Melisa menggeram marah di tempatnya. Bagaimana mungkin pria berusia 33 tahun itu mengatakan bahwa dirinya adalah wanita yang telah membuat Jimmy patah hati? Padahal yang sebenarnya, Melisa tidak tahu menahu bagaimana perasaan laki-laki itu sejak dulu kala.Kalau pun Jimmy menurunkan gengsi dan mengatakan perasaan sejak dulu, mungkin dirinya juga tidak akan dinikahi kan oleh ibu panti dengan pria yang tidak dikenal.Selepas kepergian pria bermanik biru terang itu, Melisa mulai melayangkan protes. "Om kenapa mengatakan kalau aku adalah penyebab Om sakit hati? Aku tidak ada kaitan nya dengan hati Om ya!" jelasnya. Melisa memilih duduk kembali di sofa panjang dan mengambil minuman kemasan yang tersedia di atas meja sana.Jimmy mendekat. Ia paling suka dengan bibir yang mengerucut seperti itu. Sembari duduk di dekat sang garis, ia terkekeh."Memangnya kenapa? Karena aku pergi ke luar negeri mengikuti kedua orang tuaku, aku malah kehilanganmu. Ah, bodoh sekali. Seharusnya aku dulu yang men
Tanpa diduga oleh gadis itu sebelumnya, Jimmy lantas mengeluarkan sebuah kota kecil berbahan beludru yang berisikan cincin berlian mewah. Sangat berkilau di tempa cahaya yang bantul dari jendela di samping kanannya sebelah belakang.Tanpa kata, pria itu langsung mengambil dan memasangkan kepada jari manisnya. Melisa benar-benar tidak menduga bahwa pria yang berada dihadapannya yang sangat romantis.Padahal sebelumnya, mereka baru saja berdebat karena suatu hal yang tidak penting. Dan kini, pria yang terlihat sehari-hari sangat konyol tersebut mendadak membuat hatinya sangat melted."Om, ...." Melisa anda menarik tangannya yang sudah terpasang cincin indah. Akan tetapi laki-laki itu langsung membawa punggung tangan untuk di kecup pelan.Sangat lama gerakan tersebut terjadi sampai pada akhirnya, Jimmy menyuarakan kata hati yang sontak saja membuat Melisa terkejut bukan main."Be a my wife, please!" Jimmy menatap dengan pandangan sendu. Laki-laki itu benar-benar berharap supaya Melisa bis
Rehan dibawa ke rumah sebuah klinik oleh ayah mertuanya. Tetapi sesampainya di sana, pria itu langsung meninggalkan Rehan dan kembali ke rumah."Semua yang ku gunakan untukmemukul Rehan tadi tolong singkirkan. Bapak tidak mau barang-barang tersebut menjadi barang bukti saat aku melukai Rehan," perintah ayahnya Rina.Wanita yang sedang hamil muda tersebut mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun. Sedikit bersalah tetapi sebuah kelegaan juga muncul dalam dadanya. Setidaknya untuk saat ini, masalahnya dengan Rehan telah selesai.Tetapi, ada satu yang mengganjal dalam hatinya. Bagaimana mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa anak yang sedang dikandung oleh nya ini tidak memiliki seorang ayah?Entahlah, Rina tidak ambil pusing untuk sekarang. Yang terpenting, ia harus menjaga ke arah syamil dan menghindari Rehan kembali supaya tidak lagi di celakai oleh pria tersebut.Karena merasa sangat suntuk, Rina memilih untuk berjalan-jalan sebentar. Ia butuh me-refresh pikiran supaya lebih tenan
Sepanjang perjalanan menuju ke mall, bocah kecil berusia empat setengah tahun tersebut tidak henti-hentinya menarik perhatian dari Melisa. Meski terkesan berisik dan banyak omong, tetapi tidak sekali pun Melisa memgeluh. Justru, ia berusaha untuk mencari tahu apa yang disukai oleh Austyn.Mulai dari makanan kesukaan, minuman, dan juga mainan favorite. Seperti halnya saat ini, ia rela mengantri di sebuah kedai es krim yang tengah viral, sebelum masuk ke dalam bangunan mall tersebut. Kedai es krim ini terletak 100 meter dari mall tersebut.Membutuhkan waktu 20 menit lamanya, sampai es krim yang diminta oleh Austyn sampai ke tangan bocah itu. Melisa datang membawa 2 cup es krim. Satu untuknya dan satu untuk calon putra sambungnya."Makasih, Mom." Austyn memberikan senyum terbaiknya. "Mom juga suka es krim?""Suka." Melisa menjawab singkat. Seumur umur, ia baru memakan es krim seperti ini satu kali. Karena keterbatasan uang yang dimiliki, selama lebih dari 20 tahun dia hanya mencicip es
Melisa membeli banyak barang di Mall tersebut. Ia juga menikmati beberapa makanan yang berada di sebuah food court. Pun masih harus menuruti kemauan Austyn yang ingin bermain di sebuah wahana mandi bola."Mommy, ayo ikut aku ke sana!" Austyn mengajak dirinya untuk masuk ke dalam wahana mandi bola.Melisa melirik sekilas ke arah asisten pribadi Jimmy. Pria itu malah menertawakan dirinya."Kamu sedang mengejekku?" tukasnya pada Kenan dengan tatapan yang sengit.Kenan mengulum bibir. "Mana mungkin saya berani mengejek Anda, Nona Melisa."Berani dia mengejek game membuat wanita bosnya itu murka, maka Kenan agen dihabisi oleh pria tersebut. Ia tidak mau mengambil resiko. Tetapi saat melihat pemandangan indah yang tersaji di hadapannya, hatinya merasa tergelitik."Tapi kau sedang menertawakan ku," ujar Melisa memberengutkan bibir."Tidak. Saya hanya tersenyum saja. Sepertinya anda masih cocok untuk bermain di wahana sana," jelasnya. Ia lantas beralih memperhatikan mereka dari kejauhan."Ya s
Malam itu pula, keduanya meninggalkan Jimmy di rumah bersama sang pengasuh. Masuk ke dalam sebuah klub malam, Jimmy menjadi pusat perhatian dari beberapa pengunjung.Pasalnya, paras rupawan yang kebule-bule an ini menjadi magnet tersendiri bagi kaum wanita yang melihat mereka."Cantik!""Tampan!"Banyak juga yang menggoda dengan manja. Menawarkan diri untuk dinikmati oleh Jimmy. Membelai jambang tipis yang menghiasi rahang kokoh. Meski tidak diberikan uang sepeserpun, mereka rela naik ke atas ranjang Tuannya dan pasrah jika harus diperlakukan apa pun."Lihatlah, kau membuat mereka semua patah hati!" bisik Jimmy. Namun, sepertinya sang gadis masih ngelag."Apa maksudmu, Om?" Pandangan gadis itu bertemu dengan sang pemuda. Ia tidak paham makna makna seperti itu. Melissa memilih untuk mengerutkan kening sesaat."Maksudnya, kau membuat mereka iri. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan ku," jelas Jimmy sedikit membuat suasana semakin panas. Ia sengaja mengatakan seperti itu supaya Melis
Kembali dari toilet, Jimmy melangkah menuju sofa yang diduduki oleh Melisa tadi. Suara dentuman musik bertalu-talu di dalam kepala miliknya. Udara dipenuhi dengan keseruan muda-mudi yang merayakan pesta ulang tahun sang sahabat.Ada yang berpasangan, ada pula yang datang sendirian sambil mencari pasangan di sini. Hal itu sudah lumrah terjadi. Sama seperti dirinya yang hari ini hanya datang berdua bersama Melisa. Tanpa tahu sama sekali, ada bahaya yang mengintai yang ada di sekitar sini.Kala matanya menangkap potret Melisa di sana, Jimmy mengernyit. "Kenapa wanita itu membuka jaket di sini?" gumamnya.Jimmy tidak rela jika kulit mulus Melisa yang selalu melakukan perawatan mahal itu dilihat pria hidung belang. Hanya dirinya yang boleh menikmati keindahan itu, nanti ... Ya, nanti saja saat waktunya sudah tiba."Melisa, apa yang kamu lakukan? Bukankah sudah peringatkan jika —""Om, ini gerah!" Melisa merengek melihat Jimmy yang datang dengan tangan kosong. Libidonya seakan meningkat pes
