"Tidak apa-apa." Hanya itu jawaban Najma."Apa kamu merencanakan sesuatu?" Entah darimana datang kecurigaan ini. Feeling Roger mengatakan seperti itu."Kalau pun aku memiliki rencana, apakah akan mudah untuk terealisasikan? Aku sendirian di dunia ini. Tak ada yang bisa kujadikan tempat bersandar.""Jika rencananya baik, maka akan aku bantu. Tapi jika tidak, ya... kamu tau sendirilah jawabannya." Roger mengecup pundak Najma. "Katakan kepadaku, apa rencananya itu?""Lupakan! Aku mau tidur." Najma memejamkan matanya. Tapi sedikit pun dia tidak mengantuk. Itu sebabnya dia masih mendengar pertanyaan Roger."Jangan saja kamu merencanakan untuk pergi dariku, Naj. Karena itu tidak akan pernah bisa terealisasikan tanpa seizinku."Najma menelan saliva.***Di awal-awal kehamilan, tak sedikit calon ibu merasakan yang namanya 'ngidam'. Begitu pun dengan Najma. Dia merasakan yang namanya mual dan lemas. Meskipun begitu, Najma tidak lantas resign dari pekerjaannya sebagai waitress. Dia tetap berang
Najma masih termenung dengan tatap mengarah pada layar ponsel Ketika dia mendengar ketukan di pintu. Langsung Najma beranjak dari duduknya, memakai hijab, dan lalu menuju pintu untuk membukanya. Matanya langsung melebar begitu melihat siapa yang datang dan tidak disangka-sangka. “Mas Hakim! Kenapa mas bisa ada di sini?” Najma menoleh ke kanan dan kiri. “Ini sudah malam, mas. Apa kata orang kalau melihat kita malam-malam begini_”“Aku datang hanya untuk bertanya, Naj,” sela Hakim. Wajahnya tampak muram. “Aku tidak akan melakukan lebih dari itu.”Najma pun langsung melunak. Dia tidak pernah melihat Hakim dengan wajah muram seperti sekarang ini. Dia mengenal Hakim sebagai sosok yang memiliki wajah senyum. Segala perasaan meskipun itu bukan perasaan baik, tertutupi oleh senyum pria itu. “Bertanya apa? Eh, maaf kita hanya bisa bicara di sini. Aku tidak bisa menyuruh mas masuk.”“Tidak apa-apa. Kalau masuk malah tidak pantas karena aku laki-laki. Orang-orang pasti akan berpikir yang tidak-t
Najma membisu mendengar pertanyaan Imas. Ternyata ketidak tenangan hatinya karena hal ini. Orang-orang panti sudah mengetahui perihal kehamilannya. Heran. Ini yang kini dia rasakan. Dalam waktu sehari berita kehamilannya sudah sampai ke sini. Siapa yang menyampaikannya? Apakah orang restoran? Tega sekali orang itu kepadanya. Menurutnya, jika dia tidak mengetahui kebenarannya, janganlah menyebarkan berita seenaknya.“Tentu kami tidak mempercayai berita ini begitu saja,” lanjut Imas. “Rasanya tidak mungkin kalau kamu yang sholehah ini bisa hamil tanpa suami. Kamu pasti tau kalau berzina itu adalah salah satu dosa besar. Karena itu daripada terus menjadi pikiran, akhirnya kami memutuskan untuk memanggil kamu dan menanyakan kebenaran berita ini langsung kepadamu. Jelaskan pada kami bagaimana berita bohong ini bisa menyebar? Ini sama saja dengan fitnah. Kamu harus meluruskannya sebelum nama baikmu tercoreng.”Najma meremas jemari-jemarinya. Bagaimana dia harus menjelaskan ini kepada dua wa
Suara ketukan di pintu tidak membuatnya mengalihkan pandang dari layar tipisnya ke jalan masuk itu. Roger hanya membalasnya dengan sebuah perintah. "Masuklah!"Maka pintu pun terbuka. Dari baliknya Wilson muncul. Pria yang berprofesi sebagai assisten pribadi itu, langsung ke meja kebesaran seorang presiden direktur yang ada di ruangan itu. "Tuan, barusan Nona Najma mengirim pesan.""Hum. Dia bilang apa?" respon Roger tanpa menoleh pada Wilson. Tetap fokus dengan layar laptopnya."Nona mengatakan bahwa... dia setuju untuk resign dari restoran. Dia juga bersedia untuk menempati rumah yang sudah anda sediakan untuknya."Mendengar itu, Roger langsung mengalihkan pandang dari layar di depannya ke Wilson. "Benarkah dia mengatakan itu?"Wilson mengangguk. "Benar, tuan.""Kalau begitu kamu harus menjemputnya sekarang dan mengantarkannya ke rumah itu.""Nona akan menghubungi saya lagi nanti. Katanya dia mau beres-beres barang-barangnya terlebih dahulu.""Oh, oke. Kalau begitu nanti malam aku a
Sebuah mobil mewah memasuki pekarangan sebuah rumah minimalis bergaya modern. Seorang pria keluar dari dalam mobil itu, berjalan cepat menutup pintu pagar. Baru setelahnya, seorang wanita turut keluar dari mobil tersebut. Sang wanita hendak membuka bagasi mobil ketika pria yang menutup pagar berkata.“Nona, biar saya saja yang mengeluarkan barang belanjaan dari dalam mobil dan membawanya ke dalam rumah.”Najma adalah sang wanita itu, mengangguk. “Baiklah.” Dia lalu melenggang melangkah menuju teras rumah minimalis bergaya modern itu. Tapi hanya sampai di sana saja karena rumah pasti masih terkunci. Dia harus menunggu seseorang pembawa kunci untuk membukanya, yaitu Wilson. Setelah mengambil barang belanjaan dari bagasi mobil, pria itu mendekatinya. Lebih tepatnya mendekati pintu yang ada di sampingnya karena mau membukanya.“Saya akan menyapu rumah begitu selesai menyusun barang belanjaan ke tempatnya,” ucap Roger sembari membukakan pintu rumah untuk Najma dan melihat keadaan teras yan
Najma menoleh setelah mendengar ucapan Roger. "Anda mau tinggal di sini?"Roger mengangguk. "Hum." Lalu dia berdiri dan mendekati Najma. "Boleh kan?"Najma mengangkat wajahnya demi dapat memandang wajah Roger yang lebih tinggi 20 cm darinya. "Kalau anda di sini, bagaimana dengan Nona Agnes?"Roger menatap Najma dengan sorot mata penuh kerinduan. "Tak ada masalah. Dia tidak ada di sini. Dia ada di Perancis.""Maksudnya... dia tidak ikut pulang? Anda meninggalkannya?"Roger mengendikkan bahu. "Ya, begitulah."Najma menurunkan wajahnya kembali. Dia masih tak nyaman menatap wajah Roger lama-lama meskipun wajah itu sudah sering menyatu dengan wajahnya. "Kalian kan pengantin baru. Bagaimana bisa langsung berpisah negara?""Kerjaan dia kan memang di sana. Rumah dia juga di sana. Jadi kalau dia tetap di sana, bukanlah hal yang aneh. Berbeda denganku yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini."Najma melirik Roger sekilas. "O begitu." Najma tak mau komentar lebih. "Aku... taruh barang-barang in
"Apa maksud dari ucapanmu tadi, Naj?" tanya Roger ketika Najma baru saja selesai sholat dan sedang membuka mukenanya. Dia sampai menunggu Najma melakukan kewajibannya sebagai hamba Tuhan demi itu dengan duduk di tepi tempat tidur.Najma menoleh dengan kening yang mengerut. "Maksud anda?""Ucapanmu yang mengatakan bahwa kamu sudah tau jawabannya. Apa maksudnya itu? Jawaban apa yang kamu maksud?"Najma menyimpan mukenanya ke dalam lemari. "Bukan apa-apa." Lalu dia keluar dari dalam kamar dan duduk di sofa. Dia mengambil remote dan menyalakan televisi.Karena Roger belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya, dia pun menghampiri Najma dan duduk di samping istrinya tersebut. Dia tatap Najma lekat-lekat dari samping. "Jangan mempermainkan aku."Jari yang sedang memencet-mencet remote mencari channel yang asyik buat ditonton, berhenti bergerak mendengar ucapan Roger barusan. Perlahan, wajah Najma menoleh pada pria di sampingnya itu. "Hanya karena kalimat itu anda merasa dipermainkan?"Roge
"Apa-apaan ini? Kenapa dia langsung me-non-aktifkan ponselnya? Apa karena dia tidak suka dengan pertanyaan-pertanyaanku tadi?"Agnes menghela nafas kasar. Dia memutar-mutar pipih segi empat di tangannya itu. Dia gelisah. Tak mau perasaan ini terus ada, dia pun menelpon seseorang."Halo, nona." Sambutan orang yang dia telpon."Kamu di mana?" tanya Agnes langsung."Sedang di luar, nona.""Bersama Roger?""Tidak.""O. Berarti kamu tidak tau tentang tamu itu?""Tamu? Maksud nona?""Aku tadi menelponnya. Lalu minta beralih ke video call. Tapi dia menolak karena katanya sedang ada tamu.""Ya, mungkin saja, nona."Agnes menipiskan bibir. "Aku bingung. Kamu assisten pribadinya tapi sering tidak tau yang berhubungan dengannya. Termasuk tentang tamu ini. Dia sampai me-non-aktifkan ponselnya hanya gara-gara tidak tau memberi foto tamu itu.""Ya wajar saja sih tuan melakukan itu. Mengambil foto tanpa izin itu namanya tidak sopan. Tuan Roger pasti marah sekarang ni.""Aku ini istrinya. Bukan orang
Malam itu, Najma dan Roger kembali melakukan aktivitas suami istri yang sempat tertunda selama lima tahun. Di bawah lampu kamar yang remang-remang dengan suasana malam yang sejuk, keduanya menyatukan diri. Berbeda dengan dulu yang hantui rasa bersalah, kali ini mereka melakukannya dengan perasaan bebas, sehingga bisa lebih menikmati setiap sentuhan demi sentuhan. Roger begitu bersemangat. Dia menyalurkan semuanya dari mulai hasratnya sebagai laki-laki yang sempat mati, rasa cinta yang begitu besar pada Najma, dan rindu yang menggebu-gebu. Dalam sekejap, kamar yang rapi itu berubah jadi berantakan. Seprei yang terlepas dari kasurnya, bantal yang sudah tidak berada di atas tempat tidur, dan pakaian yang berhamburan di lantai. Pasangan pengantin itu baru merasa capek setelah waktu melewati tengah malam menuju dini hari. Mereka pun merebahkan tubuhnya dengan tenang dan hati yang nyaman. Lalu tertidur dalam pelukan malam. Pukul 4 pagi, Najma terbangun dari tidurnya. Dia terkejut saat m
Wilson terhenyak mendapati ekspresi Roger barusan. Seakan calon istrinya hilang diculik orang. Padahal dia yakin Najma baik-baik saja. "Tuan tolong santai jangan sepanik itu.""Aku akan berhenti panik kalau Najma sudah ada di sini. Paham!" Roger membentak. Membuat Wilson berjengkit kaget. "Apa harus menunggu Najma benar-benar hilang baru kamu mengerti tentang kepanikanku?""Ya oke. Aku akan pergi menjemputnya sekarang."Wilson melangkah meninggalkan ruangan itu dengan terburu. Langkahnya tiba-tiba berhenti begitu melihat Najma yang mengenakan kebaya pengantin tengah melangkah ke arahnya. Di sebelah kanan kiri Najma adalah Aliyah dan Imas. Tentu saja itu membuat Wilson langsung menghela nafas lega."Ya ampun aja, Naj. Kamu membuat Tuan Roger panik. Aku telepon kamu berkali-kali tapi tidak diangkat. Aku sampai disuruh nyusul kamu.""Oh, maaf. Ponselku di dalam tas yang dibawa ibu Imas. Tapi memang aku silent. Makanya Ibu Imas tidak tahu kalau ada yang menelpon. Aku pikir pernikahan ini
Hasil diskusi di sepakati kalau pesta pernikahan akan dilaksanakan di Jakarta. Bukan tanpa sebab, Najma ingin dihadiri oleh seluruh penghuni panti. Dia ingin di hari bahagianya, semua penghuni panti juga berbahagia. Jadi, di hari pernikahannya itu anak-anak bisa makan makanan sepuasnya. Najma meminta Roger memesan makanan yang enak-enak yang belum pernah dimakan oleh penghuni panti.Ini baru rencana Najma. Tapi Roger sudah mengiyakan dengan antusias. Dia serahkan urusan pernikahan pada Najma. Dia biarkan calon istrinya itu membuat pesta seperti khayalannya sendiri. Yang penting bagi Roger Najma menjadi miliknya kembali.Yang berat adalah tugas Wilson yang harus berhasil mencari Wedding Organizer yang sanggup mempersiapkan acara pernikahan yang diadakan hanya dalam satu minggu.Dimana coba Wilson harus mencari Wedding Organizer yang sehebat itu?"Calon pasangan pengantin ini memang aneh. Inginnya cepat-cepat. Untung aku tidak menyanggupi permintaan tuan untuk mencari Wedding Organizer
Suara bel membuat Najma yang baru selesai masak, menoleh ke arah pintu. "Tidak mungkin mereka kan? Cepat sekali." Mini kitchen, Najma tinggalkan untuk membuka pintu. Matanya melebar begitu melihat dua orang pria di depannya. Ternyata memang 'mereka' yang dimaksud oleh Najma tadi. "Jam segini kalian sudah datang? Aku saja belum makan malam lho. Baru selesai masak." "Kami memang sengaja datang cepat," balas Wilson. "Biar lama, eh, maksudnya biar punya waktu leluasa untuk ngobrolnya. Kalau datang terlalu malam, pasti akan terburu-buru untuk pulang." "Iya juga sih. Tapi kalian pasti juga belum makan malam kan? Aduh, aku hanya masak nasi goreng buat aku saja. Gimana dong?" Wilson mengangkat dua plastik besar yang ditentengnya. "Karena itu kami beli makanan tadi di jalan. Kami memang berencana buat makan malam di sini." Najma nyengir melihat dua plastik besar berlabel restoran terkenal di tangan Wilson. "Oh, ya, niat banget ya?" "Iya, dong. Nggak disuruh masuk nih? Pegal lho berdiri d
"Lho kok sudah pulang?" tanya Wilson begitu Roger masuk ke dalam mobil. "Bukannya kalian berdua mau mengobrol di dalam apartemen Najma?" "Tidak jadi," jawab Roger dengan nada kesal. "Dia mengusirku lantaran kamu sudah tidak ada. Maksudnya dia tidak mau kami hanya berdua saja di dalam sana." "O... begitu." Kening Wilson mengerut. "Bagus dong. Mungkin dia takut kalau berduaan saja anda tidak akan kuat menahan godaan." "Apa kamu pikir imanku selemah itu?" "Waduh, bahasa anda jadi berbeda. Anda sudah bisa berbicara mengenai iman. Mentang-mentang calon istri berhijab." "Aku berjanji akan mengubah diriku menjadi pribadi yang agamis setelah menikah." "Jadi brewok mau dipanjangin nih?" Roger melirik Wilson kesal. "Kenapa kamu malah bawa-bawa brewok sih? Memangnya menjadi agamis wajib brewokan gitu? Sudah sekalian aku jadi ustad saja." "Ya kali aja, tuan." "Sudah, jalan! Omonganmu sudah ngacok!" Wilson tersenyum geli karena Roger tidak bisa diajak bercanda. "Tuan jangan serius terus.
"Tuan, kita tidak akan jadi pulang pagi ini." Roger menoleh pada Wilson dan menatap assistennya pribadinya itu dengan tatapan menyelidik. "Kenapa kita tidak jadi pulang?" Wilson menunjukkan layar ponselnya yang sudah berwarna gelap. "Tadi Najma kirim pesan kepadaku kalau... dia menerima lamaran anda." Bagai tersambar petir Roger mendengar itu. Dia tersentak kaget. "Benarkah?" Wilson mengangguk. "Hum. Jadi apakah kita akan tetap pergi ke Bandara?" "Tentu saja tidak! Bagaimana kau ini?!" hentak Roger. Dia lalu mengarah pandang pada sopir di depan. "Pak, balik arah!" Sementara itu, Najma menatap layar ponselnya dengan tersenyum. Baru saja dia mengambil keputusan besar dalam hidupnya, yaitu kembali merajut pernikahan dengan Roger. Tak mudah mengambil keputusan ini setelah dia mengalami kisah yang tidak baik dengan pria itu. Batinnya mengalami pergulatan. Apalagi dia sudah tahu karakter pria itu. Namun, setelah dipikir-pikir, semakin dia tahu tentang calon suami dengan segala karakt
"Aduh, bagaimana bisa aku bangun kesiangan seperti ini?" Najma memakai riasan wajah dengan gerakan cepat. Tidak peduli lagi apakah ada yang belum sempurna. Pagi ini dia harus berkejaran dengan waktu meskipun kemungkinan besar tetap datang terlambat. Masalah besarnya adalah pagi ini Frans ada rapat dadakan dengan sang presiden direktur yang rencananya akan kembali ke ibukota besok. Baru bangun tidur tadi dia membaca pesan itu. Jam kerja kurang 10 menit lagi tapi Najma baru keluar dari apartemen. Dia berlari menyebrangi pelataran apartemen seperti orang gila. Satpam yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. Untung ada taksi yang kebetulan lewat. Tanpa pikir dua kali dia menggunakan taksi itu menuju perusahaan tempatnya bekerja. "Tumben Mbak Najma telat?!" teriak Sarah dari balik meja resepsionis. Tapi Najma tidak peduli dengan teriakan itu. Dia hanya melambaikan tangan pada Sarah. Langkah Najma telah jauh. Kini dia bergabung dengan orang-orang yang sedang menunggu di depan lift.
Roger mendudukkan pinggulnya di sofa dengan membawa perasaan sedih. Dadanya terasa sesak karena Najma telah menolaknya bahkan sebelum dia mengeluarkan cincin yang telah dia siapkan dengan perasaan penuh cinta.Dunianya terasa sudah berakhir sekarang. Ditolak oleh Najma ternyata lebih sakit dibanding digugat cerai oleh Agnes.Sejak datang Najma di hidupnya, hatinya memang telah berpaling dari Agnes dan bersemayam dalam diri Najma.Tapi dulu dia tidak mau mengakui itu.Namun sekarang dia mengakui bahwa dia cinta mati pada Najma."Kenapa kamu menilaiku seburuk itu, Najma? Kenapa kamu terus membawa Agnes dalam hal ini?" tanya Roger sembari menatap cincin berlian di dalam kotak segiempat di dalam genggaman tangannya. Sebelum ini dia sudah berkhayal melihat cincin berlian ini melingkar cantik di jari manis Najma.Roger menutup kotak cincin itu dengan wajah putus asa. Dia taruh begitu saja benda segi empat itu ke atas meja sebelum akhirnya menyandarkan punggung di sandaran sofa yang empuk. W
Wilson menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Memang bukan apartemen kamu. Ini sebuah restoran.”“Ya terus kenapa kamu membawaku ke sini, sih?!” tanya Najma dengan wajah emosi. “Kamu bukan mau menculikku seperti ucapanmu tadi kan?!”“Bisa dikatakan aku memang… menculik kamu sih jadinya, karena membawamu ke sini tanpa seizinmu.”Najma mendengkus. “Jawab dong kenapa kamu membawa aku ke sini?”“Kita keluar dari mobil dulu. Nanti juga kamu bakalan tau.” Wilson membuka pintu mobil.“Wil….” Najma merengek. Tapi akhirnya dia turun juga karena Wilson sudah berada di luar mobil. “Aku sudah berada di luar mobil, nih. Sekarang katakan alasanmu membawaku ke sini," tagihnya.“Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Sekarang kamu ikut aku dulu.” Wilson melangkah.Najma menghentakkan kaki kanannya, lalu berkata dengan agak kuat. “Wil, kamu ini sedang mempermainkan aku atau bagaimana sih? Bilang kenapa kamu bawa aku ke sini saja susahnya minta ampun!”“Pokoknya, kalau kamu mau tau alasannya, ikut aku,”