Istri hanya Status
Bab 3. Kembali Kehilangan.
Dering ponselku mengusik gendang telinga. Siapa menelpon tengah malam begini. Aku lihat jam yang menempel cantik di atas tembok, telah menujukan pukul dua belas malam.
Mas Andi– Kakak iparku. Ada apa? Ya Allah ini pasti permintaan mbak ku yang belum aku penuhi.
"Assalamualaikum, Mas."
"Innalilahi w* innaillahi rojiun."
Tangisku pecah seketika. Lututku langsung lemas, rasanya aku tidak sanggup menginjak bumi. Ya Allah mengapa Engkau kembali mengambil satu-satunya keluarga yang aku miliki?
Padahal tadi siang masih berbalas pesan denganku. Saat kutanya kabar dia jawab baik-baik saja.
Kini aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Mengapa Engkau menggariskan hidupku seperti ini ya Allah?
"Iya, Mas. Malam ini aku akan segera ke sana. Assalamualaikum."
Penyesalan selalu datang terlambat. Mengapa aku tidak segera memenuhi permintaan mbak Ana? Dan itu penyesalan terbesarku. Mbak ku meningal dalam keadaan punya keinginan yang belum tersampaikan. Itu semua gara-gara aku.
Mas Abian pulang ke rumah sudah sangat malam. Sedangkan aku tidak bisa menghubungi nomornya. Aku berprinsip tidak akan pernah meninggalkan rumah sebelum meminta izin pada suami, meskipun aku — istri yang hanya ada di status KTP-nya saja.
Tangisku semakin tergugu ketika mengingat tentang permintaannya.
Aku harus segera ke rumah orang tua kami.
Tok! Tok! Tok!
Aku berdiri di depan kamar Mas Abian. Aku harus minta izin padanya sebelum meninggalkan rumah ini.
"Apa sih, berisik!" Suaranya terdengar ketus dari dalam kamar.
Aku masih bersabar menunggunya keluar. Namun, tidak ada tanda-tanda akan membukakan pintu.
Tok! Tok! Tok!
Aku semakin keras mengetuk pintunya.
"Kamu gila, ya, jam segini menganggu orang tidur! Jangan bilang kamu kesepian dan minta dikeloni. Jangan mimpi deh!" Mas Abian bersuara masih dari dalam kamarnya.
Sakit rasanya mendengar ucapan pedas dari mulut suami. Namun, aku tak mau menghiraukannya. Saat ini aku hanya butuh izinnya. Syukur-syukur kalau mau nganterin.
"Mas, aku mau ngomong sebentar. Tolong keluar!" pintaku. Suaraku parau.
"Mau apa?" tanyanya setelah membuka pintu.
"Mbak Ana meninggal dunia. Aku mau minta izin untuk pulang." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Rasanya sangat mustahil apabila memintanya untuk ikut pulang.
Aku pun segera pergi dari hadapannya.
"Tunggu. Aku akan ikut, menghantarkan mu pulang."
Aku menghentikan langkah dan mengangguk pelan tanpa menoleh ke arah nya.
"Kamu jangan geer karena aku ikut pulang. Aku lakukan ini karena tidak mau ada yang bertanya tentang keberadaan ku. Ini bagian dari perjanjian kita dari point' tiga," ucap Mas Abian saat kami sudah di dalam mobil.
Aku tidak ingin menanggapi ucapannya. Untung aku duduk di kursi tengah. Sehingga bisa menghindari tatapannya yang tajam.
Aku kembali teringat tentang pesan Mbak Ana yang dikirimkan sore hari kemarin.
Aku merasa sangat menyesal karena belum bisa
Flash back.
[Nduk. Pulanglah. Mbak ingin ditemani kamu hari ini. Bisa kan?]
Aku melipatkan kening. Tumben Mbak Ana meminta aku pulang. Mana permintaannya aneh lagi.
[Aku minta izin suami dulu, ya, Mbak.]
[Ya, Nduk. Kalau sudah dapat izin segera ke sini, ya. Ini permintaan mbak terakhir kalinya. Setelah ini janji deh nggak akan merepotkan lagi.]
Aku mengelengkan kepala sembari tersenyum membaca pesan kakak kedua ku itu.
Mbak Ana setelah hamil memang banyak banget permintaannya padaku. Kadang pengen ini dan itu tetapi harus aku yang mengerjakannya. Tidak mau suaminya. Ah, ibu hamil memang punya kebiasaan masing-masing.
Hanya tinggal Mbak Ana keluarga yang aku miliki. Kami hanya memiliki tiga bersaudara, perempuan semua. Mbak Hesti telah menghadap Illahi dengan menyisakan pilu di hatiku hingga saat ini.
flash on
"Mas, aku izin tinggal di sana sampai empat puluh hari boleh?"
"Mau satu tahun atau bahkan selamanya juga tidak masalah. Toh, kamu hanya istri di status."
Kata-katanya selalu menyakitkan.
"Baik, aku tidak akan pernah kembali lagi ke sana. Tolong segera ceraikan saya. Saya tunggu surat dari pengadilan agama."
Aku menjawab dengan tegas.
Aku merasa sangat terhina dengan ucapannya barusan. Bodo amat dengan hutang dan balas budi.
Ya, aku menikah dengan mas Abian selain untuk membayar hutang juga sebagai bentuk balas budi. Ibunya yang telah membiayai hidupku setelah ditinggal bapak. Bahkan mertuaku itulah yang menguliahkan aku.
"Aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Bagaimana pun aku tidak mau membuat ibu kecewa. Kecuali kamu sendiri yang menggugatnya. Baru aku ladenin," jawabnya datar.
Aku tersenyum mendengarnya. Dipertahankan hanya demi sang ibu, miris.
Lelaki tak punya hati itu setidaknya masih punya bakti pada ibunya.
Memang aku akui, Mas Abian begitu patuh pada ibunya. Selama mengenal mereka aku tidak pernah melihat suamiku membantah ucapan ibunya.
Sikapnya sangat manis pada wanita yang telah melahirkannya itu. Setidaknya dia punya nilai plus di mataku. Selebihnya dia adalah lelaki yang tak punya perasaan padaku.
"Ibu mohon, kamu jangan pernah tinggalkan Abian. Apa pun masalah yang akan kalian hadapi di kemudian hari nanti. Anggap ini caramu untuk balas budi dan melunasi hutang-hutang bapakmu. Hanya kesetiaan mu yang ibu pinta, Silvia."
Permintaan Bu Anis kembali terngiang di telinga. Sangat kejam dan tak tahu dirinya aku apabila mengugat cerai duluan.
Baiklah. Aku akan berjuang memenangkan pertandingan ini.
*****
Aku berhambur memeluk jenazah kakak keduaku. Menciumi keningnya untuk yang terakhir kali. Aku tidak boleh menagis di depannya.
"Maafkan aku, Mbak. Tidak bisa memenuhi permintaan terakhirmu. Sebagai gantinya aku akan menjaga anakmu dengan sepenuh hati." Aku membisikkannya di telinganya.
"Kamu orang baik, Mbak. Insya Allah meningal dalam keadaan baik. Aku akan menceritakan kebaikan-kebaikanmu pada putramu. Kelak dia akan bangga terlahir dari rahim wanita seperti kamu, Mbak."
Ternyata saat berkirim pesan denganku Mbak Ana sedang berada di klinik, tengah berjuang untuk melahirkan anak pertamanya. Itu yang diceritakan Mas Andi padaku.
Mungkin saat itu sedang tidak kontraksi sehinga bisa berbalas pesan.
Setelah berhasil melahirkan anaknya dengan selamat, Mbak Ana mengalami pendarahan hebat. Sehingga harus dirujuk ke rumah sakit. Namun, di dalam perjalanan menuju rumah sakit Mba Ana telah menghembuskan napas terakhirnya.
~~~~
"De, Mas pulang dulu, ya. Kalau kamu masih mau di sini tidak apa-apa. Nanti kalau sudah mau pulang tinggal kirim pesan, ya. Biar mas jemput," ucapnya setelah mengecup keningku.
Aku tersenyum menanggapi ucapan Mas Abian. Miris. Dia melakukan itu semua karena di hadapan keluarga besarku.
Setelah proses pemakaman selesai kami kembali berkumpul di rumah orang tuaku yang ditempati oleh keluarga almarhumah.
"Ya, hati-hati di jalan, Mas." Aku pun mencium punggung tangannya. Mengimbangi sandiwaranya.
Mas Abian ke luar dari rumah ini setelah bersalaman dengan semua orang yang ada di sini. Aku ikut menghantarkan hingga mendekati mobil.
"Mana nomor teleponmu?"
Aku pun segera menyebutkan nomor teleponku. Sudah dua bulan menikah, kami belum menyimpan nomor telepon masing-masing.
Aku ingin membantu menjaga anaknya Mbak Ana, setidaknya hanya beberapa hari kedepannya. Mas Andi pasti kerepotan mengurusnya sendiri. Aku pun tidak akan tinggal di rumah ini dengan kakak ipar.
Aku akan menginap di tempat bibi yang rumahnya terletak di sebelah kanan dari sini.
~~~~~~
"Kamu pulang sendiri. Aku tidak bisa menjemputmu," balas Mas Abian saat aku mengirim pesan minta di jemput.
Aku sudah satu Minggu di sini. Sudah cukup untuk menenangkan diri. Aku kira ditinggal satu pekan, mas Abian mulai merasakan kehilangan dan menjadikannya berubah, nyatanya tidak.
Aku harus menelan pil pahit dan menerima kenyataan bahwa aku adalah istri yang hanya ada di status.
Aku pun terpaksa pulang sendiri dengan naik angkot menuju rumah suami.
Aku mematung beberapa saat di depan pintu rumah besar ini. Ada wanita lain di dalamnya. Sejak kapan ada masuk ke rumah ini?
Istri hanya StatusBab 4. Bulan Madu. Kapan ibu datang? Apa yang harus aku lakukan agar beliau tidak mengetahui kalau kami pisah kamar. Ah, entahlah. Saat ini aku harus menemui ibu dulu. Selama ini ibu tinggal di Lampung Barat. Beliau sendiri yang mengelola rumah makan miliknya di sana. Ting!Tanda ada pesan masuk. [Kamu jadi pulang hari ini kan? Barang-barangmu sudah aku pindahkan ke kamarku. Jangan geer! Ini karena ada ibu di rumah. Aku tidak mau beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingat! Kamu harus bisa menjaga nama baikku di depan beliau. Jangan pernah menceritakan apa pun tentang kita!]Segitu bodohnya kah aku di matanya? Sehingga perkara seperti ini pun harus diajarin? Aku tahu bagaimana cara menyelamatkan muka suamiku. Minta nama baiknya dijaga? Sedangkan dia suka bertindak semaunya sendiri! Manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri! Aku menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Aku harus terlihat bahagia pulang ke rumah suami."Assalamualaikum, Ibu. Kapan
"Ibu." Aku mendekati dan mencium punggung tangannya.Beliau menatapku penuh selidik. Rasa gugup menyelimuti perasaan. "Nanti jelaskan pada ibu!" bisiknya di telingaku. Suaranya penuh penekanan. Aku hanya bisa mengangguk. Selama kajian berlangsung, kami tidak saling berbicara satu sama lain. Orang lain mungkin khusyuk mendengarkan ceramah. Aku? Jangan tanyakan, karena otakku tak mampu menyerap materi kajian. Sibuk menyusun kalimat apa yang tepat untuk menjelaskan semua ini pada ibu. Masalah ini begitu rumit untukku.Tanpa terasa telah berada di ujung acara. Kajian sudah ditutup dengan doa kafaratul majlis. Ibu menarikku ke mobilnya. Kami berbicara di dalam kendaraan roda empat ini. Sopirnya entah ke mana. Mungkin sedang cari makan. Sehingga kami leluasa berbicara.Degup jantungku tak berirama. Rasa takut dan bingung melebur menjadi satu. "Kenapa kamu ada di sini, Silvia? Di mana suamimu?" Suaranya meninggi, sorot Matanya menyimpan amarah. Mungkin dikiranya aku yang membangkang d
"Ibu benar-benar kecewa dengan Abian. Ibu … hiks hiks hiks." Tangis ibu pecah. Sangat terluka.Aku pun ikut menangis melihat ibu begitu tersayat. Aku mengusap air mata yang menetes di pipi mertua. Beliau tidak hanya mertua tapi juga ibu keduaku. Deritanya adalah lukaku. Kami menangis bersama hingga sopir ibu terlihat panik saat mendekati mobil. Dikiranya kami kenapa-kenapa.Ibu pun mengangkat tangannya sebagai isyarat. Sepertinya Pak Paimo paham, sehinga sopir itu pun kembali menjauh dari kami."Sejak kapan kamu mengetahui pernikahan mereka? Kenapa kamu menutup semua ini dari ibu?" tanya ibu setelah berhenti menangis. "Silvia baru tahu pernikahan mereka, ketika dalam perjalanan menuju rumah Anggriani, Bu. Silvia sengaja tidak mau memberitahu, karena takut membuat ibu bersedih seperti ini. Maafkan Silvia, Bu." Cukup lama aku dan ibu terdiam. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Ibu berulang kali mengurut dadanya seraya beristighfar. Mungkin untuk meredakan emosinya. "Selama i
"Ngapain kalian ke sini?" tanya ibu. Sepasang mata paruh baya itu menatap ke arah anaknya. Sorotnya melukiskan kesedihan, kekecewaan, amarah yang melebur menjadi satu.Mas Abian seolah membaca sorot mata itu. lekas, anak tunggal itu mendekat dan berlutut di hadapan ibu. Ibu bergeming bahkan membuang muka. "Bu. Maafkan Abian." Pria itu mengambil tangan ibu. "Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Bukankah aku ini bukan siapa-siapa kamu?" tanya ibu, pelan tapi cukup menikam bagiku. "Kok, Ibu ngomong seperti itu? Sampai kapan pun Abian adalah anak, Ibu.""Ibu yang tidak dihargai! Ibu yang telah melahirkan anak tak tahu diri seperti kamu! Ibu yang tak dianggap! Sehingga tak perlu berpamitan padaku ketika menikahi perempuan itu!" Ibu meninggikan suaranya beberapa oktaf. Wanita peruh baya yang terlihat masih cantik itu benar-benar meluapkan emosinya. Suaranya bergetar hebat. Napas ibu terlihat memburu. Saat ini kedua mata indah itu mulai berkaca-kaca. Ibu terlihat sangat terluka. Merasa
Istri hanya Status Bab 8Silvia Ternodai? Apa tujuan dia ke sini?Dia maju ke arahku. Aku sangat takut. Dari gesturnya dia sedang marah. Aku mencoba menghindari, tapi sudah terlambat. Parahnya lagi pintu kamar ini dikunci. Anak kuncinya tidak menggantung. Artinya Mas Abian telah mengambilnya.Aku tidak bisa maju. Dia berusaha keras menghadangku. Aku ke kiri dia pun mengikuti. Sengaja. Aku semakin ketakutan. Mau apa dia?Mas Abian berhasil membuat aku terdiam di pojokan kamar. Pria itu tersenyum menyeringai.Jarak kami hanya sejengkal. Tangannya menempel pada tembok. Tubuhnya mengunci aku agar tak pergi. "Tolong bujuk ibu untuk memaafkan aku dan menerima Anggraini sebagai menantunya. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan menyentuhmu sekarang juga. Asal lakukan apa yang aku mau. Jangan ragu aku akan memberikan imbalan yang selama ini kamu inginkan." Dia tersenyum sinis. Tangannya mulai kurang ajar. Mengelus pipiku, segera aku tangkis. Namun, tak menghentikan ulahnya. "Jang
Plak! Kini tangan ibu menampar pipi Abian yang sebelah lagi. Setelah satunya aku tampar. "Kamu apakan Silvia, Abian? Aku tidak pernah mendidikmu untuk kasar dengan perempuan. Terlebih ia istrimu. Bapakmu pasti akan merasa sedih kalau melihat anak kebanggaannya tidak bisa menghargai wanita." Abian tertunduk sambil memegangi pipinya yang kenapa tampar ibu. Pasti sangat panas dan sakit. Belum lagi rasa malu karena ibu melakukannya di depanku. Ingin rasanya aku tertawa di atas deritanya. Ibu mendaratkan tangan ke pipi Abian dengan sekuat tenaga. Suaranya terdengar nyaring."Mas, kamu ngga papa?" Tiba-tiba Anggraini sudah muncul di depan kamar. Tangannya mengelus pipi suami sirinya."Ibu kenapa tega menampar anaknya sendiri, demi menantu kampungan seperti dia?" Kini Anggraini menatap ibu dengan nyalang. Dia seberani itu pada mertuanya? Apa dia lupa siapa lawannya? Dasar manusia tak punya akhlak!"Aku tidak akan pernah menyesali perbuatanku karena telah menampar anak yang tidak tahu di
Mungkinkah dia dokter keluarga ibu? Apa aku tidak salah lihat? Ah, benar dia orang yang selama ini aku coba lupakan. Ternyata dunia sesempit ini. Kami dipertemukan lagi dengan kondisi seperti ini. "Assalamualaikum, Silvia." Suaranya memutuskan lamunanku.Astaghfirullah. Mengapa aku tak berkedip saat menatap manusia di depanku."Waalaikummussallam," jawabku gugup. "Kamu benar-benar Silvia, kan?" Pria berseragam putih itu ragu. Aku hanya mengangguk, pelan."Mari, sudah ditunggu ibu di dalam kamarnya," ucapku santun. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Tanpa banyak bicara, orang itu berjalan di depanku. Ini salah satu kebiasaannya sedari dulu. Tidak mau berjalan di belakang perempuan. Salah satu adab di dalam Islam. Sebab, saat laki-laki berjalan dibelakang wanita, maka tidak bisa dipungkiri, ia akan melihat lekuk tubuh wanita, dan akan memperhatikan bagaimana cara jalannya. Jika sudah seperti itu, maka kemungkinan untuk terjadi kemaksiatan selanjutnya. "Bu Anis, Abian ke mana?
Kini kami harus kembali bertemu dengan situasi seperti ini. "Silvia. Dia itu anaknya teman ibu. Orang tuanya sangat baik. Sayangnya, ibu hanya memiliki anak satu, lelaki," ucap ibu, lesu.Aku masih terdiam. Mencerna maksud dari ucapan mertuaku. "Bu. Apa mas Abian perlu diberitahu keadaan ibu yang seperti ini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku pikir anak harus tahu kondisi orang tuanya. "Jangan pernah menghubungi dia. Ibu tidak akan pernah mengemis perhatian dari anak pembangkang macam itu," ungkap ibu, lirih.Tatapan ibu menerawang ke depan. "Bu, maafkan Silvia yang telah lancang." "Kamu tidak salah. Saat ini ibu cukup butuh kamu, Nak." Aku mengulum senyum, mengangguk pelan, saat ibu menggenggam tanganku."Ibu ingin tidur. Tolong jangan pernah tinggalkan ibu, Silvia." Ibu sangat mengiba. Ibu memang berlimpah harta, tetapi saat ini yang beliau butuhkan adalah perhatian anaknya. Sayangnya, pria itu memilih pergi dengan pilihannya. Meninggalkan orang tua dengan segala lukanya.
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka