"Makan! Maunya apa sih nih anak?" bentak Risya pada Fariska yang sejak tadi terus membungkam mulutnya dengan tangan sambil menggelengkan kepalanya. "Mama sibuk ini!" "Mau kak Adam!" Fariska berteriak keras memanggil nama Adam. Risya mendelikkan matanya lalu menarik tangan Fariska yang menutup mulutnya dengan paksa. Gadis kecil itu menangis kencang berteriak memanggil nama Adam. Benar saja, begitu Adam turun dari tangga, Fariska berlari menghampirinya. Hampir saja gadis kecil itu terjatuh, beruntung Adam dengan sigap menggendongnya. "Fariska kenapa nangis?" Adam mengusap air mata adik tirinya itu dengan tangan. Fariska menggeleng ketakutan tapi matanya melirik ke arah Risya yang sedang berkacak pinggang. "Kamu memang pengacau ya, di rumah ini! Gara-gara kamu, Fariska jadi enggak nurut lagi sama saya! bentak Risya yang semakin membuat Fariska ketakutan. "Yang pengacau itu tante. Sejak tante masuk rumah ini, tidak ada kedamaian sama sekali," celetuk Adam. "Lepaskan Fariska!" Risya m
Prank!! Suara piring terjatuh berasal dari belakang membuat dua orang yang sedang duduk di ruang tamu terlonjak kaget. Suara itu terdengar jelas seperti ingin menginterupsi perbincangan hangat antara kedua anak dan ibu itu. "Tuh, dengar. Istrimu sedang mengamuk. Apa pantas, seorang menantu berbuat seperti itu?" Riandari, mertua dari Carla mencibir sang menantu di depan suaminya sendiri. Abi sang suami hanya bisa menjawab dengan senyuman kecut tanda ia bingung harus membela yang mana. Carla sedang tidak enak badan hari ini. Kebetulan, Abi juga sedang mengambil cuti kerja. Di saat Carla sedang ingin bermanja dengan tempat tidurnya tiba-tiba saja sang mertua datang dan memintanya untuk memasakkan makanan kesukaan. Kabar tak beruntungnya, asisten rumah tangga yang biasanya datang kini berhalangan. "Carla lagi sakit, Bu. Mungkin masih—" "Ah, itu hanya alasan dia saja. Menantu kurang ajar ya begitu." Riandari memotong penjelasan anaknya. Abi mendesah pasrah tak berani membantah perkata
Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir. Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, har
Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya. Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "S
"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
"Makan! Maunya apa sih nih anak?" bentak Risya pada Fariska yang sejak tadi terus membungkam mulutnya dengan tangan sambil menggelengkan kepalanya. "Mama sibuk ini!" "Mau kak Adam!" Fariska berteriak keras memanggil nama Adam. Risya mendelikkan matanya lalu menarik tangan Fariska yang menutup mulutnya dengan paksa. Gadis kecil itu menangis kencang berteriak memanggil nama Adam. Benar saja, begitu Adam turun dari tangga, Fariska berlari menghampirinya. Hampir saja gadis kecil itu terjatuh, beruntung Adam dengan sigap menggendongnya. "Fariska kenapa nangis?" Adam mengusap air mata adik tirinya itu dengan tangan. Fariska menggeleng ketakutan tapi matanya melirik ke arah Risya yang sedang berkacak pinggang. "Kamu memang pengacau ya, di rumah ini! Gara-gara kamu, Fariska jadi enggak nurut lagi sama saya! bentak Risya yang semakin membuat Fariska ketakutan. "Yang pengacau itu tante. Sejak tante masuk rumah ini, tidak ada kedamaian sama sekali," celetuk Adam. "Lepaskan Fariska!" Risya m
"Pa, Adam mau bicara." Abi menghentikan pekerjaannya. Ia membuka kacamata yang sejak tadi bertengger di hidungnya. Anak semata wayangnya dengan Winda itu tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. Pasti ada sesuatu hal serius yang ingin dibicarakan olehnya. "Ada apa?" Abi mempersilakan Adam duduk di salah satu sofa. Adam pun duduk berhadapan dengan ayahnya. "Sepertinya ada pembicaraan serius?" "Kenapa papa enggak pernah bilang kalau Fariska punya sedikit kelainan. Ah, bukan kelainan tapi ada keterlambatan tumbuh kembang. Papa sudah bawa dia ke dokter anak?" tanya Adam panjang lebar. Abi melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Pelipisnya berdenyut tiba-tiba mendengar pertanyaan Adam yang selama ini ia sembunyikan. Fariska memang memiliki keterlambatan pertumbuhan sejak kecil. Fisiknya terlalu lemah dan sering sakit-sakitan. Abi bukannya tak pernah membawanya ke dokter, hanya saja dirinya banyak sekali pekerjaan beberapa tahun belakangan. Karirnya sempat h
Sesuai janjinya semalam, Adam menjemput Jihan lebih dulu baru berangkat ke kampus. Dua sahabat itu kembali akrab setelah delapan tahun berpisah. Adam masih seperti dulu, selalu memberi perhatian lebih pada Jihan dan itulah yang membuat hati gadis itu selalu berbunga-bunga bahagia. "Adam, nanti pulangnya bareng apa enggak?" tanya Jihan sebelum turun dari mobil. Adam melirik sekilas lalu mengangguk. Sebuah senyuman manis terbit di bibir Jihan. "Jam tiga kan?" "Iya. Soalnya Rayhan hari ini kuliah siang. Oh ya, kamu jadi ikut kumpulan hari ini?" tanya Jihan lagi. "Sepertinya tidak. Aku tadi membatalkannya sebelum jemput kamu." Jihan mengerutkan dahinya. Biasanya, Adam paling senang ikut perkumpulan mahasiswa yang sering membahas tentang isu sosial. "Kenapa?" Jihan terlihat penasaran. "Aku ingin meluangkan waktu sejenak buat adik tiri aku." Adam mengubah cara duduknya hingga kini berhadapan dengan Jihan. Pria tampan itu menggaruk-garuk dagunya memikirkan sesuatu yang sepertinya sanga
Adam berdiri di depan gudang belakang yang masih penuh dengan tumpukan kardus dan barang-barang besar milik Risya. Diamatinya satu persatu barang itu hingga mulutnya berdecak kesal. Ada pakaian, kosmetik, skin care dan barang keperluan wanita yang tercecer di meja panjang dekat peralatan untuk fotosyut. Dahinya mengernyit heran. Entah pekerjaan apa yang dilakukan oleh ibu tirinya itu hingga membuat aura rumah mewah ini jadi tidak ekslusif lagi. Waktu kecil, bahkan dirinya saja enggan mengubah isi perabotan rumah dengan mainannya karena tak mau rumahnya tercemar. "Memangnya tante Risya itu kerja apa, Pak Us?" tanya Adam pada salah satu penjaga rumah yang dikenalnya sejak dirinya masih kecil. Pak Us masih mengenalnya ternyata walau dirinya sudah lama pergi dari rumah ini. "Oh, beliau itu beauty vlogger. Sering banget syuting di sini. Kalau lagi ada barang baru, bisa sampai satu hari," ujar pak Us yang dibalas anggukan oleh Adam. "Terus, pak Us sering awasi mereka?" "Sering. Pak Abi
"Papa kenapa menyerahkan hampir separuh lebih saham papa sama Adam?" Suasana di dalam mobil menjadi sedikit lebih tegang karena kedua ayah anak itu saling diam setelah pertemuan bersama Al tadi. Adam menampakkan wajah seriusnya yang baru kali ini ditunjukkan di depan ayahnya. Abi melirik anaknya yang masih membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang baru saja ia layangkan kepadanya. "Papa, lebih percaya sama kamu daripada tante Risya. Semenjak kamu pergi meninggalkan papa, segalanya lebih sulit dilalui." Abi pun mulai bercerita tentang kesulitan yang ia jalani semenjak perceraiannya dengan Carla hingga terpuruknya kondisi keuangan rumah tangganya. Risya yang hidup mewah selalu saja minta dibelikan barang-barang di luar kebutuhan. Jika tidak memberikan, Abi diancam oleh paman Risya yang seorang anggota dewan. "Lalu sekarang? Papa sudah mulai berani?" tanya Adam mengerutkan dahinya. "Pamannya sudah meninggal, nenekmu sudah tak b
Abi benar-benar melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang ayah untuk Adam. Ia pergi mengantarnya ke kampus untuk melakukan pendaftaran lalu ke pabrik dan setelahnya pergi ke kantor pusat. Rencananya, Adam ingin bertemu dengan Al. Sudah lama dirinya tak berjumpa dengan om kesayangannya itu. "Selamat siang, om Al." Adam berlari menghampiri Al yang sedang menyantap makan siangnya di meja tengah ruangannya. Ada Kesya dan anaknya juga di sana, melongo kaget melihat Adam yang datang tiba-tiba. "Adam? Astaga, apa kabar kamu? Kenapa baru muncul?" Al menepuk-nepuk punggung Adam yang sudah lama tak dilihatnya sejak delapan tahun lalu ia tinggalkan di Sidney. "Om kangen sama kamu. Katanya kamu ke Jakarta lusa tapi kok tidak ada informasinya. Kamu ke sini sama siapa?" Adam menoleh ke belakang. "Sama papa, om," tunjuk Adam pada ayahnya yang datang sambil menenteng makanan yang tadi ia pesan sebelum datang ke kantor. "Oh sama Ab
"Selamat pagi," sapa Adam dengan senyum cerah di bibirnya. Abi membalas sapaan anaknya dengan senyuman lebar. Belum pernah senyumnya selebar ini sejak delapan tahun lalu. "Sarapan sama papa, yuk. Ini semua makanan kesukaan kamu. Papa yang pesan semuanya sama si mbak." "Pa, nanti aku mau daftar kuliah ya. Sama Jihan dan Rayhan," ujar Adam sambil mengunyah makanannya. "Kamu butuh motor enggak? Nanti papa belikan kamu motor atau mungkin mobil buat kuliah nanti," tanya Abi. Adam melirik ke samping kanan ayahnya, ada ibu tirinya tengah memelototinya hingga matanya hampir keluar dari lubangnya. Pemuda tampan itu menyeringai. "Papa punya uang buat beli mobil? Kalau Adam sih, apa saja mau. Yah, walaupun mama Carla sudah kasih semua yang Adam butuhkan." Adam melirik sekali lagi pada wanita yang masih duduk di samping ayahnya. "Papa bisa kok belikan kamu mobil. Nanti papa mampir dealer mobil sepulang kerja. Atau, kamu mau sekalian ikut? Papa jemput kamu di kampus atau—" "Nanti aku ke kan
Setelah berbincang cukup lama, Adam dan Abi naik ke lantai dua. Adam berniat ingin tinggal di rumah ayahnya setelah dibujuk oleh Bimo dan Abi. Kata Bimo, rumah itu adalah rumahnya yang ditinggalkan oleh Carla sebelum bercerai. Adam berhak tinggal di sana, tak boleh ada yang melarang. Abi menunjukkan kamar masa kecil Adam yang masih rapi seperti saat terakhir ia meninggalkannya. Adam meraba bantal dan ranjang yang masih bersih. Meja dan lemari yang berisi pakaian serta mainan masa kecilnya tak satupun berpindah.Adam terdiam sejenak. Memorinya kembali ke masa kecil sebelum ia pindah. Ada bayangan ibu dan ayahnya tengah duduk di tepi ranjang membicarakan rencana mereka yang akan berlibur ke luar kota. Wajah ibunya terlihat jelas menggambarkan rasa bahagianya saat itu. Ayahnya pun sama. Namun semua berganti dengan pertengkaran yang terjadi saat neneknya datang membicarakan pernikahan kedua ayahnya. Adam meremat tangannya lalu berbalik menghadap ayahnya yang masih setia berdiri di bela
"Hari ini kamu mau pergi ke rumah papa kamu, Dam?" tanya Rayya yang kini sibuk menata meja makan. Sahabat Carla itu sangat senang memasak, pagi hari ia sudah siap menyajikan makanan untuk anggota keluarganya yang akan beraktivitas di luar rumah. "Kalau menurut tante sih, besok saja." Adam mengerutkan dahinya. Entah kenapa, larangan Rayya seperti sebuah misteri tersembunyi tentang kehidupan ayahnya. "Memangnya kenapa, tante?" "Papa kamu itu—" "Dia lagi depresi sekarang. Kami takutnya kamu dilabrak habis-habisan sama istrinya," ujar Bimo sedikit frontal. "Depresi kenapa, om? Ada sesuatu yang saya lewatkan selama pergi ke Sidney?" tanya Adam dengan wajah keheranan. Bimo dan Rayya saling berpandangan dan memberi kode satu sama lain. Adam semakin curiga dengan gerak-gerik mereka berdua. "Papa kamu, telah menikah lagi. Kita semua tidak tahu apa alasannya." Bimo menaruh sendok makan lalu mengusap mulutnya menggunakan lap makan. "Dia sekarang sudah tidak berada di kantor mama kamu." "K