“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Ahh … kau nikmat sekali, ...." Baru saja Valency melangkah masuk ke dalam apartemen sang kekasih untuk merayakan hari jadi ketiganya, tapi dirinya malah dikejutkan dengan lenguhan dua orang yang bersahutan. "Jangan meninggalkan jejak di sana, Lency bisa curiga nanti ...." Valency menautkan alisnya. Itu … suara desahan seorang perempuan! Dengan tubuh kaku, gadis berambut hitam panjang bergelombang itu berjalan perlahan, menghampiri sumber suara yang dia yakini berasal dari kamar sang kekasih. Di waktu yang bersamaan, sebuah suara pria terdengar berkata, “Kamu kira aku takut padanya?” Itu adalah suara kekasih Valency, Felix! Dengan jantung berdebar kencang, Valency mengintip celah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Seketika, gadis itu pun terbelalak melihat pemandangan di dalam. Tampak sang kekasih dan sahabat dekatnya, Felix dan Cecilia, sedang berbaring mesra di atas tempat tidur dengan posisi intim! “Bukankah hari ini hari jadi tiga tahun hubungan kalian?” tanya Cecilia se
Jayden Spencer, seorang desainer perhiasan ternama yang dihormati semua orang! Di usia lima belas tahun, Jayden Spencer sudah berhasil menghasilkan desain perhiasan legendaris yang dikagumi semua orang. Saat dia dua puluh lima tahun, pria itu mendirikan Diamant Corp, perusahaan yang hanya dalam kurun waktu tiga tahun menjadi perusahaan perhiasan terbesar negara Eden. Sekarang, di usianya yang ketiga puluh sembilan, pria tersebut telah menjadi salah satu tokoh terpenting dalam dunia perhiasan! Mata Valency membulat sempurna. Bagaimana bisa satu email sederhananya malah membuatnya dipertemukan langsung dengan orang penting seperti Jayden? “Langsung ke intinya,” ucap Jayden memecah lamunan Valency. “Desain yang dirimu kirimkan, itu adalah desain yang telah diikutkan dalam lomba Komunitas Desainer Perhiasan Negara.” Valency menelan ludah. Lomba Komunitas Desainer Perhiasan Negara adalah lomba yang diikuti oleh Felix dan Cecilia. Kebetulan Valency tahu Diamant Corp adalah salah satu p
Jayden menganggukkan kepala mendengar jawaban Valency. Dia mengambil sebuah map coklat dan meletakkannya di hadapan gadis itu. “Apa ini?” tanya Valency kepada Jayden. “Kontrak pernikahan, tanda tangani,” titah pria itu. Valency mengambil dokumen yang diberikan Jayden dan membaca isi dari kontrak yang tertera. Sulit untuk dipercaya, semua persyaratan tertuang dengan sangat detail di dalam sana, seolah Jayden telah menyiapkan semuanya dari jauh hari! Menepiskan keterkejutan itu, Valency tetap menandatangani kontrak tersebut dan memberikannya pada Jayden. Pria itu melakukan hal yang sama dan memberikan salinannya kepada Valency. “Ayo,” ucap Jayden seraya melangkah meninggalkan ruang kantornya. Valency bergegas mengejar Jayden. “Ke mana?” tanyanya dengan sedikit berlari. Di dalam lift bersama dengan Jayden dan seorang pria yang Valency duga adalah asisten pribadi pria tersebut, Valency mendengar presdir Diamant Corp itu menjawab, “Kantor catatan sipil. Kita menikah hari ini.” Va
Di saat kekhawatiran Cecilia mencapai puncak, Valency pun menjawab dengan senyuman tipis, “Aku dikejutkan oleh Dekan yang mengabarkan kalau beasiswa tingkat lanjutan yang kuajukan disetujui. Akhirnya, aku pun harus kembali ke kampus untuk mengurus berkas-berkasnya.” Mendengar itu, Cecilia memaki dalam hati, ‘Sial, kukira apa … ternyata beasiswa bodoh saja!’ Namun, di depan Valency, Cecilia memaksa untuk bersikap senang. “W-wah, selamat ya, Lency!” Tampak senyuman Cecilia agak canggung karena sebelumnya memang sempat terkejut. Sudut bibir Valency terangkat semakin tinggi. “Kamu kenapa ketakutan begitu? Seperti habis tertangkap basah selingkuh saja.” Ucapan Valency membuat sekujur tubuh Cecilia menggigil, jantungnya berdebar kencang. Gadis itu pun tertawa palsu kepada Valency. “Apa sih Lency? Bercandamu ada-ada aja,” balas Cecilia. Dia dengan cepat mengalihkan topik. “Syukur deh kamu dapat beasiswa itu. Tapi sayang ya, kamu jadi gak rayain hari jadian sama sekali kemarin?” “Ya beg
Sejak Valency memasuki rumah Jayden, dia tak bisa berhenti berdecak kagum pada segala hal yang dilihatnya. Sepanjang mata Valency memandang hanya ada kemewahan yang elegan, tidak terlalu mencolok dan norak menurut Valency. Dari melihat isi rumahnya saja Valency bisa tahu bahwa Jayden adalah penikmat seni. Apalagi melihat foto-foto yang terpajang di dinding memiliki bingkai khusus yang belum pernah Valency lihat. Sepanjang sisi bingkainya dihiasi batu permata yang indah. Jayden yang menyadari tatapan berbinar Valency dan ketertarikannya pada bingkai-bingkai di rumahnya membuat Jayden tersenyum tanpa sadar. “Bingkai-bingkai itu semuanya dibuat khusus dan edisi terbatas dari Diamant Corp, biasanya diberikan ke pelanggan VIP sebagai hadiah,” ucap Jayden menjelaskan. “Bagaimana menurutmu? Bagus?” Valency menoleh, mengangguk penuh semangat. “Sangat bagus dan indah!” ucap Valency menggebu-gebu. “Kamu suka?” tanya Jayden lagi. Lagi-lagi Valency menjawabnya dengan anggukan penuh sem
Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak. “Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!” Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden. “A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.” “Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—” Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak. Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak. Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil. “Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan
Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya. “Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.” Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.” Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk? “Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut. Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana. Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden. Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya. Kalau ada orang yang mel
“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Apa yang terjadi ...."Verena berpegang erat pada tepi wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sebab tubuhnya sekarang mulai limbung."Permisi. Apa kamu baik-baik saja?"Verena mendengar salah satu pengunjung kamar mandi bertanya dan ia mengangguk, semata-mata karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya."Wajahmu pucat." Gadis itu kembali berkomentar. Lalu ia mengeluarkan beberapa jenis pil dari dalam tasnya. "Jika ... kamu sedang datang bulan dan merasa tidak nyaman karenanya, ini aku ada obat."Gadis itu meletakkan obat-obatan itu di tepi wastafel, di hadapan Verena."Tidak apa-apa. Jangan malu." Verena mendengar gadis asing itu kembali berucap. "Perlu kuantar ke petugas? Aku juga bisa memanggil dokter."Verena hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Ia menggeleng, mencoba menyampaikan kalau ia tidak butuh bantuan.Meski sebenarnya, ia merasa bahwa ia akan mati di sini Lalu gadis itu keluar dan Verena sendirian di dalam toilet.Ve
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men
"Apakah kamu punya koneksi khusus pada Nona Jones, Verena?" Pertanyaan Mia itu membuat Verena tersenyum.Sama seperti semua sosialita di pesta amal keluarga Miller beberapa waktu yang lalu, tidak semuanya mengetahui mengenai identitas Verena sebagai Vera Jones.Mungkin memang ada pembicaraan dari mulut ke mulut setelah pesta, tapi informasi tersebut tidak mungkin sampai ke semua orang. Apalagi ini soal pencapaian Verena, si anak haram. Orang akan lebih senang bergosip soal dia yang tiba-tiba mendapatkan rezeki nomplok dan warisan dari sang ayah karena cara kotor.Bukan dengan pertimbangan bahwa Verena punya kemampuan.Di samping itu, tampaknya memang Mia tidak terlihat seperti wanita yang hobi bergosip. Karenanya, sebelum Eric sempat menyelesaikan kalimat tadi, Verena sudah bertanya, "Bagaimana menurut Anda soal desain-desain Vera Jones, Nyonya Gray?"Verena tahu sedikit banyak soal Mia Gray, ibunda Eric, dari informasi yang diselipkan oleh Ashton sebelum ia sepakat untuk datang ke
Verena dengan segera membetulkan posisinya dan berdiri untuk menyapa orang tua Eric Gray tersebut.Dalam hati, ia merasa seolah diselamatkan oleh kehadiran Mia dan Beatrice, terlepas dari posisinya yang agak memalukan dan bagaimana Beatrice tampak ingin sekali langsung menghakiminya detik itu juga.Akan tetapi, Verena langsung mengalihkan fokusnya pada Mia. Sepasang mata ibu Eric tersebut kini menatapnya dengan penuh perhatian."Ibu," Eric menyapa dengan nada yang masih tenang, seakan pertemuan itu adalah hal biasa. "Perkenalkan, ini Verena."Sikap pria itu seolah mereka tidak berada dalam posisi yang patut dipertanyakan sebelumnya. "Ya. Itulah wanita yang dipilih oleh putramu," ucap Beatrice pada Mia, iparnya. Kemudian, wanita paruh baya itu mendengus. "Sudah bagus aku kenalkan pada putri bungsu keluarga Miller untuk dijodohkan. Dia malah memilih wanita ini."Beatrice mengalihkan pandangannya pada Verena dan melihat wanita itu dari atas sampai bawah, sebelum kemudian melirik Eric ya