ಥ_ಥ Babang Jaydeeeen, tidaaakkk! Beraninya kamu Angela menyakiti babang Jayden kuuu! Jangan lupa vote, komen, dan likenya ya guys. Pas weekend, updatenya 1 hari 1 bab yaa. Mau bersantai, bermeditasi, dan berhalusinasi dulu sama babang jayden ehe
Tamparan yang diterima Jayden membuat Valency meringis. Dia merasa hatinya sakit.“Jayden, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan panik bercampur khawatir.Tangan Valency bergetar seiring dirinya dengan hati-hati menyentuh wajah Jayden yang memerah. Ekspresinya tampak terluka, merasa tidak terima pria itu yang berujung menerima tamparan.Valency langsung menoleh kepada Angela. “Nona Muda Spencer, tindakanmu sudah keterlaluan!” Dia menambahkan, “Demi membela orang luar yang bahkan tidak kamu ketahui jelas kebenarannya, kamu lebih memilih untuk melukai saudaramu sendiri!?” Gadis itu tampak marah.Berani menyentuh suaminya, apa mereka kira Valency tidak bisa melawan!?Di sisi lain, kemarahan Valency membuat Felix terkejut. Dia tidak pernah melihat Valency menunjukkan ekspresi semacam itu sebelumnya.Di dalam hati, ada kecemburuan di hati Felix. ‘Apa … apa hubungan Ayah dan Valency sebenarnya!?’Walau tidak pernah mencintai gadis itu, tapi bagaimanapun Valency pernah menjadi kekasihnya!Ti
“Apa kamu sudah gila?!” Rosa menatap tak percaya pada Jayden, berharap anaknya akan berkata bahwa semua yang dia katakan barusan adalah sebuah bualan semata. “Apa maksudmu bahwa gadis itu istrimu?! Jangan bercanda, Jay!” “Bercanda?” Jayden menatap ibunya serius. “Aku tidak pernah bercanda mengenai pernikahan.” Rosa tertegun. Dia tidak mampu berkata-kata. Ada kesungguhan yang dia lihat dari pancaran mata putranya. Pandangan Rosa beralih menatap Valency sedikit sinis, matanya memindai penampilan wanita yang diakui sang putra sebagai istri itu dari bawah hingga atas. Cantik, patut Rosa akui. Akan tetapi, tidak ada darah biru yang mengalir di nadinya, begitu pula tidak ada latar belakang kuat untuk menopangnya. Atas dasar apa wanita seperti ini bisa masuk ke dalam Keluarga Spencer?! Sebelum Rosa mengatakan apa pun, seorang lain terdengar memberi reaksi besar. “Istri?!” pekik Felix terkejut, lebih tepatnya tak terima. “Apa Ayah sedang bercanda?! Bagaimana bisa Ayah menikahi wa
“Dia bukan putraku,” ucap Jayden. “Putraku tidak mungkin seorang pecundang.”“Aku bukan pecundang!” ucap Felix membela diri. “Menipu dan memperalat seorang wanita untuk mencapai keberhasilan, apa itu namanya kalau bukan seorang pecundang?” Felix tertegun. Sang ayah … ternyata mengetahui semuanya. “Aku–” Felix tidak bisa berkata-kata.“Bukan berarti kamu bisa memukulnya!” sergah Rosa.Mata Jayden memicing, lalu dia berkata, “Kalau aku tidak memukulnya, bagaimana aku bisa menyadarkannya dari kesalahan?” Dia menambahkan, “Dimanja seperti tuan putri, dia tumbuh menjadi seorang pria tanpa kemampuan. Menyedihkan.”“Jayden Spencer, setelah sekian lama menelantarkan Felix, inikah caramu memperlakukan putra kandungmu?!” ulang Rosa lagi. “Memanggilnya sebagai seorang pecundang, ayah mana yang malah menyudutkan putranya seperti ini?!” Melihat bagaimana ibunya sangat membela Felix membuat Jayden Jayden mendengus.“Suatu saat, Ibu akan menyesal begitu melindunginya,” ucap Jayden ambigu, membua
Melihat kepergian Jayden yang tangannya melingkari pinggang Valency dengan mesra, Felix mengepalkan tangan dengan kuat. Seharusnya, pria yang bisa memperlakukan Valency seperti itu hanya dirinya! Gadis itu adalah kekasihnya! Kenapa malah jadi ayahnya yang melakukan itu!? Menjijikan! Felix merasa sangat jijik! Apa di mata Valency, dia tidak lebih baik dari pada sang ayah!? Andai Valency dari dulu berdandan seperti itu, begitu cantik dan menawan, apa Felix masih hanya akan memperalatnya saja!? ‘Valency! Valency! Bisa-bisanya kamu melakukan ini padaku!?’ Di sebelah Felix, Cecilia mengerutkan kening saat menatap pandangan pria itu kepada kepergian Valency dan Jayden. ‘Dia sedang marah karena ayahnya berpihak dengan Valency atau malah cemburu, sih!? Kok menatap Valency sampai seperti itu!?’ Cecilia mengerucutkan bibir. “Felix …,” panggilnya. Tidak ada balasan. “Felix!” “Berisik!” Cecilia kaget. Dia dibentak? “Kok kamu malah bentak aku, sih!?” desis Cecilia dengan suara rendah,
Peringatan: di bawah ini adalah
Terbangun dari tidurnya, Valency membuka mata dan mendapati dirinya berada dalam pelukan hangat seseorang. Tangan kekar yang menyelimutinya membuat Valency sadar bahwa dirinya ada dalam pelukan Jayden. “Sudah bangun?” Pertanyaan Jayden membuat Valency mengangkat kepala cepat, lalu kembali menunduk karena malu. Dia baru teringat telah melakukannya dengan pria tersebut dan sepertinya tertidur tepat setelah selesai. Entah kenapa Valency merasa tindakan itu agak tidak sopan kepada Jayden! “M-maaf, aku tertidur …,” ucap Valency dengan suara kecil. Jayden menjepit dagu Valency dan menyetarakan pandangan dengan gadis tersebut sebelum kemudian menciumnya lembut. “Istriku harus belajar untuk berhenti meminta maaf ketika tidak melakukan kesalahan.” Ciuman singkat itu membuat wajah Valency merona. “M-maaf– mmh!” Jayden kembali menciumnya. “Setiap kata maaf yang tidak perlu, aku akan menciummu,” goda pria itu lagi, sontak membuat Valency serba salah dan berakhir terdiam. Saat Valency
Mata Valency membulat, memastikan telinganya tak salah mendengar. “Kamu bilang apa?” Valency kembali memastikan. “Felix, dia bukan putra kandungku,” ulang Jayden membuat Valency terhenyak dan langsung menoleh ke belakang, menatap pria yang tampak memasang wajah serius itu. "Bagaimana mungkin?" Jelas-jelas di pesta tadi semua orang mengatakan Felix adalah putra Jayden, pria itu bahkan memanggil Jayden dengan panggilan ayah tanpa keraguan. Rosa saja menegur Jayden sembari mengingatkan caranya bersikap bukanlah cara seorang ayah berperilaku pada putra kandungnya. Lalu, sekarang Jayden bilang Felix bukan putranya? Apa maksudnya ini!? Jayden terdiam, lalu berkata pada Valency dengan mata menatap lurus manik gadis itu, “Selain dirimu, hanya kakek dan ayahku yang tahu kenyataan ini.” Valency membeku. Selain Alex dan Albert … hanya dirinya yang tahu? Bukankah itu berarti … ini adalah rahasia yang sangat penting?! Namun, Valency agak bingung. Setelah dikejutkan dengan status Jayden
Disembur teriakan lawan bicaranya, Valency meringis kecil. “Pelankan suaramu, Jen. Aku tidak tuli …,” tegur gadis itu sembari memijat pelipisnya. Jen, itu adalah panggilan Jennita, sahabat dekat Valency. Berbeda dari Cecilia yang baru dekat dengan Valency sejak masuk kuliah, Jennita adalah teman Valency sejak SMA. Dibandingkan dengan Cecilia, Jennita dan Valency juga sebenarnya jauh lebih dekat, tapi karena berbeda jurusan, keduanya jadi jarang bertemu. “Kalau tidak tuli, kenapa baru meneleponku sekarang, hah!? Apa kamu tahu berapa banyak pesan yang kukirimkan? Berapa kali aku berusaha meneleponmu!?” gerutu Jennita. “Aku khawatir dengan keadaanmu, Bodoh!” Valency menghela napas sembari tersenyum tidak berdaya, sudah lama dia tak mendengar suara dan omelan Jennita. Karena Valency tidak membalas, Jennita langsung menurunkan titah, “Kamu ke kampus. Sekarang! Aku tunggu!” Dia menambahkan, “Jelaskan semua kepadaku sebelum aku sendiri yang membuat perhitungan denganmu!” Valency pun
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg