Jimmy Anderson, seorang CEO sukses yang dikenal karismatik dan penuh ambisi, tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu mementingkan agama. Ayahnya seorang agnostik, sementara ibunya lebih mengutamakan pendidikan dan kesuksesan duniawi daripada kehidupan spiritual. Namun, di balik kesuksesan karirnya, ada rasa hampa yang tak terjelaskan. Meski hidupnya tampak sempurna—dengan perusahaan besar yang dipimpinnya, rumah mewah, dan kendaraan yang selalu ia inginkan—ia merasakan adanya kekosongan dalam dirinya.Semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Hasan, seorang pengusaha muslim yang ia kenal dalam salah satu pertemuan bisnis. Hasan bukan hanya sukses dalam dunia usaha, tetapi juga terlihat tenang dan penuh kedamaian. Kepribadian Hasan yang hangat dan penuh keyakinan menarik perhatian Jimmy. Mereka sering berbicara tentang berbagai hal, dan Hasan selalu menyelipkan pesan-
"Alhamdulillah, Om udah bener-bener tulus sama aku. Jadi, kita menikah, kan?" Melisa memeluk Jimmy dengan penuh kebahagiaan. Dengan senyum lebar, ia menatap dalam-dalam mata biru Jimmy, merasakan kedamaian yang datang bersama janji itu. Pada akhirnya, semua yang ia harapkan tercapai: mereka berdua, bersama, menuju masa depan yang penuh harapan. Jimmy tersenyum lembut, matanya menyiratkan rasa syukur dan cinta yang mendalam. "Hum, kita akan menikah," jawabnya, suaranya dipenuhi keyakinan. "Dan sesuai janjiku, aku telah merancang semuanya. Kita akan fitting baju, sekaligus foto prewedding. Mau?" Melisa mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri. "Mau! Apa anak kita ikut?" "Tentu," jawab Jimmy dengan tegas. "Andrew sudah menunggu. Go!" Kebahagiaan meluap di hati Jimmy. Sejak ia memutuskan untuk memeluk Islam dan memulai perjalanan spiritual bersama anaknya, Andrew, serta Melisa, hidupnya berubah total. Tidak hanya hatinya yang merasa damai, tetapi juga keluarganya. Kini, setelah semua k
Suasana foto prewedding antara Jimmy dan Melisa berlangsung dengan nuansa yang cukup dramatis, meskipun tak terlepas dari sedikit ketegangan. Jimmy, yang dikenal sebagai sosok pria yang kaku dan tidak terlalu luwes dalam berpose, tampak canggung mengikuti arahan fotografer. Hal ini jelas terlihat ketika sang fotografer meminta Jimmy untuk sedikit bergeser."Ehm, Tuan Anderson. Bisakah Anda sedikit geser ke kanan?" kata sang fotografer dengan suara lembut namun tegas, berusaha menjaga kesan profesionalisme di tengah ketegangan yang mulai terasa.Jimmy yang terkesan bingung dengan permintaan tersebut, segera mengatur langkahnya, namun ekspresinya tetap terlihat tegang. "Begini?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit kebingungan, sambil mengubah posisinya, berusaha mengikuti instruksi yang diberikan.Fotografer itu mengamati sejenak, mencoba menangkap setiap detail dalam frame. "Iya, tapi senyum Anda juga kurang tulus," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh."Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial."Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud."Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai."Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham."Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan.Melisa langsung berlari ke ar
“Ayo buruan cek! Palingan juga negatif lagi! Wanita mandul aja sok pake cek kehamilan segala!” seru Mama Tami mendorong punggung Melisa supaya segera mengecek kehamilan. Melisa menatap sekilas dan membela diri dengan lembut. “Mama jangan suudzon dulu, Ma! Ya siapa tahu kali ini hasilnya positif!” ucapnya. Bukankah ucapan adalah doa? Ia harus mengucap yang baik-baik. “Alah, kalau mandul ya mandul aja! Jangan sok bilang suudzon suudzon. Udah berapa kali kamu beli testpack, tapi nggak guna? Noh lihat, Mel! Ratusan di kardus itu. Berapa duit Rehan yang kamu buang? Berapa? Udah tahu mandul, eh malah bolak balik cek!” Mama Tami membentak Melisa sampai wanita berusia delapan bellas tahun itu berjingkit kaget. “Mana beli yang mahal lagi. Nggak ngotak kamu ya? Harusnya tuh beli yang lima ribuan, jadi nggak kebuang percuma. Buat nyelup air kencing aja gaya pake yang mahal. Orang mandul aja kok sok beli tes kehamilan segala. Nggak malu apa ama Mbak-Mbak apotekernya, beli test pack mulu tapi ng
