"Rum, aku mau ngomong ma kamu!" Dina bicara pada Arumi yang sedang sibuk membereskan meja kerjanya. "Iya Din, ngomong aja!" jawab Arumi sambil tetap melakukan pekerjaannya itu. "Em, kita pulang bareng hari ini ya?" ucap Dina. "Aku.." "Nggak bisa lagi?" celetuk Dina seperti sudah tahu jika itu jawaban yang akan Arumi berikan. Arumi menghentikan pekerjaannya, ia menatap Dina, mencoba memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman. "Bukan begitu Din, kemarin-kemarin aku memang sungguh ada urusan, makanya aku nggak bisa pulang bareng kamu" "Terus hari ini gimana?" "E, hari ini.." Arumi berpikir sejenak, sebenarnya hari ini ia dan Prayoga sudah berjanji akan makan bersama setelah Arumi pulang kerja. Ada restoran seafood baru di kota itu, mereka ingin mencoba makanan di restoran baru tersebut. Tapi, jika sekali ini Arumi menolak tawaran Dina, itu akan membuat Dina kian curiga padanya. Arumi jadi bimbang antara menerima atau menolak ajakan Dina, sebab keduanya sama-sam
Beberapa Minggu berlalu. "Gimana Rum, e, maksudku, apa kau menerima permintaan ku?" tanya Prayoga di suatu kesempatan saat ia dengan sengaja datang ke rumah Arumi. Arumi terdiam, bimbang. Sejak kembali lagi, Prayoga terus berusaha mendekati dirinya, ia menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Arumi. Ia juga menunjukkan pada Arumi bahwa ia sudah berubah, ia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. "Rum?" suara lembut Prayoga terdengar memecah keheningan di ruang tamu rumah Arumi. "I-ya Mas?" Arumi tergagap, masih bimbang dia. "Jawab aku Rum, apa kau bersedia?, kau tak harus menjawab hari ini, kalo kau masih butuh waktu untuk berpikir lagi, aku akan berikan. Aku, aku akan kembali menunggu mu, aku rela Rum. Tapi aku mohon, katakan sesuatu padaku!" Prayoga berusaha meyakinkan Arumi, meski itu bukan yang ia inginkan. Sejujurnya, ia ingin secepatnya bisa kembali rujuk dengan Arumi. Arumi menatap Prayoga. Ia sedang berusaha untuk menelusuri mata Prayoga, ia ingin memastikan jika pr
"Sudah ke Dokter?!" tanya seorang wanita separuh baya yang sedang duduk dengan anggun di sebuah sofa. Di hadapan wanita itu, seorang wanita berwajah ayu terduduk dengan wajah pucat, seperti orang yang sedang ketakutan. Sedangkan wanita yang duduk di sofa itu terus menatap tajam ke arah wanita muda itu. “Sudah, Bu” jawab wanita muda itu pelan. Namanya Arumi Syafillah, istri dari anak Bu Melinda, mertuanya yang kini sedang menatapnya setajam silet, Prayoga Harun. "Oh, baguslah kalau begitu!" seloroh Bu Melinda dengan nada bicara yang sinis. Ia menyilangkan satu kakinya di atas kakinya yang lain sebelum kemudian melanjutkan kembali perkataannya. "Jadi, bagaimana hasilnya? Jangan bilang kalau kamu gagal lagi!". Perkataan Bu Melinda membuat Arumi terdiam dan hanya mampu menelan ludah yang rasanya entah mengapa menjadi sangat pahit, padahal saat ini ia sedang tidak sakit. Gestur Arumi membuat Bu Melinda melirik ke arah Arumi dengan ujung mata. Arumi tak berani mengangkat wajah,
Di depan pintu, Arumi jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sembari memandang nanar ke arah mobil Bu Melinda yang dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah. Arumi menatap mobil itu hingga hilang di ujung jalan. Setelah beberapa lama menangis, ia berusaha untuk bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang lemas. "Ibu gak apa, kan?!" sambut seorang wanita paruh baya saat Arumi masuk ke dalam rumah. "Saya tidak kenapa-napa, Mbok." kilah Arumi. Padahal saat ini jantungnya masih berdetak kencang dan air matanya masih saja menetes dengan deras. Di sisi lain, kepalanya juga menjadi pusing setelah mendengar ucapan sang mertua tadi. "Apa perlu saya teleponkan Bapak?!" tanya Mbok Piah, orang yang sudah bekerja menjadi asisten di rumah Arumi sejak hari pertama Arumi dan Prayoga menempati rumah itu. Wanita paruh baya itu sudah paham betul bagaimana kondisi Arumi saat ini. Itulah sebabnya, saat tahu kalau Bu Melinda datang, ia terus mengawasi Arumi dari jauh.
