Dari semua tempat yang pernah kukunjungi, aku sama sekali tidak menyangka, jika akan bertemu dengan Ustaz Rahman di sini. Di kediaman Mual Salma dan Kyai Hasyim.
Medan itu kota yang luas. Tapi kami harus bertemu di Kabanjahe. Apalagi keluarga Nyai Salma adalah termasuk saudara dekat Ustaz Rahman. Aku sama sekali tidak menyangka akan pertemuan ini. Dunia ini sungguh sempit bukan?
Bayangan Ustaz Rahman sedang tersenyum menggoda, bak sebuah kaset yang berputar di kepala. Dia memakai sarung saat mendekat ke arahku. Bahkan jubah yang dipakainya melambai-lambai tertiup angin. Ketika itu Ustaz Rahman baru selesai melaksanakan salat asar.
Peci yang bertengger di kepalanya semakin menambah ketampanan Ustaz Rahman. Membuat para wanita jatuh hati setiap memandangnya. Senyumannya melengkung, memperlihatkan lesung pipi. Aku jatuh cinta dengan pesona pria lajang yang sudah memikat hatiku.
<
Malam merangkak naik, aku merebahkan badan ketika naik di atas ranjang. Pertemuan hari ini dengan Ustaz Rahman membuatku terbayang masa lalu. Tubuh kurusnya, juga tatapan sendu Ustaz Rahman, membuatku hampir saja luluh.Mata ini menatap langit kamar yang bercat putih dengan pikiran melayang entah kemana. Menerawang jauh sampai ke wajah pria yang sudah lama tidak kutemui. Senyumnya masih manis seperti dulu, hanya tubuhnya sedikit kurus. Walau kondisi Ustaz Rahman tidak seperti dulu, tetap tidak mengurangi rasa ketampanannya."Bunda! Boleh saya masuk?"Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Itu panggilan dari Hafiz. Kalau sudah begini, pasti ada yang ingin dia katakan padaku. Hafiz jarang-jarang menemuiku. Kalau pun dia akan be
Hafiz tampak tegar walau wajahnya terlihat sendu. Sejak pulang bertemu dengan Ustaz Rahman, dia terus diam dan membisu. Mungkin Hafiz kecewa setelah pertemuan tadi dengan ayahnya.Aku menghirup udara dengan rakus. Mencoba menepis bayangan pria berwajah oriental itu. Bahkan senyumnya terlihat dipaksakan. Sejenak kupandangi tubuh kurusnya. Ada yang terasa sesak dalam dada ini. Melihat dia termenung, matanya berkaca-kaca seperti ada hujan yang akan turun dengan deras."Nak!" Panggilku lembut.Hafiz menoleh, lalu menyandarkan kepala di pangkuanku. Kubelai rambutnya yang hitam tebal. Gamis ini sudah basah oleh air matanya."Kenapa Ayah tak pernah mencari kita, Bun? Ayah egois!""Tidak, Nak. Ayahmu tidak egois.""Apa dia tidak tahu kita di sini hidup seperti apa. Bunda harus bekerja mencari nafkah dan memenuhi keb
"Bagaimana, Ayi? Kamu setuju, kan dengan perjodohan ini?" Nyai Salma bertanya dengan binar bahagia. Dari matanya bisa kulihat terpancar kebahagian di wajahnya.Wanita berusia empat puluh tahunan ke atas itu, ingin menjodohkanku dengan sang putra semata wayangnya. Yah, aku terkejut mendengar kalimat perjodohan. Mulanya kami hanya membicarakan masalah pondok pesantren, dan juga kehidupan sehari-hari. Namun, aku terkejut ketika mendengar permintaan Nyai Salma yang tiba-tiba. Wanita yang tidak bisa memberikan suamiku keturunan. Sementara Ustaz Faruq dan Ustaz Rahman yang mendengarnya seketika tersedak secara bersamaan.Bagaimana hatiku bisa menerima Ustaz Faruq, di sisi lain masih ada cinta untuk Ustaz Rahman Maulana. Melihatku ingin menikah lagi dengan pria lain pasti hati ayahnya---Hafiz hancur. Mana ada pria di dunia ini yang rela bila kekasih hatinya menikah dengan pria lain."Umi, apa-apaan sih main jodohin segala kayak
"Oma!"Aku menoleh ke belakang seketika. Melihat bocah berusia empat tahun berlari ke mendekati seorang wanita seumuran denganku. Gadis kecil itu memakai kerudung warna pink. Sama seperti Nara waktu kecil dulu."Alina, jangan lari-lari, Nak. Nanti kalau jatuh gimana?""Aina dah tuat, Oma."Wanita itu tersenyum mengecup pipi sang cucu. Bocah itu terlihat manis sekali. Lesung pipinya melengkung di pipi kanannya. Dari caranya tersenyum dan tertawa, aku bisa merasakan ada yang berbeda. Entah mengapa hati seperti ada kekuatan batin dengan balita itu."Sayang, ayo kita temui Abi! Pasti Abi sekarang lagi gelisah nungguin kamu.""Iya, Oma.""Cucunya, Bu?" Tanyaku menatap balita itu."Iya, Bu. Namanya Alina, umurnya empat tahun. Dia cucu pertama saya," jawabnya merapikan hijab balita itu.
"Mauli, kenapa ponselnya tidak diangkat?" Tanyaku gusar.Mauli terdiam. Sudah lebih dari sepuluh kali ponselnya menjerit minta diangkat. Panggilan nama Hasan berkedip-kedip bak lampu diskotik yang menyala dalam keremangan.Wanita muda di depanku tetap diam seribu bahasa sejak kembali dari pusat perbelanjaan. Mungkin hatinya sedang sakit. Ketika bertemu dengan Hasan, suami yang sudah lama menghilang tanpa kabar."Hiks … hiks."Mauli menangis sambil menutup wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangan. Bayi yang berusia beberapa bulan itu pun ikut menangis. Aku bisa merasakan perih dikhianati. Berada di posisinya bukanlah hal yang mudah. Apalagi sudah memiliki anak sebagai pengikat pernikahan."Mauli, jika menangis bisa membuatmu terhibur, maka lakukanlah itu. Aku akan mendengarkan curhatmu. Aku pernah merasakan di posisimu ini."&nbs
Aku terpaku menatap pria yang berdiri di depan mimbar membawakan tausiah. Wajahnya tak banyak berubah, hanya sedikit tirus dan mempunyai jambang.Kata-kata tausiah yang dibawakan menyejukkan jiwa. Aku ibarat tanaman tandus di Padang gersang. Menjadi segar kembali setelah disiram. Sekian lama aku merindukannya, baru kini dipertemukan kembali."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.""Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.""Para hadirin yang dirahmati Allah. Puji syukur kita masih dipertemukan pada bulan suci ramadan kembali. Bulan penuh nikmat dan ampunan, di mana semua dosa-dosa diampuni dan dipermudahkan jalannya. Seperti bayi yang suci baru lahir."Suara khas Habib membawakan tausiah membuatku bangga. Setelah beberapa tahun menghilang, kini kembali dengan membawa kesuksesan.Empat puluh menit berlalu,
"Nara?!""Bunda?!"Langsung saja Nara memelukku, lalu mencium tangan ini dengan takzim. Aku hampir saja tak mengenali wajah putri kecilku, yang kini sudah dewasa. Dia lebih cantik dari yang dulu. Kulitnya putih, hidungnya mancung, serta senyumnya yang manis."Bagaimana kabarmu, Nak?" Tanyaku melonggarkan pelukan."Baik, Bun.""Alhamdulillah, Bunda senang kamu baik-baik saja, Nak.""Iya, Bun. Nara sering ke sini menjenguk Abang Habib dan juga Azura. Rumah Nara gak jauh dari sini jika Bunda ingin mampir.""Bunda pasti mampir nanti.""Duh, yang lagi kangen-kangen sampai lupa untuk duduk," sindir Habib.Rasa bahagia ini yang meluap membuatku lupa kalau ada Habib. Ini sudah tujuh belas tahun berlalu, baru kali ini dipertemukan kembali dengan Nara.
Aku memandang ke arah luar jendela kereta api. Tujuannya menuju ke arah Tebing Tinggi. Kami akan pergi berziarah ke makam Anan. Lelaki yang pernah singgah di hatiku dulu. Pria yang selalu ku rindukan.Tiba-tiba memori ini teringat bak sebuah kaset yang diputar. Bagaimana aku menunggunya dengan setia, tetapi hanya dihadiahi talak ketika pulang dari merantau.Bayangan dua puluh tahunan itu masih melekat di kepala. Sampai kapan pun akan tetap mengisi hari-hariku."Mas Anan!"Saat wajah lelaki yang kurindukan selama lima tahun kini datang menemuiku tepat berdiri di hadapanku. Lelaki yang sangat kurindukan bertahun-tahun merantau kini telah pulang dengan membawa kesuksesan. Ia pulang dengan membawa mobil mewah bermerek dan memakai pakaian rapi. Seperti pekerja kantoran dan di tangan kirinya tersemat jam bermerek berharga mahal. Ia pulang membawakan oleh-oleh untuk kedua anakku."Mas!" pan