Melisa tersentak dari lamunannya. Sudah sejak 5 menit lalu, ia menatap getir pada sesosok pasangan muda yang tengah memadu kasih di ruang tamu. Dua manusia itu benar-benar tidak memperdulikan perasaannya sama sekali. Ya, ... Sudah sejak 2 bulan yang lalu, ia dimadu. Sakit dan juga perih. Setiap titik air mata yang menemaninya selama dua bulan belakangan menjadi saksi perjuangannya seorang diri. Istri pertama, namun diperlakukan bagai pembantu. Melisa memilih untuk kembali kedalam kamarnya dan tidak ingin menatap kebersamaan yang selalu membuat hatinya terluka. Rina yang melihatnya lantas kemudian dengan sang suami. "Mas, kita sepertinya harus memanfaatkan Melisa, deh. Kita tidak mungkin lama-lama terus-terusan kekurangan uang seperti ini." "Hum?" "Kamu sih, harus ikut-ikutan judi online segala. Kalau sudah begini, gimana jadinya? Tabungan sudah habis, TV, almari, mobil dan juga beberapa uang tabunganku raib oleh perbuatanmu itu," dengkus Rina. Niat hati ingin hidup berkecukupan, s
Malam mulai merangkak naik. Baik Melisa dan Jimmy saling menatap lekat, mereka duduk di atas ranjang yang sama. Deru jantung mulai memesat, Melisa sangat ketakutan. Jimmy mendekat setelah melepas jasnya dan membuang ke sembarang arah. Tatapannya buas pada Melisa. Seakan ia hendak menerkam gadis manis yang berada di hadapan dan mencabik-cabiknya menggunakan cumbuan panas. “Jangan sakiti aku, Tuan. Kumohon,” kata Melisa mengiba. Ia mendekap guling guna menutupi tubuh bagian depannya yang terekspose di bagian dada. Ia jijik menatap penampilannya sendiri yang bagaikan wanita malam, dengan baju kurang bahan serta dada terbuka. Mengutuk perbuatan sang mantan suami yang terang-terangan menjualnya pada lelaki hidung belang. Melisa takut dinodai pria asing yang sepertinya keturunan bule ini. Jimmy memangkas jarak. Ia menyentuh wajah Melisa yang sudah dibanjiri air mata menggunakan jemari kanannya. Mengusap pelan, namun membuat Melisa merinding bukan main. "Jangaaan," lirih gadis itu ketaku
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh."Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial."Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud."Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai."Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham."Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan.Melisa langsung berlari ke ar
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha
Suasana foto prewedding antara Jimmy dan Melisa berlangsung dengan nuansa yang cukup dramatis, meskipun tak terlepas dari sedikit ketegangan. Jimmy, yang dikenal sebagai sosok pria yang kaku dan tidak terlalu luwes dalam berpose, tampak canggung mengikuti arahan fotografer. Hal ini jelas terlihat ketika sang fotografer meminta Jimmy untuk sedikit bergeser."Ehm, Tuan Anderson. Bisakah Anda sedikit geser ke kanan?" kata sang fotografer dengan suara lembut namun tegas, berusaha menjaga kesan profesionalisme di tengah ketegangan yang mulai terasa.Jimmy yang terkesan bingung dengan permintaan tersebut, segera mengatur langkahnya, namun ekspresinya tetap terlihat tegang. "Begini?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit kebingungan, sambil mengubah posisinya, berusaha mengikuti instruksi yang diberikan.Fotografer itu mengamati sejenak, mencoba menangkap setiap detail dalam frame. "Iya, tapi senyum Anda juga kurang tulus," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh
"Alhamdulillah, Om udah bener-bener tulus sama aku. Jadi, kita menikah, kan?" Melisa memeluk Jimmy dengan penuh kebahagiaan. Dengan senyum lebar, ia menatap dalam-dalam mata biru Jimmy, merasakan kedamaian yang datang bersama janji itu. Pada akhirnya, semua yang ia harapkan tercapai: mereka berdua, bersama, menuju masa depan yang penuh harapan. Jimmy tersenyum lembut, matanya menyiratkan rasa syukur dan cinta yang mendalam. "Hum, kita akan menikah," jawabnya, suaranya dipenuhi keyakinan. "Dan sesuai janjiku, aku telah merancang semuanya. Kita akan fitting baju, sekaligus foto prewedding. Mau?" Melisa mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri. "Mau! Apa anak kita ikut?" "Tentu," jawab Jimmy dengan tegas. "Andrew sudah menunggu. Go!" Kebahagiaan meluap di hati Jimmy. Sejak ia memutuskan untuk memeluk Islam dan memulai perjalanan spiritual bersama anaknya, Andrew, serta Melisa, hidupnya berubah total. Tidak hanya hatinya yang merasa damai, tetapi juga keluarganya. Kini, setelah semua k
Jimmy Anderson, seorang CEO sukses yang dikenal karismatik dan penuh ambisi, tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu mementingkan agama. Ayahnya seorang agnostik, sementara ibunya lebih mengutamakan pendidikan dan kesuksesan duniawi daripada kehidupan spiritual. Namun, di balik kesuksesan karirnya, ada rasa hampa yang tak terjelaskan. Meski hidupnya tampak sempurna—dengan perusahaan besar yang dipimpinnya, rumah mewah, dan kendaraan yang selalu ia inginkan—ia merasakan adanya kekosongan dalam dirinya.Semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Hasan, seorang pengusaha muslim yang ia kenal dalam salah satu pertemuan bisnis. Hasan bukan hanya sukses dalam dunia usaha, tetapi juga terlihat tenang dan penuh kedamaian. Kepribadian Hasan yang hangat dan penuh keyakinan menarik perhatian Jimmy. Mereka sering berbicara tentang berbagai hal, dan Hasan selalu menyelipkan pesan-
"Oooom!" Jeritan Melisa menggema, suara primal yang melepaskan gelombang kenikmatan yang dahsyat. Bukan sekadar desahan, melainkan letusan emosi mentah yang mengguncang seluruh tubuhnya. Ia merasakan semburan hangat yang membanjiri rahimnya, sensasi yang begitu intens hingga membuatnya kehilangan kendali, tubuhnya ambruk lemas, tak berdaya. Jimmy masih menindihnya, berat tubuhnya seakan menjadi simbol dari kekuatan gairah yang baru saja mereka alami bersama. Mereka menyatu, dua tubuh yang terjalin dalam ikatan yang erat, namun juga rapuh."Kamu suka, Baby?" Jimmy membisikkan pertanyaan itu, suaranya berat, bergetar karena sisa sisa gairah yang masih membara. Bukan pertanyaan biasa, melainkan sebuah pernyataan yang ingin dikonfirmasi. Ia ingin memastikan bahwa Melisa merasakan hal yang sama, bahwa mereka telah berbagi sesuatu yang luar biasa dan tak terlupakan."Sakit, Om!" Melisa merintih, suaranya teredam oleh desahan napas yang masih tersengal-sengal. Ras
Gelombang dahsyat menerjang mereka, menghantam benteng pertahanan yang selama ini mereka bangun. Bukan sekadar gairah, melainkan badai emosi yang menggulung segalanya; ketakutan, keraguan, hasrat, dan cinta—semuanya bercampur menjadi satu pusaran dahsyat yang menyeret mereka ke dalam pusaran keinginan yang tak tertahankan.Tubuh-tubuh mereka bergetar, terhempas oleh gelombang yang tak terbendung, seakan dunia di sekitar mereka lenyap, hanya menyisikan mereka berdua dalam pusaran gairah yang menggelora. "Aaaah. Ommm."Dalam dekapan Jimmy yang hangat dan kuat, Melisa melepaskan jeritan yang tertahan, suara penuh gairah dan kepuasan yang melepaskan segala tekanan dan keraguan. Itu bukanlah jeritan kesakitan, melainkan ekspresi dari gelombang emosi yang melanda dirinya; kegembiraan, kepuasan, dan juga sedikit rasa takut yang masih tersisa. Lengannya melilit erat leher Jimmy, jari-jarinya menancap kuat di punggung tegap pria bule itu, menandai kepemilikan, menunjukkan
"Jadi... kita kemarin malam... apa yang sebenarnya terjadi, Om?" Melisa menatap Jimmy dengan ragu, kebingungannya jelas terlihat. Dia merasakan ada sesuatu yang tak beres, tapi tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi."Kemarin malam, kamu mabuk, Melisa," jawab Jimmy, suaranya penuh penyesalan. "Kamu yang meminta untuk keluar bersama, untuk berbicara. Semua itu tidak direncanakan, dan aku merasa kita salah dalam banyak hal.""Om, jangan bercanda! Itu nggak lucu!" Melisa merasa perasaan campur aduk, bingung dan marah. "Apa yang terjadi dengan aku? Kenapa aku tidak ingat?""Aku tahu, kamu bingung dan marah. Itu salah kita berdua, tapi kita perlu menghadapi ini dengan kepala dingin. Coba lihat rekamannya." Jimmy menunjuk ke arah layar CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Aku ... aku harus tahu ini semua." Suara Melisa bergetar, sedikit gemetar karena ketakutan dan kebingungannya yang semakin dalam.Sinar pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi wajah Melisa yang masih dip
Keringat mengucur deras di seluruh tubuh Jimmy, merasakan ketegangan yang menguasai dirinya. Nafasnya terengah-engah, seperti ada beban berat yang terus menekan dadanya. Suasana yang mencekam tadi seolah tidak pernah berhenti membebani pikirannya. "I'm so sorry, Melisa."Setelah keringatnya berkurang, dan dirasa pori pori telah menutup, dia bergegas menuju kamar mandi, mencari sedikit ketenangan, meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar menenangkan perasaannya sekarang.Pintu kamar mandi ditutup dengan tergesa-gesa, dan Jimmy membiarkan air mengalir deras di tubuhnya, mencoba untuk menghilangkan rasa sesak yang terus mengganggu. Suara tetesan air di lantai terasa kontras dengan kekacauan yang masih menggema di dalam dirinya.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya terlarut dalam aliran air. Namun, meski air menyegarkan tubuhnya, pikirannya tak bisa lepas dari situasi yang baru saja terjadi. Semua yang dia saksikan, semua yang dia dengar, terus berputar putar di kep