"Elena, keluarlah, ini sudah waktunya makan siang. Kau tidak boleh diam di kamar tanpa makan."Marcell mengetuk pintu kamar Elena dengan agak keras. Dia membawa nampan berisi makan siang untuk wanita itu. Menantikan jawabannya. Sampai beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka dan terlihatlah Elena. "Kak Marcell.""Aku membawakan makan siang untukmu. Bolehkah aku masuk?"Elena hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Perasaannya masih begitu buruk. Elena juga merasa agak pusing, hingga saat masuk kembali, dia duduk di pinggir ranjang. Menatap Marcell yang meletakkannya meja di depannya dengan makanannya. "Makanlah, kau tidak keluar dari tadi.""Hmm, terima kasih." Elena mengangguk dan mengambil makanan yang dibawakan oleh Marcell. Dia langsung menyantapnya. "Tapi, Kak, Kakak tidak perlu melakukan ini. Aku tidak mau merepotkan.""Apanya yang merepotkan? Aku ini Kakak sepupumu dan aku sangat mengkhawatirkanmu."Elena tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kak Marcell jangan khaw
Pagi hari berikutnya. Elena yang mengawali hari keduanya bersama Marcell, pagi ini tiba-tiba membuat kegaduhan ketika dia muntah-muntah di kamar mandi. Suaranya yang cukup keras, terdengar oleh Marcell yang memiliki kamar tepat di sebelah Elena. Hingga tanpa basa-basi, pria itu dengan cepat langsung menuju pintu kamar Elena dan mengetuknya. "Elena? Elena kau tidak apa-apa? Bolehkah aku masuk?"Elena yang berada di kamar mandi, bisa mendengar ketukan pintu dan suara Marcell. Namun karena Elena masih terus muntah-muntah, dia jadi mengabaikan semua itu. Elena berusaha menenangkan diri dan memegang wastafel. Tubuhnya terasa lemas dan dia muntah tanpa sebab. Tidur paginya juga terganggu karena ini. Elena yakin, ini bukan keracunan makanan, karena dia bahkan belum makan sedikit pun dan hanya cairan yang keluar. Apa yang terjadi dengannya? Tok-tok-tok. "Elena? Kau mendengarku? Buka pintunya atau aku akan mendobraknya sekarang."Suara Marcell terdengar semakin cemas saat Elena tidak kunj
"Aku sering berhubungan dengan Darryl," ucap Elena sambil menatap serius kakak sepupunya. Setelah pemeriksaan di rumah sakit, yang diketahui jika dia memang hamil, Elena tidak bisa merasa senang atau sedih. Termasuk Marcell sendiri. Elena menyadari kakak sepupunya sangat syok, bahkan tidak berkata apa pun sepanjang perjalanan pulang mereka. Kini, detik ini, di ruang tengah yang sederhana dan dengan saling berhadapan, Elena akan menceritakan semuanya. Sesuai dengan janjinya pada Marcell. "A-apa? Kau sering—""Maafkan aku. Aku tahu itu salah, Kak."Kepala Elena tertunduk. Dia merasa sedih saat melihat tatapan tak percaya dari Marcell. Namun di sisi lain, dia juga tidak bisa menampik kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa dia dan Darryl memang sering melakukannya. Jadi kehamilan ini, bukanlah sesuatu yang aneh. "Kenapa?"Marcell mendesis dan refleks memegang kepalanya yang berdenyut. Dia menggelengkan kepalanya, tidak mau percaya dengan kenyataan yang menyakitkan itu. Berhubungan
"Yah, kapan Ayah bawa Tante Elena kembali? Apa masih belum ketemu?"Darryl baru saja pulang kantor dan sedang berbaring di ranjang kamarnya, saat dia mendengar suara sang anak serta kemunculannya tiba-tiba. Membuat perhatiannya teralihkan. "Ezekiel."Ezekiel mendekat dan berdiri di samping Darryl. Wajahnya tampak masih murung, walau kali ini, dia terlihat lebih tenang dan tidak mengurung diri di kamar lagi. "Ayah, Iel mau Tante Elena kembali.""Kemarilah!"Darryl mengulurkan tangannya sembari mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menarik putra satu-satunya untuk duduk di sebelahnya dan mengusap lembut kepalanya. Rasa lelah dan pusing yang dirasakannya setelah menghilangnya Elena dan pekerjaan yang menumpuk, tidak membuatnya mengabaikan sang anak. Darryl teringat kata-kata Elena yang selalu menyuruhnya memberi perhatian pada Ezekiel. "Tante Elena pasti akan kembali. Ayah sudah berusaha. Jadi tolong tunggulah. Beri Ayah waktu.""Berapa lama, Ayah? Memangnya sulit, ya? Bukannya Tante Ka
Satu minggu berlalu. "Apa belum ada kabar soal Elena?"Darryl meletakkan gelas whisky miliknya tanpa minat dan menatap lekat Mike. Dia sekarang sedang berada di kasino. Tepatnya di ruangan miliknya. Sudah hampir satu minggu sejak Elena pergi meninggalkan rumah sampai dengan hari ini, kabar baik belum kunjung datang. Darryl tidak tahu ke mana wanita itu pergi. "Belum, sulit mencarinya. Sepertinya ada yang menyembunyikannya."Darryl mendesah kesal mendengar jawaban dari Mike. Seseorang yang menyembunyikannya? Siapa? Apakah itu Kathleen? Tapi tidak mungkin, wanita itu tidak mungkin menyembunyikannya setelah mencoba membunuh Elena. Darryl berpikir keras tentang siapa yang menyembunyikan Elena, sampai dia kemudian menyadari sesuatu. Sebuah nama yang hampir dilupakannya. "Marcell. Sialan!""Marcell? Ada apa dengannya?" tanya Mike yang penasaran. "Aku melupakan dia. Aku baru ingat kalau sebelumnya orang yang kuperintahkan mengikutinya diserang seseorang dan terluka. Aku belum menyelidiki
Darryl sedang duduk di meja kerjanya. Namun hari ini, dia tidak bisa fokus bekerja sejak tadi pagi. Darryl banyak melamun sambil sesekali menghela napas kasar memikirkan soal Elena. Wanita yang menghilang dan membuatnya resah bukan main. Darryl pikir, dia akan lebih baik, tapi ternyata semakin hari, dia semakin tidak tenang. Apalagi memikirkan Elena yang mungkin saja bersama dengan Marcell. Pria itu pasti mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Bagaimana jika Elena berhasil dirayunya? "Sialan, tidak, tenanglah. Aku bukan orang yang seperti ini." Darryl mencoba menenangkan diri. Meski dia mencintai Elena, tapi tidak seharusnya perasaannya itu mengalahkan akal sehatnya. Saat kematian istrinya saja, dia masih bisa berpikir tenang. Walau dia benar-benar berduka. Darryl mencoba melakukan hal yang sama dan fokus pada pekerjaannya. Dia meyakinkan dirinya jika Mike akan mengatasi semuanya tanpa masalah dan menemukan keberadaan Elena secepatnya. Namun saat dia mencoba sekuat tenaga untuk fokus,
"Sialan, sialan. Kak Darryl benar-benar menjauhiku."Kathleen mengumpat saat mobilnya tiba di rumah. Dia keluar sambil membanting pintu mobilnya dengan emosi. Meluapkan rasa kesalnya karena Darryl tidak mengangkat panggilannya. Di rumah, Kathleen juga menyadari mobil milik pria itu tidak ada. Sepertinya Darryl belum pulang. Kathleen hanya berdecak dan masuk ke dalam dengan sedikit menghentakkan kakinya. Dia berusaha sabar, walau wajahnya tampak ditekuk. Pun begitu dirinya melewati ruang tengah di mana terlihat Ezekiel yang duduk. Dia ingin mengabaikan anak itu, tapi karena penasaran soal Darryl, Kathleen pun berhenti sejenak dan menghampiri Ezekiel. Dia duduk di sebelahnya. "Hei, sedang apa, Ezekiel?" tanyanya dengan ramah. "Ayahmu belum pulang, ya?""Belum, Tante. Kayaknya Ayah pulang terlambat. Kenapa memangnya?""Tidak, Tante hanya bertanya. Tadinya Tante mau ajak kamu jalan-jalan sama sekalian Ayahmu juga.""Jalan-jalan?" Ezekiel menatap Kathleen dengan alis berkerut. "Ya, sepe
"Sialan! Kenapa aku mengatakan itu? Dasar bodoh!"Kathleen berjalan mondar-mandir di kamarnya. Dia mengutuk mulutnya yang asal bicara di depan Darryl. Gara-gara panik hendak diusir, dia sampai meluapkan semua perasaannya, termasuk perasaan bencinya pada saudaranya sendiri. Sekarang, bukannya mendapatkan Darryl, pria itu akan lebih sulit didekati. Kathleen kesal dan marah pada dirinya sendiri. Namun saat dia sedang sibuk menyalahkan dirinya sendiri, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah nomor tak dikenal, membuatnya terdiam dan mengernyit. Dia tidak langsung mengangkatnya dan memikirkan siapa yang menghubunginya. "Siapa ini? Marcell?" tebak Kathleen sambil mengerutkan keningnya. Beberapa hari lalu dia mendapat protes dari Marcell soal niatnya membunuh Elena, tapi dia langsung memblokir nomor pria itu. Apa sekarang Marcell mencoba menghubunginya lagi? Kathleen yang penasaran, akhirnya mengangkat panggil tersebut. "Marcell? Apa lagi yang kau—""Bos, ini saya."Kalimat Kathleen terhenti
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel