Rehan dibawa ke rumah sebuah klinik oleh ayah mertuanya. Tetapi sesampainya di sana, pria itu langsung meninggalkan Rehan dan kembali ke rumah."Semua yang ku gunakan untukmemukul Rehan tadi tolong singkirkan. Bapak tidak mau barang-barang tersebut menjadi barang bukti saat aku melukai Rehan," perintah ayahnya Rina.Wanita yang sedang hamil muda tersebut mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun. Sedikit bersalah tetapi sebuah kelegaan juga muncul dalam dadanya. Setidaknya untuk saat ini, masalahnya dengan Rehan telah selesai.Tetapi, ada satu yang mengganjal dalam hatinya. Bagaimana mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa anak yang sedang dikandung oleh nya ini tidak memiliki seorang ayah?Entahlah, Rina tidak ambil pusing untuk sekarang. Yang terpenting, ia harus menjaga ke arah syamil dan menghindari Rehan kembali supaya tidak lagi di celakai oleh pria tersebut.Karena merasa sangat suntuk, Rina memilih untuk berjalan-jalan sebentar. Ia butuh me-refresh pikiran supaya lebih tenan
Sepanjang perjalanan menuju ke mall, bocah kecil berusia empat setengah tahun tersebut tidak henti-hentinya menarik perhatian dari Melisa. Meski terkesan berisik dan banyak omong, tetapi tidak sekali pun Melisa memgeluh. Justru, ia berusaha untuk mencari tahu apa yang disukai oleh Austyn.Mulai dari makanan kesukaan, minuman, dan juga mainan favorite. Seperti halnya saat ini, ia rela mengantri di sebuah kedai es krim yang tengah viral, sebelum masuk ke dalam bangunan mall tersebut. Kedai es krim ini terletak 100 meter dari mall tersebut.Membutuhkan waktu 20 menit lamanya, sampai es krim yang diminta oleh Austyn sampai ke tangan bocah itu. Melisa datang membawa 2 cup es krim. Satu untuknya dan satu untuk calon putra sambungnya."Makasih, Mom." Austyn memberikan senyum terbaiknya. "Mom juga suka es krim?""Suka." Melisa menjawab singkat. Seumur umur, ia baru memakan es krim seperti ini satu kali. Karena keterbatasan uang yang dimiliki, selama lebih dari 20 tahun dia hanya mencicip es
Melisa membeli banyak barang di Mall tersebut. Ia juga menikmati beberapa makanan yang berada di sebuah food court. Pun masih harus menuruti kemauan Austyn yang ingin bermain di sebuah wahana mandi bola."Mommy, ayo ikut aku ke sana!" Austyn mengajak dirinya untuk masuk ke dalam wahana mandi bola.Melisa melirik sekilas ke arah asisten pribadi Jimmy. Pria itu malah menertawakan dirinya."Kamu sedang mengejekku?" tukasnya pada Kenan dengan tatapan yang sengit.Kenan mengulum bibir. "Mana mungkin saya berani mengejek Anda, Nona Melisa."Berani dia mengejek game membuat wanita bosnya itu murka, maka Kenan agen dihabisi oleh pria tersebut. Ia tidak mau mengambil resiko. Tetapi saat melihat pemandangan indah yang tersaji di hadapannya, hatinya merasa tergelitik."Tapi kau sedang menertawakan ku," ujar Melisa memberengutkan bibir."Tidak. Saya hanya tersenyum saja. Sepertinya anda masih cocok untuk bermain di wahana sana," jelasnya. Ia lantas beralih memperhatikan mereka dari kejauhan."Ya s
Malam itu pula, keduanya meninggalkan Jimmy di rumah bersama sang pengasuh. Masuk ke dalam sebuah klub malam, Jimmy menjadi pusat perhatian dari beberapa pengunjung.Pasalnya, paras rupawan yang kebule-bule an ini menjadi magnet tersendiri bagi kaum wanita yang melihat mereka."Cantik!""Tampan!"Banyak juga yang menggoda dengan manja. Menawarkan diri untuk dinikmati oleh Jimmy. Membelai jambang tipis yang menghiasi rahang kokoh. Meski tidak diberikan uang sepeserpun, mereka rela naik ke atas ranjang Tuannya dan pasrah jika harus diperlakukan apa pun."Lihatlah, kau membuat mereka semua patah hati!" bisik Jimmy. Namun, sepertinya sang gadis masih ngelag."Apa maksudmu, Om?" Pandangan gadis itu bertemu dengan sang pemuda. Ia tidak paham makna makna seperti itu. Melissa memilih untuk mengerutkan kening sesaat."Maksudnya, kau membuat mereka iri. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan ku," jelas Jimmy sedikit membuat suasana semakin panas. Ia sengaja mengatakan seperti itu supaya Melis
Kembali dari toilet, Jimmy melangkah menuju sofa yang diduduki oleh Melisa tadi. Suara dentuman musik bertalu-talu di dalam kepala miliknya. Udara dipenuhi dengan keseruan muda-mudi yang merayakan pesta ulang tahun sang sahabat.Ada yang berpasangan, ada pula yang datang sendirian sambil mencari pasangan di sini. Hal itu sudah lumrah terjadi. Sama seperti dirinya yang hari ini hanya datang berdua bersama Melisa. Tanpa tahu sama sekali, ada bahaya yang mengintai yang ada di sekitar sini.Kala matanya menangkap potret Melisa di sana, Jimmy mengernyit. "Kenapa wanita itu membuka jaket di sini?" gumamnya.Jimmy tidak rela jika kulit mulus Melisa yang selalu melakukan perawatan mahal itu dilihat pria hidung belang. Hanya dirinya yang boleh menikmati keindahan itu, nanti ... Ya, nanti saja saat waktunya sudah tiba."Melisa, apa yang kamu lakukan? Bukankah sudah peringatkan jika —""Om, ini gerah!" Melisa merengek melihat Jimmy yang datang dengan tangan kosong. Libidonya seakan meningkat pes
Keringat mengucur deras di seluruh tubuh Jimmy, merasakan ketegangan yang menguasai dirinya. Nafasnya terengah-engah, seperti ada beban berat yang terus menekan dadanya. Suasana yang mencekam tadi seolah tidak pernah berhenti membebani pikirannya. "I'm so sorry, Melisa."Setelah keringatnya berkurang, dan dirasa pori pori telah menutup, dia bergegas menuju kamar mandi, mencari sedikit ketenangan, meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar menenangkan perasaannya sekarang.Pintu kamar mandi ditutup dengan tergesa-gesa, dan Jimmy membiarkan air mengalir deras di tubuhnya, mencoba untuk menghilangkan rasa sesak yang terus mengganggu. Suara tetesan air di lantai terasa kontras dengan kekacauan yang masih menggema di dalam dirinya.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya terlarut dalam aliran air. Namun, meski air menyegarkan tubuhnya, pikirannya tak bisa lepas dari situasi yang baru saja terjadi. Semua yang dia saksikan, semua yang dia dengar, terus berputar putar di kep
"Jadi... kita kemarin malam... apa yang sebenarnya terjadi, Om?" Melisa menatap Jimmy dengan ragu, kebingungannya jelas terlihat. Dia merasakan ada sesuatu yang tak beres, tapi tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi."Kemarin malam, kamu mabuk, Melisa," jawab Jimmy, suaranya penuh penyesalan. "Kamu yang meminta untuk keluar bersama, untuk berbicara. Semua itu tidak direncanakan, dan aku merasa kita salah dalam banyak hal.""Om, jangan bercanda! Itu nggak lucu!" Melisa merasa perasaan campur aduk, bingung dan marah. "Apa yang terjadi dengan aku? Kenapa aku tidak ingat?""Aku tahu, kamu bingung dan marah. Itu salah kita berdua, tapi kita perlu menghadapi ini dengan kepala dingin. Coba lihat rekamannya." Jimmy menunjuk ke arah layar CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Aku ... aku harus tahu ini semua." Suara Melisa bergetar, sedikit gemetar karena ketakutan dan kebingungannya yang semakin dalam.Sinar pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi wajah Melisa yang masih dip
Gelombang dahsyat menerjang mereka, menghantam benteng pertahanan yang selama ini mereka bangun. Bukan sekadar gairah, melainkan badai emosi yang menggulung segalanya; ketakutan, keraguan, hasrat, dan cinta—semuanya bercampur menjadi satu pusaran dahsyat yang menyeret mereka ke dalam pusaran keinginan yang tak tertahankan.Tubuh-tubuh mereka bergetar, terhempas oleh gelombang yang tak terbendung, seakan dunia di sekitar mereka lenyap, hanya menyisikan mereka berdua dalam pusaran gairah yang menggelora. "Aaaah. Ommm."Dalam dekapan Jimmy yang hangat dan kuat, Melisa melepaskan jeritan yang tertahan, suara penuh gairah dan kepuasan yang melepaskan segala tekanan dan keraguan. Itu bukanlah jeritan kesakitan, melainkan ekspresi dari gelombang emosi yang melanda dirinya; kegembiraan, kepuasan, dan juga sedikit rasa takut yang masih tersisa. Lengannya melilit erat leher Jimmy, jari-jarinya menancap kuat di punggung tegap pria bule itu, menandai kepemilikan, menunjukkan
Bunyi klik pintu kamar hotel bergema di ruangan luas yang remang-remang diterangi lampu tidur. Melisa masih berdiri di dekat pintu, tas tangannya digenggam erat. Ia menatap punggung Jimmy yang sedang memeriksa kamar. Presiden Suite Room, sungguh megah. Kamar yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan, dengan pemandangan kota malam yang mempesona dari jendela besar di ujung ruangan. Tapi kemegahan itu tak mampu menghilangkan rasa canggung yang menyelimuti hatinya.Baru beberapa jam yang lalu, ia dan Jimmy masih berdiri di pelaminan, diiringi tepuk tangan dan ucapan selamat dari para tamu undangan. Pernikahan mereka di ballroom hotel yang sama, meriah dan penuh suk acita. Namun, kini, di ruangan pribadi ini, hanya ada mereka berdua, dikelilingi keheningan yang terasa berat.Melisa melangkah perlahan ke arah ranjang besar yang empuk, berhenti di ujungnya. Ia duduk di tepi, menatap Jimmy yang masih sibuk memeriksa fasilitas kamar. Kemewahan kamar presiden s
Lampu-lampu dansa berputar-putar, menciptakan efek cahaya yang magis di lantai dansa. Melisa dan Jimmy berdansa dengan anggun, irama musik mengalun lembut di antara mereka. Gaun biru muda elegan yang dikenakan Melisa membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan kecantikan dan keanggunannya. Jimmy, dengan jasnya yang rapi, memeluk Melisa dengan erat, menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Di tengah alunan musik yang syahdu, Jimmy mendekatkan wajahnya ke telinga Melisa, berbisik lembut, "Kau suka?" Melisa tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia bersandar pada dada Jimmy, merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Suka," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Ini adalah pernikahan impianku. Sangat, sangat bagus. Kau… kau membuatku terharu." Jimmy tersenyum, mengusap lembut pipi Melisa. Ia melihat jejak air mata yang mulai membasahi pipinya. "Hei, jangan menangis," ucap Jimmy, suaranya penuh kelembutan. Ia mendekatkan Melisa lebih erat ke dadanya, mencoba menenan
Lampu-lampu kristal berkilauan, menerangi aula pernikahan yang megah. Suasana syahdu dan khidmat menyelimuti setiap sudut ruangan. Di pelaminan, berdirilah pasangan pengantin yang serasi: Melisa, dengan gaun pengantin putih yang elegan, dan Jimmy, bule bermata biru yang kini telah menjadi seorang mualaf. Senyum bahagia terpancar dari wajah mereka, mencerminkan kebahagiaan yang tengah mereka rasakan.Para tamu undangan memenuhi ruangan, semuanya tampak terpukau oleh keindahan dekorasi dan keanggunan pasangan pengantin. Jimmy, duda satu anak, tampak gagah dalam balutan jas berwarna gelap. Perubahannya begitu signifikan. Mata birunya yang khas kini berbinar dengan cahaya iman yang baru. Ia bukan sekadar mengikuti Melisa, tapi hijrahnya ke agama Islam adalah sebuah proses panjang yang dilalui dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Selama empat bulan, ia tekun mempelajari ajaran Islam, hingga akhirnya mantap untuk memeluk agama tersebut.Prosesi akad nikah berjalan denga
Dengan wajah tanpa ekspresi, Jimmy memberikan perintah singkat, suaranya dingin dan tanpa emosi, "Bersihkan ini. Bawa dia pergi, jauh dari sini. Kubur dia." Anak buahnya, yang telah terbiasa dengan perintah-perintah kejam majikan mereka, mengerjakan tugas tanpa ragu. Mereka mendekati tubuh Rina yang tergeletak tak berdaya, mengangkatnya dengan kasar, seperti mengangkat karung berisi sampah. Tidak ada belas kasihan, tidak ada sedikitpun rasa simpati di wajah mereka. Hanya ada kepatuhan dan ketaatan buta.Mereka membawa tubuh Rina, menuju tempat yang jauh dan terpencil, tempat di mana rahasia gelap dapat terkubur dalam-dalam. Tanpa upacara, tanpa doa, mereka menggali lubang, lalu melemparkan tubuh Rina ke dalamnya. Tanah menutupi tubuhnya, menghilangkan jejak keberadaan Rina dari dunia ini. Hanya kesunyian dan tanah yang menjadi saksi bisu atas penguburan rahasia ini. Sebuah akhir yang sunyi dan tanpa ampun, menandai berakhirnya hidup seorang wanita muda ya
Rina menatap Jimmy dengan pandangan penuh amarah dan keputusasaan. Kecamuk yang luar biasa memenuhi hatinya. Ia melirik ke bawah, memandang jurang yang menganga di bawah kakinya. Tinggi gedung itu membuatnya menyadari betapa rapuhnya nyawanya."Jika aku mati," gumamnya dalam hati, suaranya hampir tak terdengar, "maka mereka akan berbahagia. Sialan!" Rasa takut yang luar biasa menguasainya. Ia menyadari betapa bodohnya ancamannya tadi. Ia tidak ingin mati, tapi ia juga merasa tidak punya tempat lagi di dunia ini.Dengan hati-hati, ia mencoba menjaga keseimbangannya. Tangannya gemetar, kaki-kaki kecilnya terasa lemah. Ia berusaha keras agar tidak jatuh, agar tidak mengakhiri hidupnya di tempat itu. Ketakutan yang luar biasa menguasainya.Jimmy, yang berdiri hanya dua meter darinya, semakin memperkeruh suasana. "Ayo terjun! Buktikan ucapanmu tadi! Kau merasa dirimu tak berguna karena tertular HIV, kan? Maka kenapa kau tunda? Silakan pergi! Jangan ditunda! Atau, ma
Mata Melisa menyipit, tajam seperti pisau. Udara di antara mereka berdua menegang, beratnya terasa mencekik. Rina, yang selama ini hanya berbisik-bisik provokatif, terdiam. Bibirnya masih bergerak-gerak, seakan-akan masih ingin melontarkan kata-kata beracun, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Kini, Melisa tak bodoh lagi. Dia bisa melihatnya, niat jahat yang terpancar dari sorot mata Rina yang penuh dendam.Jari telunjuk Melisa menusuk dada Rina, gerakannya tegas dan penuh amarah yang terpendam. Bukan amarah yang meledak-ledak, melainkan amarah yang terkontrol, dingin dan mematikan. "Dulu," suara Melisa terdengar pelan, tapi setiap kata menusuk hati, "sudah kubiarkan kau mendekati suamiku. Kubiarkan kau bermanis-manis dengan Jimmy. Setelah aku bahagia, setelah aku dan Jimmy membangun kehidupan kami, kau berani mengusiknya lagi?"Saat Rina terdiam dengan ketakutannya, Melisa menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak emosi yang hampir meluap. Ia menatap Rina dengan pand
Detik-detik menuju hari pernikahan Jimmy dan Melisa terasa begitu dekat. Sembilan puluh lima persen persiapan telah rampung, meninggalkan aroma harum antisipasi di udara. Ballroom megah di jantung ibu kota, tempat janji suci akan diucapkan, kini dipenuhi kesibukan. Jimmy, gagah dalam balutan jasnya, dan Melisa, menawan dalam gaun pengantinnya yang berkilauan, memimpin gladi resik bersama tim WO yang cekatan. Langkah kaki mereka beriringan, menelusuri alur acara, dari prosesi masuk hingga sesi pelepasan balon—setiap detail diperiksa, setiap gerakan dirapikan. Senyum tegang namun bahagia terukir di wajah mereka, mencerminkan debaran jantung yang berdetak kencang. Di sekeliling mereka, para WO berkoordinasi, memastikan tata cahaya, tata suara, dan dekorasi sempurna. Udara bergema dengan bisikan instruksi dan tawa ringan, menciptakan simfoni persiapan yang dramatis namun penuh kegembiraan. Gladi resik ini bukan sekadar latihan, melainkan sebuah ritual penyempurnaan, sebu
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh. "Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial. "Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud. "Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai. "Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham. "Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan. Melisa langsun
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha