu dan rumah tangga kita." Ilham beranjak, mengulurkan tangan ke arahku yang langsung kusambut dengan meraihnya. "Percakapan kita sudah saya rekam, Mila. Dan saya akan laporkan ke Papamu. Perusahaan tidak akan menahan saya. Permisi." Kami pun pergi, Ilham terus menggandeng tanganku berjalan keluar dari sana hingga tiba di mobil. Saat kami sudah sama-sama duduk, ia
Kuputuskan menyusul ke Bandung tepat di hari jumat. Pukul tiga aku sudah berangkat ke stasiun kereta diantar sopir juga bibi yang kupaksa merahasiakan kepergianku.Setelah bertanya sana sini, aku bisa tau jika dari stasiun bisa naik ojek online atau taksi resmi maupun taksi online menuju ke kantor cabang tempat Ilham bekerja.Dengan perasaan was-was aku pergi ke sana hanya dengan membawa tas kecil tanpa bawa pakaian ganti. Memang tak niat menginap, hanya ingin membuktikan sesuatu.Ilham sama sekali tak menghubungiku, benar-benar ada yang tidak beres dengannya.Aku berdoa ini bukan masalah besar dan bisa segera kuselesaikan.Akhirnya aku tiba di kota Bandung. Kupaksakan sarapan di sana walau hanya makan sepotong roti dan minum kopi. Kantor tempat suamiku bekerja ada di seberang kedai kopi yang aku sambangi. Suasana perkantoran terasa kental, lalu aku melihat mobil dinas dengan nama perusahaan masuk ke parkiran.Segera aku beranjak, berjalan sedikit cepat walau kakiku masih suka linu, m