Arumi mondar-mandir di dalam ruang kerjanya di butik. Ia masih kepikiran soal pengakuan mengejutkan Prayoga semalam. Hati Arumi sungguh hancur, ia tak menyangka jika ternyata Prayoga akan setuju dengan ide konyol Bu Melinda untuk menikah lagi. Ketakutan Arumi sepertinya akan benar-benar terwujud. Rumah tangga yang sudah dibangun selama lima tahun, akan segera hancur. Prayoga yang selama ini berjuang bersamanya, kini mulai menyerah dan terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya. "Siapa?!" lamunan Arumi pecah saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk. "Maaf Bu" tampak seorang wanita berdiri di ambang pintu saat pintu dibuka. "Ada apa Ainah?" tanya Arumi pada Ainah, resepsionis di butik milik Arumi. "Ada orang yang datang untuk melamar pekerjaan, sepertinya lowongan yang kita sebar di sosial media sudah dibaca oleh para penggunanya " "Oh begitu, suruh dia masuk!" pinta Arumi sambil melenggang kembali ke meja kerjanya. Untuk sejenak ia harus menepikan urusan rumah tangganya.
Arumi merasa lega karena Selia akhirnya sepakat untuk menerima kontrak pernikahan itu. Dan setelah Selia menandatangani surat itu, Arumi pun langsung mengganjarnya dengan sejumlah uang yang nominalnya cukup besar bagi seorang Selia yang berasal dari keluarga biasa. Seolah sedang berpacu dengan waktu, Arumi pun segera mengajak suaminya untuk pergi ke rumah Bu Melinda, untuk memberitahu tentang kabar itu. "Em, lumayan, cantik dan sepertinya ia juga gadis yang baik" puji Bu Melinda saat Arumi menyodorkan selembar potret yang merupakan potret Selia. Arumi merasa cemburu saat mendengar Bu Melinda memuji Selia, tapi meski demikian ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia harus tetap diam, demi memuluskan rencana yang sudah ia rancang sendiri. "Bagaimana menurutmu Yoga?" Bu Melinda memberikan foto Selia pada Prayoga yang duduk dihadapannya. Prayoga melirik kearah Arumi, seolah hendak meminta izin, tapi Arumi hanya diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau saat ini. "Terserah I
"Yoga?!" suara Bu Melinda terdengar menggelegar seperti petir yang menyambar dikala hujan. "Ada apa Bu?" Prayoga bingung. "Kau ini gimana sih, kau itu Ibu nikahkan dengan Selia agar kau bisa punya anak!" "Kalau kau tetap tidur dengan Arumi, sampe akhir dunia juga kau tetap nggak akan punya anak!" Bu Melinda terlihat sangat marah. Prayoga kaget, ia bingung bagaimana bisa Bu Melinda tahu jika ia semalam tidur dengan Arumi. Pikirannya mulai menerka pasti ada orang yang sudah mengadu pada Bu Melinda. "Apa Arumi yang bilang ke Ibu?" Prayoga menyelidiki. "Ah!, itu nggak penting!. Pokoknya mulai sekarang kau harus lebih sering tidur dengan Selia!" perintah Bu Melinda. "Tapi Arumi juga masih istriku Bu!" protes Prayoga. "Arumi itu sudah lima tahun tidur denganmu, sedang Selia, dia baru satu hari jadi istrimu, jadi kau sekarang harus lebih sering memberi nafkah batin untuk Selia!" Bu Melinda tetap bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi Yoga nggak ingin menyakiti Arumi!" "Yoga, Yoga, ka
"Rum, hari ini aku mau antar Selia ke Dokter, ini jadwalnya pemeriksaan" ucap Prayoga sambil mengganti pakaian seusai mandi. "Tapi hari ini, kan kita sudah sepakat untuk cari lokasi buat perayaan ulang tahunku Mas?" tanya Arumi cemas. "Iya, aku tahu. Tapi ini sudah jadwalnya Selia periksa Rum!" Prayoga mencoba mempertahankan pendapatnya. "Ya, itu bisa nanti, kan setelah kita pulang?, lagian juga paling nggak lama kok" "Ya nggak bisa gitu dong!. Kalau acara ulang tahun itu bisa dirayakan kapan aja, tapi kalau jadwal pemeriksaan, itu nggak bisa di tunda lagi. Kalau hari ini batal, kita harus nunggu jadwal minggu depan" tolak Prayoga. "Kamu bisa cari Dokter lain, kan Mas?" "Nggak semudah itu dong!" "Kenapa?, bukankah di kota ini ada banyak Dokter kandungan yang bagus?" "Iya, itu benar. Tapi sejak awal Selia udah sama Dokter Febbi, jadi kalau sampai ganti Dokter lain, aku khawatir nggak cocok lagi sama Selia" "Hah?!, serius Mas?, se khawatir itu kamu sama Selia?" Arumi m
Beberapa Minggu berlalu. "Gimana Rum, e, maksudku, apa kau menerima permintaan ku?" tanya Prayoga di suatu kesempatan saat ia dengan sengaja datang ke rumah Arumi. Arumi terdiam, bimbang. Sejak kembali lagi, Prayoga terus berusaha mendekati dirinya, ia menggunakan berbagai cara untuk memikat hati Arumi. Ia juga menunjukkan pada Arumi bahwa ia sudah berubah, ia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. "Rum?" suara lembut Prayoga terdengar memecah keheningan di ruang tamu rumah Arumi. "I-ya Mas?" Arumi tergagap, masih bimbang dia. "Jawab aku Rum, apa kau bersedia?, kau tak harus menjawab hari ini, kalo kau masih butuh waktu untuk berpikir lagi, aku akan berikan. Aku, aku akan kembali menunggu mu, aku rela Rum. Tapi aku mohon, katakan sesuatu padaku!" Prayoga berusaha meyakinkan Arumi, meski itu bukan yang ia inginkan. Sejujurnya, ia ingin secepatnya bisa kembali rujuk dengan Arumi. Arumi menatap Prayoga. Ia sedang berusaha untuk menelusuri mata Prayoga, ia ingin memastikan jika pr
"Rum, aku mau ngomong ma kamu!" Dina bicara pada Arumi yang sedang sibuk membereskan meja kerjanya. "Iya Din, ngomong aja!" jawab Arumi sambil tetap melakukan pekerjaannya itu. "Em, kita pulang bareng hari ini ya?" ucap Dina. "Aku.." "Nggak bisa lagi?" celetuk Dina seperti sudah tahu jika itu jawaban yang akan Arumi berikan. Arumi menghentikan pekerjaannya, ia menatap Dina, mencoba memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman. "Bukan begitu Din, kemarin-kemarin aku memang sungguh ada urusan, makanya aku nggak bisa pulang bareng kamu" "Terus hari ini gimana?" "E, hari ini.." Arumi berpikir sejenak, sebenarnya hari ini ia dan Prayoga sudah berjanji akan makan bersama setelah Arumi pulang kerja. Ada restoran seafood baru di kota itu, mereka ingin mencoba makanan di restoran baru tersebut. Tapi, jika sekali ini Arumi menolak tawaran Dina, itu akan membuat Dina kian curiga padanya. Arumi jadi bimbang antara menerima atau menolak ajakan Dina, sebab keduanya sama-sam
"Maaf Bu, ada urusan apa mereka kemari?" Mbok Piah bertanya sambil membereskan meja makan sisa menjamu Bu Melinda dan Prayoga beberapa saat lalu, sebelum mereka pergi. "E, nggak ada Mbok, mereka cuma datang untuk minta maaf" jawab Arumi berdusta. "Lalu Ibu maafkan?" lanjut Mbok Piah seperti tak rela jika orang-orang yang sudah menyakiti Arumi itu kembali datang dalam hidup Arumi. "Apa boleh buat Mbok" "Tapi Bu, mereka sudah menyakiti Ibu, maaf kalo sara lancang, hanya saja, saya merasa itu tak adil untuk Ibu" Mbok Piah terbawa suasana di dalam hatinya, ia sungguh menyayangkan sikap Arumi yang masih mau memaafkan orang-orang itu. Entahlah, apa yang menjadi pertimbangan Arumi hingga ia bisa menerima lagi mereka, meski sudah jelas bahwa mereka lah yang membuat hidup Arumi berantakan. "Mbok nggak usah cemas, aku bisa atasi semua" Arumi bangkit dari kursinya dan bergegas pergi. Sedang Mbok Piah entah mengapa merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arumi. Dia tak yakin jika kedatan
Arumi tertegun saat membuka pintu. Meski ia sudah tahu siapa orang yang datang. Kedua bola matanya terbelalak menyapa dua orang yang berdiri dihadapannya. "Arumi, maafkan Ibu sayang!" "Ngngng!!" tangus Bu Melinda pecah saat melihat Arumi, ia serta merta menghambur ke arah Arumi dan memeluknya erat. "Maafkan Ibu, Ibu udah menyakitimu selama ini, Ibu menyesal Arumi!" ucap Bu Melinda disela tangisnya yang menjadi. Entah itu sungguh tangis penyesalan seperti kalimat yang keluar dari bibirnya, atau itu salah satu siasat agar hati Arumi luluh, yang jelas ternyata hal itu sanggup mengguncang batin Arumi. Mata Arumi jadi berat, ia seperti terbawa suasana haru yang diciptakan oleh Bu Melinda saat ini. Cacian dan hujatan yang selama ini ia terima dari wanita perlente itu seketika terlupakan begitu saja. Hati Arumi yang memang lembut dan baik itu, tak sanggup menahan gempuran kesedihan yang dipertontonkan oleh mantan mertuanya itu. "E, I-ibu ja-ngan begitu!" ucap Arumi terbatas sambil b
Arumi melangkah keluar dari taksi dengan kaki yang gemetar. Ia masih tak percaya jika hari ini ia bertemu dengan Prayoga, pria yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku, aku menyesal Rum, aku sadar, kalo hanya kau wanita yang aku cintai" "Jika masih mungkin, aku ingin kembali seperti dulu, Rum" kalimat yang di ucapkan Prayoga itu, kini kembali terngiang-ngiang di telinga Arumi, membuat sekujur tubuh Arumi lemas. Entahlah, ia kini harus merasa senang, atau justru sebaliknya, takut. "Ibu udah pulang?" Mbok Piah menyambut Arumi di ambang pintu. "Bu?" Mbok Piah bingung karena Arumi tak menjawab, ia malah terlihat bengong seperti orang yang bingung. "Ibu sakit?" tanya Mbok Piah sambil menghampiri Arumi yang berdiri di depan pintu. "Bu?!" "Iya, Iya, a-da apa?!" Arumi tergagap. "Loh Mbok, ngapain disini?!" tanya Arumi sambil menatap aneh pada Mbok Piah. "Lah, saya, kan kerja disini" jawab Mbok Piah bingung. "Kerja?, sejak kapan?" tanya Arumi lagi. Mbok Piah garuk-garuk kepala, tak
"Rum, pulang bareng yuk!, kita, ksn udah lama nggak makan diluar" Dina menghampiri Arumi yang sedang bersiap untuk pulang. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. "Maaf, kayaknya hari ini aku belum bisa Din" tolak Arumi sambil memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas. Dina memicingkan matanya, merasa aneh dengan penolakan dari Arumi itu. Arumi yang kemudian sadar sudah membuat Dina tak enak, buru-buru meralat ucapannya. "Mak-sud ku, hari ini aku ada urusan penting setelah pulang nanti, jadi gimana kalo besok aja?" tanya Arumi, mencoba mengembalikan rasa nyaman Dina. Dina memajukan bibirnya, meluapkan rasa kecewa. "Please Din!" Arumi menatap Dina dengan tatapan penuh iba. "Iya, iya, terserah kamu. Ya udah, aku antar aja ya?" "Oh, nggak usah, a-aku pulang sendiri aja!" lagi dan lagi Arumi menolak tawaran Dina. Dina yang semula merasa biasa saja, kini dibuat curiga lagi dengan sikap Arumi yang agak aneh itu. "kamu nggak apa-apa?" tanya Dina cemas. "Yah, aku baik, nggak apa-ap
Selia menangis sejadinya, ia tak menduga jika Prayoga akan berbuat kejam padanya. Tanpa memikirkan sedikitpun kondisi Selia yang masih lemah paska operasi, ia mengusir Selia dari rumahnya. "Jangan pernah kau kembali lagi dalam hidupku!" hardik Prayoga sambil melemparkan koper yang berisi barang-barang milik Selia. "Mas Yoga!" Selia mengiba, mengharap belas kasihan dari pria yang selama ini ia kenal sebagai pria yang lembut dan baik. "Oh iya, ini uangmu, pergilah dan jangan kembali!" Prayoga kemudian juga melempar amplop tebal berisi uang yang jumlahnya miliaran. Uang itu ia berikan sebagai kompensasi atas hilangnya rahim Selia, dan juga sekaligus sebagai uang tutup mulut agar Selia tak bicara pada siapapun tentang pernikahan kontrak mereka. Selia menatap nanar barang-barang yang dilempar dihadapannya itu, batinnya menjerit, rasa sakit hati yang begitu luar biasa kini ia rasakan, di saat seperti ini, terlintas juga rasa sesal karena sudah menerima tawaran Arumi dulu tanpa berpikir
"Sepertinya kau sudah ingat apa posisimu di rumah ini" ucap Prayoga santai, ia terlihat tak merasa bersimpati sedikitpun pada Selia. Setelah ia kehilangan anak dan rahimnya, Prayoga mencampakkan wanita itu begitu saja. Jangankan mengucapkan maaf, bahkan ucapan terimakasih karena sudah mau mengandung anaknya selama sembilan bulan ini pun tak terlontar dari mulutnya. Selia melotot pada Prayoga, ia sangat marah pada pria yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kalo kau sudah ingat, lebih baik kau segera kemasi barangmu, dan pulanglah ke rumah mu" lanjut Prayoga. "Kau benar Nak, Selia kau memang sebaiknya cepat pergi dari rumah ini, jangan sampe tetangga nanti bergunjing tentang kau dan Yoga" Bu Melinda ikut menimpali dengan kalimat provokasinya yang membuat suasana kian rumit. "Nggak, aku nggak mau pergi!" tolak Selia mentah-mentah. "Hei, ada apa denganmu?, kontrak kita sudah selesai, sesuai kesepakatan yang tertulis disitu, jika kau sudah melahirkan maka kita akan berpisah!" Prayog
"Ini ada apa sih, kok pada ribut?!" Prayoga yang baru pulang dari kantor terkejut saat mendengar suara gaduh dari dalam rumah, dan saat ia mencari sumber suara gaduh itu ternyata berasal dari kamarnya, di sana ada Selia dan Bu Melinda yang sedang saling serang dengan ucapan-ucapan pedas mereka. Selia dan Bu Melinda terhenti sejenak dari pertengkaran mereka saat mengetahui ada yang datang. "Untung kau pulang Yoga, lihat kelakuan wanita ini!" Bu Melinda langsung menghampiri Prayoga yang masih berdiri di tengah pintu. "Mas, kau harus jelaskan pada Ibumu ini bahwa kita saling mencintai, kita akan menjadi pasangan selamanya, ayo Mas jelaskan!" Selia tak ingin kalah dari Bu Melinda, ia juga meminta dukungan Prayoga. "Cihh!!" "Kau pikir anakku akan mencintai perempuan payah sepertimu?!, jangan mimpi kau!. Anakku Prayoga Harun, dia pria berkelas, mana mungkin dia mencintai wanita kelas bawah macam kau ini!" umpat Bu Melinda sambil tersenyum sinis. Mendengar ucapan Bu Melinda hati Selia