Beranda / Romansa / Istri Yang Diabaikan / 2. Bayiku Tak Bisa Diselamatkan

Share

2. Bayiku Tak Bisa Diselamatkan

Penulis: TrianaR
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kuguncang tubuhnya, tapi dia hanya diam. Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku. Bagaimana ini? Kenapa aku jadi suami yang tak peka? Padahal tadi Lili sudah mengeluh sakit.

Kubopong tubuhnya dan langsung membawanya ke mobil. 

"Ibu ikut, Zam," ujar ibu. Kurasa ia pun panik setelah melihat menantunya tak sadarkan diri.

"Tidak perlu, Bu. Ibu di rumah saja, biar Lili aku yang urus," tukasku. Aku tak ingin mendengar protes dari ibu. Sudah cukup, bisa tambah runyam pikiranku kalau ibu ikut. Ia bisa ngomong ngelantur yang tidak-tidak.

Gegas kulajukan mobil ini dengan kecepatan sangat kencang.

"Li, bertahanlah."

Rasa sesal kembali merajai diri seakan berletupan tak ingin lagi sembunyi. Rasa sakit ini makin menghimpit dada. Semua karena keegoisanku, semua karena ketidakpekaanku. Lili jadi seperti ini.

Sampai di rumah sakit, Lili yang masuk di ruang IGD langsung ditangani oleh tim medis, berhubung dokter spesialis kandungan sudah pulang, mereka hubungi lebih dahulu. 

Seorang wanita berpakaian dokter berjalan tergopoh-gopoh, setelah kutahu ternyata ia dokter obygin alias dokter kandungan. 

Mengingat kondisi Lili yang kritis, akhirnya langsung dilakukan tindakan. Para perawat langsung membawa Lili ke ruang operasi, mereka tak membiarkanku untuk ikut melihat prosesnya.

Setelah sekitar 1 jam menunggu, pintu ruang operasi terbuka dan munculah seorang pegawai rumah sakit yang memakai baju OK keluar dari pintu ruang operasi.

Aku segera mendekatinya, " Bagaimana dengan kondisi istri saya dan bayinya, Suster?" tanyaku. 

Perawat bermasker itu memandangku sejenak. "Mohon maaf ya pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi bayi bapak tidak bisa diselamatkan. Bayi bapak sudah meninggal di dalam kandungan," jawabnya.

Deg! Dunia seakan runtuh seketika. Aku seperti hilang pijakan. Kepalaku berputar-putar, terasa berat dan penat.

"Istri saya bagaimana, Sus?"

"Kondisi istri bapak masih sangat lemah. Bapak bisa temui nanti setelah dipindah ke ruang perawatan ya."

*

Kugendong tubuh mungil yang tak bernyawa ini. Hatiku runtuh, air mataku luruh, tenggelam dalam penyesalan yang tak bertepi. Semua salahku. Anak yang kudambakan selama dua tahun terakhir ini, justru berakhir karena kelalaianku sebagai seorang suami. 

"Nak, bahkan kamu sudah pergi sebelum bisa membukakan mata melihat ayah dan bunda ke dunia," lirihku. 

Apakah ini ganjaran yang pantas untukku karena telah mengabaikan Lili? Ya, Lili, bagaimana dengannya kalau tahu bayinya tidak bisa diselamatkan?

Tengah malam yang begitu kelam, aku harus kehilangan. Buah hati yang kutunggu, harus pergi tanpa mencicipi manisnya kasih sayang dari kami. 

"Sayang, Nak, maafin ayah karena sudah mengabaikan kalian."

Lagi, aku tak bisa menahan lelehan air mata ini. Begitu sakit dan menyesakkan dada. 

Ini salahku membiarkan ibu bersikap sesukanya pada Lili. Salahku juga karena tak tegas pada mereka. Kupikir hubungan ibu dan Lili baik-baik saja. Wajar kalau ibu menyuruh Lili, dan Lili tak pernah membantahnya sebagai bukti kalau ia begitu taat sebagai istri maupun menantu.

Aku tak pernah mau mendengar keluhan Lili tentang ibu, atau mendengar keluhannya kalau ia merasa capek. 

Kalau dipikir aku suami yang begitu tega, bahkan tak pernah memberikan reward apapun pada Lili. Walau sekadar membelikan baju atau apapun itu. Karena kupikir uang tiga juta sangatlah cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga. Lili tak membutuhkan apapun lagi, toh dia tak pernah protes.

Apakah aku suami dzolim? Gajiku saat ini adalah sepuluh juta rupiah. Tiap bulannya, kuberikan pada Lili tiga juta untuk uang belanja dan semua kebutuhan rumah. Dua juta kuberikan pada ibu, sebagai reward telah melahirkanku dan merawatku dari kecil. Sedangkan yang lima juta aku pegang sendiri, aku tabung demi masa depan nanti. Atau untuk pegangan bila ada kebutuhan yang mendesak. Ya, aku tak ingin terlibat dalam lingkaran hutang. Sudah cukup masa kecilku saja yang kekurangan, jadi sebisa mungkin aku harus punya tabungan untuk anakku kelak maupun untuk hari tua.

***

"Mas, bagaimana bayi kita?" tanya Lili saat mulai sadar.

Nyess. Mendengar pertanyaannya membuatku tak mampu berkata. Ada hancur di sudut hatiku.

Aku hanya menunduk, tak mampu berkata-kata. Setelah sembilan jam, akhirnya Lili sadar dari kritisnya. Namun yang ditanya pertama kali adalah tentang bayinya.

Bagaimana aku mengatakan kalau bayinya sudah meninggal sejak dalam kandungan? Rasanya belum siap melihat amarahnya.

Akupun sudah menguburkan anakku tadi. Ya, pagi-pagi sekali aku pulang membawa bayiku yang sudah tak bernyawa lagi, untuk segera dikuburkan. Kasihan bila terlalu lama dibiarkan, sedangkan pihak dokter pun tak tahu kapan Lili akan sadar.

Aku sempat memotret wajahnya yang imut dan mungil itu. Foto itu tersimpan rapi di handphoneku.

"Mas, kenapa diam saja? Dimana bayiku, Mas? Tolong bawa kesini, aku ingin melihatnya," lirihnya lagi.

"Dek, kamu yang sabar ya, yang tenang."

"Apa maksudmu, Mas? Bayiku baik-baik saja kan? Kalau kamu tak bisa membawa bayiku kesini, tolong antarkan aku ketemu dengannya mas ..." rengeknya dengan nada pilu.

"Maaf dek, tapi--"

"Tapi apa, Mas? Cepat katakan mas! Ada apa dengan bayiku?"

"Maaf dek, bayi kita sudah meninggal dek."

"Tidak, itu tidak mungkin!"

"Dek, bayi kita sudah meninggal sejak dalam kandungan, dia tidak bisa diselamatkan, dek."

"Tidak, itu tidak mungkin! Itu tak boleh terjadi! Antarkan aku ketemu bayiku, Mas! Bayiku tak mungkin meninggal. Tadi sore aku masih merasakan gerakannya, Mas."

Kudekap erat tubuhnya yang terguncang hebat. Namun sekuat tenaga ia mendorong tubuhku. Air matanya jatuh bercucuran.

Sungguh aku tak sanggup melihatnya seperti ini. Ya, ini semua murni kesalahanku. Andai saja penyesalanku bisa mengembalikan bayi kami ...

"Kembalikan bayiku, Mas! Kembalikan bayiku! Bayiku tak mungkin meninggal, bayiku masih hidup, Mas!"

"Sayang, maafin mas. Maaf--" ucapku sambil terus mendekap tubuhnya. Lili berontak lagi.

Lili makin tergugu mendengarnya, ia meremas ujung selimut rumah sakit yang menutupi sebagian tubuhnya. Sesekali dia terlihat memukul-mukul bed yang ditidurinya. Selang infus terlihat mobat-mabit ketika dia mulai histeris. Iapun mulai memukuli kepalanya sendiri, seakan-akan penat begitu terasa menusuk kepala. 

Ah Lili ... Dia masih saja histeris seakan tak menerima kenyataan yang terjadi.

"Bayiku, mana bayiku ...?! Mana bayiku?! Tolong kembalikan bayikuuu ... Mas, tolong kembalikan bayikuuu ..." 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
tinggal serumah dengan mertua..sering jadi masalah
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
rasain loh jafi laki2 bege banget .punya istri g pernah d manjain selalu d suru kerja dr pagi sampe mlm dn punya mertua zolim selalu ngatur dn suami nya diem aja istri d siksa sama ibu nya padahal lagi hamil tidur d kamar pembantu padahal rmh nya
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Kasihan liat lili kehilangan bayinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Yang Diabaikan   3. Berdebat Dengan Ibu

    Pasca 4 hari di rumah sakit, akhirnya Lili diperbolehkan pulang. Aku memapahnya masuk ke dalam mobil. Kami hanya berdua. Ibu dan Icha enggan berkunjung ke rumah sakit, walaupun aku telah mengajaknya.Kondisi Lili sangat lemah. Kali ini tidak ada perlawanan darinya, ia lebih banyak diam, bahkan seperti patung. Jika ditanya pun enggan menjawab.Wajahnya sendu, netranya begitu sayu. Pandangannya seakan kosong, embun tebal tampak begitu kentara di kedua bola matanya.Pandangannya yang biasa meneduhkan kini terlihat sangat rapuh.Lili, maafkan suamimu ini. Aku memang pria yang tak becus bergelar suami.Hening. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya alunan musik klasik yang kusetel begitu lirih untuk sekedar mengusir sepi."Mas, kita ke makam bayiku dulu, baru pulang," pintanya tanpa memandang ke arahku.Aku menoleh. Lalu hanya bisa menganggukkan kepala melihat ekspresinya yang begitu sedih.

  • Istri Yang Diabaikan   4. Dihajar

    "Dek, biar mas saja. Kamu makan dulu gih!"Lili menoleh, memandangku dengan tatapan nanar. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Lili jatuh tak sadarkan diri."Lili ...!" teriakku histeris.Kubopong tubuhnya masuk ke dalam rumah. Mendengar teriakanku ibu dan Icha muncul dari balik pintu. Mereka saling berpandangan satu sama lain."Apa yang ibu lakukan pada Lili, Bu? Ibu tahu bukan Lili masih sakit? Kenapa ibu lakukan ini, Bu?!"Aku menatapnya tajam dengan netra berkaca."Ibu gak lakuin apa-apa, Nak.""Bohong!!" bentakku.Kulihat wajah ibu dan Icha menunduk ketakutan, seakan merasa bersalah."Ibu pasti nyuruh dia kan? Kalian kenapa tega sekali lakukan ini?! Padahal kalian tahu Lili sedang sakit!""Mas, budhe gak bilang apa-apa kok, cuma bilang cucian belum dijemur, itupun gak ada kata-kata nyuruh Mbak Lili," kilah Icha."Diam kamu, Cha!! Lebih baik kamu pulang saja sana! Kalau disini cuma jadi benalu!! Tidak p

  • Istri Yang Diabaikan   5. Pulang

    Seketika dadaku bergemuruh panas, ada yang nyeri di ulu hati."Dek, kamu sudah bangun?"Aku berusaha menetralkan rasa, agar mereka tak tahu kalau aku tengah cemburu."Sini Mas, biar aku saja yang suapin istriku," lanjutku sembari mengambil piring darinya.Bang Panji masih menatapku tajam. Begitupun Lili, dia hanya memandang kami secara bergantian."Wajahmu kenapa, Mas?" tanyanya dengan lirih.Senyumku mengembang mendengar perhatian dari Lili, dia masih mengkhawatirkanku."Tidak apa-apa, dek. Ayo makan dulu.""Aku gak mau mas," tolaknya."Tapi dari tadi kan belum makan.""Sini, biar aku saja yang nyuapin adikku makan."Bang Panji meraih piring itu dariku."Kalian pergilah keluar dulu, kami mau bicara empat mata," tukas Bang Panji.Bang Panji pasti ingin mengorek informasi tentang Lili saat berada di rumah. Duh, mampus aku kalau Lili mengadukan semuanya.Dengan berat hat

  • Istri Yang Diabaikan   6. Dia menolakku

    Lili bangkit lalu meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim."Mau apa kamu datang kemari?" tanya Bang Panji menghenyakkanku. Tiba-tiba ia muncul dari dalam."Aku mau jemput Lili pulang, Bang.""Tidak. Biar dia disini sama aku. Kamu gak becus jadi suami!""Tapi bang, Lili istriku, dia tanggung jawabku. Dia harus ikut suaminya kemanapun suaminya pergi.""Tanggung jawab kamu bilang? Tanggung jawab macam apa? Kalian tega manfaatin tenaga Lili, udah kayak babu di rumah sendiri! Kemana aja kamu selama ini?!""Maaf bang, tapi aku akan memperbaiki kesalahanku.""Bang, Mas, tolong jangan ribut. Tak enak didengar tetangga," sela Lili menengahi perdebatan kami. Suaranya masih terdengar lemah, tapi mampu membuat kami bungkam.Aku duduk di teras ubin tanpa dipersilahkan. Hatiku benar-benar kalut. Rasanya kecewa, kenapa Lili mau menuruti Bang Panji untuk pulang ke rumah ini, padahal ada rumah suaminya."Bang, kenapa gak bilan

  • Istri Yang Diabaikan   7. Maafin Mas, Dek!

    Aku menghela nafas dalam-dalam."Maafin mas, dek. Selama ini mas sudah salah. Tapi yakin kamu gak mau pulang, Dek?"Lili mengangguk. Mataku terasa panas, hampir saja air mata ini luruh, tapi malu pada wanita di hadapanku. Mungkin ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pasca kehilangan bayinya, aku yakin Lili sangat terguncang."Ya sudah, kalau kamu gak mau pulang. Mas yang akan ikut tinggal disini."Lili masih terdiam."Mas akan ambil baju-baju Mas dan juga bajumu. Jadi mas pulang dulu, nanti mas kesini lagi."Aku berpamitan dengan Lili dan juga Bang Panji untuk pulang sebentar.***"Zam, kamu udah pulang?" tanya ibu.Ia tersenyum saat menyambutku. Kucium punggung tangannya dengan takdzim. Aku berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar."Zam, tadi ibu ngambil baju di anaknya Bu RT, nanti tolong bayarin ya, duit ibu udah habis," sahut ibu. Tiba-tiba ia muncul dari balik pintu."Ibu ambil baju

  • Istri Yang Diabaikan   8. Drama

    "Bu, please! Ibu jangan seperti anak kecil begini. Aku cuma sementara waktu saja ke tempat Bang Panji. Aku ingin memperbaiki dulu hubunganku dengan Lili. Ibu tahu, rumah tanggaku sudah diambang kehancuran. Aku ingin mendapatkan kepercayaan Lili lagi.""Zam, wanita itu gak hanya satu. Banyak wanita yang lebih cantik dan kaya dari Lili, ibu sangat yakin, kamu pasti bisa mendapatkan wanita lebih baik dari Lili.""Cukup Bu, jangan menambah keruh suasana. Kenapa ibu berpikir seperti itu sih! Aku harus mencari wanita lain begitu? Tidak Bu! Bagiku pernikahan cukuplah sekali seumur hidup dan aku akan berusaha setia pada istriku. Wanita di luaran sana memang banyak, tapi yang kucintai hanya Lili, Bu. Aku gak ingin kehilangan dia. Sudah cukup aku kehilangan bayiku," ucapanku terhenti, seperti ada yang tercekat di tenggorokan."Bayiku meninggal, istriku sakit dan sekarang dia memilih tinggal bersama kakaknya. Tapi apa ibu peduli pada kami? Tidak!

  • Istri Yang Diabaikan   9. Permintaan maaf ibu

    Glek! Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Lili. Dia terlihat begitu terluka. Bahkan tangannya sampai gemetaran."Maaf dek, mas memang gak bisa mengembalikan anak kita. Tapi mas ingin memperbaiki kesalahan ini. Tolong.""Pergilah, Mas! Pergiii ....! Aku ingin sendiri!" teriak Lili dengan histeris."Ada apa ini malam-malam ribut?"Bang Panji muncul dari balik pintu. Menatapku dengan tajam. Bang Panji langsung mendorong tubuhku hingga ke tembok."Kenapa kau membuat adikku menangis lagi hah?!" bentak Bang Panji, ia mencengkram kuat krah bajuku, sedangkan tangan satunya sudah mengepal kuat hendak melayangkan tinju ke arahku.Aku diam, terserah bila Bang Panji ingin menghajarku lagi habis-habisan. Hatiku lebih sakit memandang Lili menangis tergugu di sudut ranjang. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya.Cengkraman Bang Panji terlepas sendiri olehnya. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu mengusap wajahnya dengan kasar.

  • Istri Yang Diabaikan   10. Kembali

    "Oh, ada tamu. Kenapa gak masuk dulu?" sela Bang Panji.Ia turun dari boncengan motor Raffa."Panji, aku pulang duluan.""Okey"Motor Raffa menjauh dari halaman. Pria itu mungkin sungkan karena ada keluargaku. Biasanya mereka--Bang Panji dan Raffa usai pulang kerja, akan berdiskusi hingga malam.Sebenarnya aku kesal, kedatangan ibu malah membuat kecanggungan baru diantara kami. Padahal sebentar lagi, Lili bisa luluh padaku. Tapi sekarang? Aaarggghh kacau!Tapi jujur, aku mengapresiasi keberanian ibu yang mau minta maaf dan mengakui kesalahan ibu. Cuma aku tak mengerti, apakah ibu benar-benar tulus meminta maaf?"Kalian mau sampai kapan tinggal disini merepotkan abangmu?" tanya ibu. Nada bicaranya sungguh lembut."Tidak merepotkan kok, ini juga masih rumah Lili," sela Bang Panji.Lili hanya menunduk. Sedangkan Bang Panji masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sembari membawa minuman. La

Bab terbaru

  • Istri Yang Diabaikan   42. Kepergian (end)

    Icha menghentikan gerakannya. "Apa maksud Mas Azzam? Bukankah budhe ada di kampung?""Ibu sakit stroke Cha, sekarang beliau ikut kami," sahutku."Apa? Sakit?""Iya, kita pulanglah dulu, jengukin ibu. Akhir-akhir ini ibu banyak melamun. Mungkin ibu juga rindu padamu."Icha mengangguk setuju. "Sejak aku diboyong Mas Raka, aku tak diperbolehkan keluar rumah apalagi berhubungan dengan ibu. Handphoneku dijual sama dia. Banyak hal pahit yang kurasakan, dia dan ibu mertua berlaku kasar padaku."Sungguh miris nasibmu, Cha. Sepertinya kau mengalami hal yang lebih buruk dari yang kualami.***"Assalamualaikum. Bu, lihatlah siapa yang kubawa," kata Mas Azzam.Ibu menoleh kemudian tersenyum saat melihat Icha datang bersama kami."Budhe--"Icha langsung menghambur ke arah ibu. Mereka terhanyut dalam isak tangis. Meskipun bukan anak kandungnya tapi ibu benar-benar menyayangi Icha setulus hatinya.

  • Istri Yang Diabaikan   41. Bertemu Icha

    Mas Azzam menoleh ke arahku. "Dek, ibu jatuh di kamar mandi, sekarang dirawat di rumah sakit terdekat.""Siapa yang menghubungi, Mas?""Mbak Idah. Katanya Icha gak bisa dihubungi sejak pindah ke rumah suaminya.""Ya sudah Mas, kita pulang. Kasihan ibu."Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat ibu dirawat. Disana tak ada siapapun yang menunggunya. Tetangga sudah pulang karena punya kesibukan masing-masing."Bu," sapa Mas Azzam. Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terbaring lemah tak berdaya.Netra ibu tampak berkaca-kaca. Mulutnya bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tapi tak bisa.*"Ibu Yanti mengalami stroke, hampir separuh tubuhnya tak bisa digerakkan."Penjelasan dokter membuat Mas Azzam makin terluka. Kulihat air mata itu menitik dari pipinya.Rasa hatiku ikut perih, menyaksikan ibu mertuaku tak berdaya. Ibu yang dulu dengan jumawa'nya menghinaku kini justr

  • Istri Yang Diabaikan   40. Kabar Kehamilan

    "Dek, siap-siap kita akan datang ke pernikahan Icha," ucap Mas Azzam."Kita jadi pulang kampung, Mas?""Iya. Ibu terus menghubungi, meminta kita datang. Kita buktikan saja ucapan ibu benar apa tidak. Kalau ibu bohong lagi, kita akan langsung pulang."Aku mengangguk, lantas bersiap-siap mengganti baju.Mas Azzam menggenggam tanganku dengan erat, berkali-kali menciumi keningku. Ya, hubungan kami sudah membaik sejak tak ada lagi yang mengganggu.Kami sampai di kampung, bertepatan dengan akad nikah Icha. Aku tak tahu persis bagaimana awalnya, kenapa tiba-tiba Icha dinikahkan di kampung."Icha diperkosa, makanya segera dinikahkan agar tidak menjadi aib," tutur ibu mertua saat Mas Azzam bertanya mengenai hal ini. Kulihat air mata ibu tumpah.Walaupun kecanggungan diantara kami begitu kentara, tapi aku sempat memeluk ibu mertua. Aku merasa sekarang sikapnya sudah berubah, jauh lebih lembut.Setelah meng

  • Istri Yang Diabaikan   39. Apakah ini karma?

    Icha masih berada dikamarnya dengan balutan kebaya brokat berwarna putih. Riasan wajahnya terkesan natural justru membuatnya semakin ayu. Wajahnya yang putih bersih tak perlu mendapat banyak polesan. Ya, dia memang secantik itu, hidungnya juga mancung. Rambutnya yang panjang sepunggung membuatnya mudah untuk disanggul dan diberi hiasan hairpiece."Kamu cantik sekali..." puji Bu Yanti. Dia menemaninya sedari tadi.Icha termenung, pikirannya berkelana jauh. Kalau menikah sekarang berarti aku tak punya harapan lagi bersama Mas Azzam, batinnya bersedih."Sudah jangan bersedih lagi, jalani saja, dan tetap berdoa semoga kedepannya baik-baik saja."Icha mengangguk, Budhenya seolah tahu apa yang dirasakannya sekarang."Budhe, memangnya Mas Azzam gak datang?" tanya Icha, dia ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya itu."Sepertinya dia takkan datang.""Kenapa budhe? Sebenci itukah Mas Azzam padaku? Hingga dia tak m

  • Istri Yang Diabaikan   38. Kabur

    Pernikahan Icha dan Raka sudah ditentukan. Mau tidak mau Bu Yanti harus menghubungi anak lelakinya, Azzam. Ia tidak tahu anaknya akan pulang ataupun tidak, tapi yang terpenting ia akan memberitahukan hal ini padanya.Berkali-kali panggilan telepon itu tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.[Zam, Icha akan menikah hari Minggu besok. Kalau bisa kamu dan Lili hadir disini ya]Azzam terkejut saat membaca pesan ibunya. Kok tiba-tiba Icha menikah? Apa yang terjadi? Apakah ibu bersandiwara lagi?"Dek, ini ibu kirim pesan, katanya Icha mau menikah," ucap pria itu kepada istrinya."Apa, Mas? Icha menikah? Sama siapa? Kok mendadak?""Entahlah, mas juga gak tahu.""Ya sudah kita kesana, Mas.""Jangan dek, takutnya ini hanya sandiwara ibu. Aku gak mau terjebak tipuan ibu lagi.""Masa sih Mas, hal sepenting ini ibu tega menipu?""Ya kita kan sudah berkali-kali dibohongi sama ibu, aku gak bis

  • Istri Yang Diabaikan   37. Dilecehkan

    "Enggak!" teriak Icha. Dia berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari tempat terkutuk itu.Nafasnya tersengal-sengal, ia memilih berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tak lagi mengejarnya. Tapi ia mulai bimbang, ada dimana dia sekarang.Cukup lama berjalan, tak ada taksi yang lewat. Sepi.Icha berjalan kaki ke rumahnya dengan hati kesal. Ia menggerutu sepanjang jalan. Jarak menuju rumah, cukuplah jauh. Ia pasti akan merasa lelah. Apalagi malam-malam begini, jalanan semakin sepi dan mencekam. Gadis itu jadi menyesal, kenapa tak mengindahkan kata-kata budhenya. Kenapa dia harus pergi malam-malam begini. Ia pun tak tahu persis, kemana kakinya harus melangkah.Tiba-tiba ditengah jalan, ia dihadang dan digoda oleh para preman. Icha makin ketakutan saat melihat segerombolan pemuda itu."Halo cantik, mau kemana malam-malam begini?""Sayang sendirian aja nih, abang temenin ya!"Gadis itu merasa takut, kar

  • Istri Yang Diabaikan   36. Insiden Tengah Malam

    "Kali ini ibu tidak akan berdusta 'kan? Lebih baik ibu anggap aku tiada saja. Hubungan kekeluargaan kita, cukup sampai disini saja."Ibu dan Icha saling berpandangan kala melihat Azzam berlalu begitu saja meninggalkan mereka. Icha, gadis itu masih bertanya-tanya kenapa Azzam bersikap ketus bahkan pada ibunya sendiri."Budhe, apa yang terjadi? Kenapa Mas Azzam bersikap seperti tadi?"Ibu hanya mengelus punggung gadis itu, hatinya pun tampak kalut. Sebelumnya Azzam tak pernah bersikap begitu dingin dan ketus terhadap ibunya. Tapi sekarang ia bahkan tega mengusir ibunya sendiri dari rumah."Ayo kita cepat pulang. Ada banyak hal yang harus kita lakukan."Icha mengangguk menanggapi budhenya. Orang yang sangat menyayangi dirinya melebihi orang tua kandungnya sendiri.***"Cepat beresin barang-barangmu ya, Cha.""Memangnya kita mau kemana, budhe?""Pulang kampung.""Hah? Pulang? Kenapa? Icha kan masih ada p

  • Istri Yang Diabaikan   35. Permintaan gila ibu

    Aku langsung memeluknya. Kenapa sih Lili punya pikiran berpisah denganku. Ya Allah, aku harus bagaimana agar istriku tidak goyah. Aku paham dengan perasaannya, dia pasti sangat kehilangan. Dan semuanya gara-gara keluargaku. Tapi, aku benar-benar tak ingin kehilangan Lili lagi."Jangan begini sayang, kumohon. Jangan katakan ini lagi. Terserah kamu mau menghukumku seperti apa. Tapi tolong jangan minta pisah dariku, Li. Maafkan semua kesalahanku. Aku mohon."Kudengar ia pun ikut terisak."Aku mencintaimu, sayang. Aku juga sudah berjanji pada abangmu untuk terus bersamamu. Aku mohon Li, kita jangan bicara seperti itu padaku. Sampai kapanpun kau tetap istriku. Aku tidak akan pernah menceraikanmu."Kuusap butiran bening yang menetes di wajah ayunya, lalu mengecup wajah yang ayu itu berkali-kali. Kalau sampai kehilangan Lili lebih baik aku mati saja. Aku tak rela dia pergi dariku.Aku tahu selama menikah denganku dia selalu terluka. Allah, tolong be

  • Istri Yang Diabaikan   34. Haruskah Bertahan?

    "Yang membakar rumahmu adalah orang suruhan Icha. Maafin mas, Dek. Maafin mas. Mas malu, mas tak pernah menyangka kalau dia bisa bertindak nekat dan jahat seperti itu. Maaf." Bagaikan disambar petir mendengar pengakuan Mas Azzam. Icha, bocah itu ternyata yang sudah menyebabkan kebakaran di rumah? Aku benar-benar tak percaya, dia begitu tega padaku. Dada ini terasa sesak sekali mengetahui kenyataannya. Ya, rasanya seperti disayat oleh sembilu. Ada ya orang yang bersikap tega, padaku dan keluargaku. Sebenarnya aku salah apa? "Maafin mas, Dek. Maaf!" Lagi-lagi Mas Azzam minta maaf. Tubuhnya terguncang saat memelukku. Dia menangis? Entahlah. Mendadak hatiku kosong, seolah mati rasa. *** "Dek, nanti siap-siap ya. Mas udah di-acc untuk pindah ke kantor cabang. Mas juga udah dapat rumah sewa disana." Aku hanya memandangnya sekilas, kubalas ucapannya hanya diam, tanpa kata. "Kenapa mas perhatiin akhir-akh

DMCA.com Protection Status