Keringat mengucur deras di seluruh tubuh Jimmy, merasakan ketegangan yang menguasai dirinya. Nafasnya terengah-engah, seperti ada beban berat yang terus menekan dadanya. Suasana yang mencekam tadi seolah tidak pernah berhenti membebani pikirannya. "I'm so sorry, Melisa."Setelah keringatnya berkurang, dan dirasa pori pori telah menutup, dia bergegas menuju kamar mandi, mencari sedikit ketenangan, meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar menenangkan perasaannya sekarang.Pintu kamar mandi ditutup dengan tergesa-gesa, dan Jimmy membiarkan air mengalir deras di tubuhnya, mencoba untuk menghilangkan rasa sesak yang terus mengganggu. Suara tetesan air di lantai terasa kontras dengan kekacauan yang masih menggema di dalam dirinya.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya terlarut dalam aliran air. Namun, meski air menyegarkan tubuhnya, pikirannya tak bisa lepas dari situasi yang baru saja terjadi. Semua yang dia saksikan, semua yang dia dengar, terus berputar putar di kep
Teriakan itu langsung menggema, nyaring banget. "Copet! Copet!" Suaranya nyelip di tengah hiruk-pikuk keramaian yang ada di sekitar. Melisa yang lagi duduk di sebuah foodcourt, langsung menoleh ke samping, mencari sumber suara itu. "Ada apa, Om?" tanyanya, ngeliat Jimmy yang kelihatannya nggak terlalu panik, malah cuma angkat bahu dengan ekspresi acuh."Copet katanya," jawab Jimmy sambil tetap melangkah, seolah nggak ada yang spesial."Copetnya yang mana?" tanya Melisa, penasaran, sambil matanya mencari-cari orang yang dimaksud."Sepertinya baju ijo, yang mamu tunjuk tadi," jawab Jimmy lagi dengan santai."Apa iya?" Melisa mulai nggak yakin, tapi tetap waspada. Pikirannya mungkin masih ragu apakah benar itu copet atau hanya salah paham."Iya. Gelagatnya kan udah mencurigakan," seloroh Jimmy dengan nada nggak terlalu serius, malah kayak bercanda. Tapi itu justru bikin Melisa semakin cepat bergerak, nggak mau ketinggalan kalau benar ada yang mencurigakan.Melisa langsung berlari ke ar
Jimmy dan Melisa tiba di sebuah gallery berlian yang mewah. Pintu kaca besar terbuka dengan lembut, menyambut mereka dengan nuansa elegan. Dalam ruangan yang penuh kilauan berlian, mereka merasa seolah-olah melangkah ke dunia lain, penuh kemewahan dan keindahan."Wow, tempat ini luar biasa," kata Melisa, matanya berkilau melihat koleksi berlian yang terpajang di etalase.Maklum jika kelihatannya sedikit norak, ya karena Melisa memang tidak pernah diajak ke tempat tempat seperti ini. Apalagi mereka bertiga kali ini diarahkan menuju ruang VIP yang tentunya membuat Melisa cukup melongo dengan fasilitas yang didapatkan.Seketika, Jimmy tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kamu suka barang barang indah. Hari ini aku ingin memastikan kita mendapatkan yang terbaik."Dan kini, Melisa menoleh ke arah Jimmy, terkejut. "Apa maksudmu?"Tersenyum lembut, Jimmy tidak langsung menjawab. Mereka berjalan lebih dalam, menuju sebuah etalase di sudut ruangan VIP. Di sana, terletak sebuah cincin pernikaha
Suasana foto prewedding antara Jimmy dan Melisa berlangsung dengan nuansa yang cukup dramatis, meskipun tak terlepas dari sedikit ketegangan. Jimmy, yang dikenal sebagai sosok pria yang kaku dan tidak terlalu luwes dalam berpose, tampak canggung mengikuti arahan fotografer. Hal ini jelas terlihat ketika sang fotografer meminta Jimmy untuk sedikit bergeser."Ehm, Tuan Anderson. Bisakah Anda sedikit geser ke kanan?" kata sang fotografer dengan suara lembut namun tegas, berusaha menjaga kesan profesionalisme di tengah ketegangan yang mulai terasa.Jimmy yang terkesan bingung dengan permintaan tersebut, segera mengatur langkahnya, namun ekspresinya tetap terlihat tegang. "Begini?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit kebingungan, sambil mengubah posisinya, berusaha mengikuti instruksi yang diberikan.Fotografer itu mengamati sejenak, mencoba menangkap setiap detail dalam frame. "Iya, tapi senyum Anda juga kurang tulus," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh
"Alhamdulillah, Om udah bener-bener tulus sama aku. Jadi, kita menikah, kan?" Melisa memeluk Jimmy dengan penuh kebahagiaan. Dengan senyum lebar, ia menatap dalam-dalam mata biru Jimmy, merasakan kedamaian yang datang bersama janji itu. Pada akhirnya, semua yang ia harapkan tercapai: mereka berdua, bersama, menuju masa depan yang penuh harapan. Jimmy tersenyum lembut, matanya menyiratkan rasa syukur dan cinta yang mendalam. "Hum, kita akan menikah," jawabnya, suaranya dipenuhi keyakinan. "Dan sesuai janjiku, aku telah merancang semuanya. Kita akan fitting baju, sekaligus foto prewedding. Mau?" Melisa mengangguk cepat, wajahnya berseri-seri. "Mau! Apa anak kita ikut?" "Tentu," jawab Jimmy dengan tegas. "Andrew sudah menunggu. Go!" Kebahagiaan meluap di hati Jimmy. Sejak ia memutuskan untuk memeluk Islam dan memulai perjalanan spiritual bersama anaknya, Andrew, serta Melisa, hidupnya berubah total. Tidak hanya hatinya yang merasa damai, tetapi juga keluarganya. Kini, setelah semua k
Jimmy Anderson, seorang CEO sukses yang dikenal karismatik dan penuh ambisi, tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu mementingkan agama. Ayahnya seorang agnostik, sementara ibunya lebih mengutamakan pendidikan dan kesuksesan duniawi daripada kehidupan spiritual. Namun, di balik kesuksesan karirnya, ada rasa hampa yang tak terjelaskan. Meski hidupnya tampak sempurna—dengan perusahaan besar yang dipimpinnya, rumah mewah, dan kendaraan yang selalu ia inginkan—ia merasakan adanya kekosongan dalam dirinya.Semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Hasan, seorang pengusaha muslim yang ia kenal dalam salah satu pertemuan bisnis. Hasan bukan hanya sukses dalam dunia usaha, tetapi juga terlihat tenang dan penuh kedamaian. Kepribadian Hasan yang hangat dan penuh keyakinan menarik perhatian Jimmy. Mereka sering berbicara tentang berbagai hal, dan Hasan selalu menyelipkan pesan-
"Oooom!" Jeritan Melisa menggema, suara primal yang melepaskan gelombang kenikmatan yang dahsyat. Bukan sekadar desahan, melainkan letusan emosi mentah yang mengguncang seluruh tubuhnya. Ia merasakan semburan hangat yang membanjiri rahimnya, sensasi yang begitu intens hingga membuatnya kehilangan kendali, tubuhnya ambruk lemas, tak berdaya. Jimmy masih menindihnya, berat tubuhnya seakan menjadi simbol dari kekuatan gairah yang baru saja mereka alami bersama. Mereka menyatu, dua tubuh yang terjalin dalam ikatan yang erat, namun juga rapuh."Kamu suka, Baby?" Jimmy membisikkan pertanyaan itu, suaranya berat, bergetar karena sisa sisa gairah yang masih membara. Bukan pertanyaan biasa, melainkan sebuah pernyataan yang ingin dikonfirmasi. Ia ingin memastikan bahwa Melisa merasakan hal yang sama, bahwa mereka telah berbagi sesuatu yang luar biasa dan tak terlupakan."Sakit, Om!" Melisa merintih, suaranya teredam oleh desahan napas yang masih tersengal-sengal. Ras
Gelombang dahsyat menerjang mereka, menghantam benteng pertahanan yang selama ini mereka bangun. Bukan sekadar gairah, melainkan badai emosi yang menggulung segalanya; ketakutan, keraguan, hasrat, dan cinta—semuanya bercampur menjadi satu pusaran dahsyat yang menyeret mereka ke dalam pusaran keinginan yang tak tertahankan.Tubuh-tubuh mereka bergetar, terhempas oleh gelombang yang tak terbendung, seakan dunia di sekitar mereka lenyap, hanya menyisikan mereka berdua dalam pusaran gairah yang menggelora. "Aaaah. Ommm."Dalam dekapan Jimmy yang hangat dan kuat, Melisa melepaskan jeritan yang tertahan, suara penuh gairah dan kepuasan yang melepaskan segala tekanan dan keraguan. Itu bukanlah jeritan kesakitan, melainkan ekspresi dari gelombang emosi yang melanda dirinya; kegembiraan, kepuasan, dan juga sedikit rasa takut yang masih tersisa. Lengannya melilit erat leher Jimmy, jari-jarinya menancap kuat di punggung tegap pria bule itu, menandai kepemilikan, menunjukkan
"Jadi... kita kemarin malam... apa yang sebenarnya terjadi, Om?" Melisa menatap Jimmy dengan ragu, kebingungannya jelas terlihat. Dia merasakan ada sesuatu yang tak beres, tapi tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi."Kemarin malam, kamu mabuk, Melisa," jawab Jimmy, suaranya penuh penyesalan. "Kamu yang meminta untuk keluar bersama, untuk berbicara. Semua itu tidak direncanakan, dan aku merasa kita salah dalam banyak hal.""Om, jangan bercanda! Itu nggak lucu!" Melisa merasa perasaan campur aduk, bingung dan marah. "Apa yang terjadi dengan aku? Kenapa aku tidak ingat?""Aku tahu, kamu bingung dan marah. Itu salah kita berdua, tapi kita perlu menghadapi ini dengan kepala dingin. Coba lihat rekamannya." Jimmy menunjuk ke arah layar CCTV yang terpasang di sudut ruangan."Aku ... aku harus tahu ini semua." Suara Melisa bergetar, sedikit gemetar karena ketakutan dan kebingungannya yang semakin dalam.Sinar pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi wajah Melisa yang masih dip
Keringat mengucur deras di seluruh tubuh Jimmy, merasakan ketegangan yang menguasai dirinya. Nafasnya terengah-engah, seperti ada beban berat yang terus menekan dadanya. Suasana yang mencekam tadi seolah tidak pernah berhenti membebani pikirannya. "I'm so sorry, Melisa."Setelah keringatnya berkurang, dan dirasa pori pori telah menutup, dia bergegas menuju kamar mandi, mencari sedikit ketenangan, meskipun tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar menenangkan perasaannya sekarang.Pintu kamar mandi ditutup dengan tergesa-gesa, dan Jimmy membiarkan air mengalir deras di tubuhnya, mencoba untuk menghilangkan rasa sesak yang terus mengganggu. Suara tetesan air di lantai terasa kontras dengan kekacauan yang masih menggema di dalam dirinya.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya terlarut dalam aliran air. Namun, meski air menyegarkan tubuhnya, pikirannya tak bisa lepas dari situasi yang baru saja terjadi. Semua yang dia saksikan, semua yang dia dengar, terus berputar putar di kep