Esok harinya. Elena berjalan-jalan menuju pintu keluar saat semua sedang sibuk dan Ezekiel sedang tidur siang. Dia ingin tahu, di mana sebenarnya lokasi rumah ini. Namun sebelum keluar, dia berjalan mendekati jendela untuk melihat apakah ada banyak orang yang berjaga atau tidak. Walau pun dia tidak mungkin bisa melihat seluruhnya. Perlahan, Elena mulai membuka tirai dan mengintip. Dia melihat ada beberapa orang pria di pelataran. Sepertinya perkataan Emma benar. Ada sekitar lima orang asing di depan rumah milik Darryl, belum termasuk dua security. Ini sungguh keterlaluan. Begitu takutkah Darryl jika dia melarikan diri sampai meminta banyak orang untuk berjaga? "Sial, aku tidak bisa melihat di mana ini dari sini, tapi aku tidak bisa keluar. Apa yang harus kulakukan?" Elena bergumam sendiri sambil terus mengamati situasi di luar. Dia begitu fokus sambil tiba-tiba, sebuah tepukan di pundaknya membuat dia terkejut bukan main. "Aakhh!""Nona pengasuh? Apa yang Anda lakukan?""Emma!" jer
"Akhirnya selesai juga ...."Elena menatap bathtub yang kini sudah dipenuhi air hangat untuk Darryl berendam. Dia juga sudah melarutkan sabun ke dalamnya. Tugasnya telah selesai dan Elena pun keluar dari sana untuk pergi. Dia berjalan menuju ke arah ranjang di mana ternyata Darryl berbaring. Mata pria itu terpejam. "Tuan? Air hangatnya sudah siap." Elena mencoba memberitahunya, tapi justru Darryl tetap menutup matanya. Tidak mungkin pria ini tertidur setelah memintanya menyiapkan air hangat? "Tuan!"Tetap tidak ada reaksi, Darryl tetap terlelap dengan tubuh terlentang. Pria itu tampak begitu damai, membuat Elena secara tak sadar mengamatinya. Menatap bagaimana Darryl tidur. Pria itu lebih tampan dan lembut saat ini. Rasanya tidak ada kesan menakutkan sama sekali sekarang. Darryl layaknya seperti seorang ayah. Elena berkedip dan menelusuri tubuh pria itu tanpa sadar. Dia sedikit tersentak dan malu saat melihat tubuh besar di hadapannya. Darryl setengah telanjang dan keringat tampak t
Tok-tok-tok. "Ayah, ini Iel."Suara ketukan pintu disertai suara Ezekiel terdengar di baliknya. Mengalihkan perhatian Darryl untuk sejenak dari kesibukannya. Dia meletakkan kertas yang tengah diperiksanya ke meja dan menyingkirkan kacamatanya, sebelum kemudian menyahut, "Masuklah."Pintu berderit pelan dan terbuka. Ezekiel muncul dengan wajah tenangnya dan melangkah masuk, dia berjalan mendekati Darryl yang tengah duduk di sofa. Lalu dengan tenangnya, duduk berhadapan dengan sang ayah. "Kamu sedikit terlambat, Ayah kira kamu tidak akan ke sini." Darryl berdiri dan berjalan mendekati meja kerjanya untuk mengambil sesuatu yang akan diberikan pada anaknya. "Iel tadi tenangin Tante dulu. Kasihan, Tante malu gara-gara Iel."Darryl mendengkus dan menyunggingkan senyum tipis. "Kamu menikmatinya. Bermain-main dengannya sepertinya menyenangkan."Ezekiel tampak sangat tenang dengan ucapan ayahnya. Pun saat sang ayah itu memberikannya sebuah paper bag. Dia hanya mengintip barang di dalamnya t
"Jadi pria yang membuat kekacauan itu adalah sepupunya?"Darryl terdiam dan mendengarkan dengan saksama laporan dari orangnya melalui telepon. Ini benar-benar hal yang tak terduga dan juga menarik. Pria itu memiliki nyali yang besar untuk bertemu dengannya. "Baiklah, untuk sekarang abaikan saja dia, tapi jika datang kembali ke tempatku, pastikan untuk tidak mengalihkan pandanganmu."Panggilan berakhir. Darryl mematikan panggilan tersebut dan menyimpan ponselnya kembali di meja yang tak jauh dari sana. Sementara dirinya yang baru saja selesai melakukan gym dan melatih ototnya, langsung mengambil air minumnya. Darryl duduk di kursi sambil mengusap keringatnya di wajahnya. Dia menatap alat-alat berat miliknya yang selalu digunakan untuk latihan setiap akhir pekan. Di sana Darryl berniat istirahat sebentar, tapi sayangnya suara tawa cukup keras mengganggunya. Membuat Darryl refleks mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang menghadap langsung ke taman. Hingga terlihatlah, suara itu te
Tiga hari berlalu, Elena mulai sedikit senang setelah mendengar kabar Darryl tentang sepupunya. Bagaimana pun, sekeras apa pun dia memikirkan cara untuk melarikan diri, dia masih belum mendapatkannya. Kemarin saja, dirinya hampir ketahuan saat hendak mengintip ke luar tembok dengan menggunakan tangga darurat. Hanya Marcell harapannya, walau dia juga tidak boleh menyerah di sini. "Elena, sepertinya kamu terlihat senang hari ini. Berbeda dari yang terakhir kali." Sebuah suara menegurnya. Elena yang sedang tersenyum sendiri memikirkan Marcell, seketika menoleh dan menatap Siena. Guru Ezekiel. Dua kali pertemuan mereka sebelumnya, telah membuat mereka menjadi sedikit lebih dekat. "Benarkah?""Iya, apa Tuan Darryl melakukan sesuatu?""Tidak, bukan itu." Elena menatap ragu wanita itu. Dia tidak tahu sejauh mana Siena tahu soal dirinya di sini, tapi dia perlu hati-hati. "Aku hanya sedang senang saja.""Kupikir Tuan Darryl melakukan sesuatu. Sebenarnya aku sangat terkejut saat melihatmu di
"Apa Anda kalah lagi?"Seorang pria mendekat dan tersenyum ke arahnya, tepat saat Marcell kalah berjudi. Layar permainan di depan Marcell menunjukkan kekalahannya. Namun yang jelas, kekalahan itu disengaja olehnya. Marcell telah menghabiskan sekitar dua juta uangnya untuk ini. Dia juga tentu tidak akan menyia-nyiakan uangnya yang lenyap begitu saja. Bibirnya tersenyum lembut membalas pertanyaan tersebut. "Ya, seperti yang kau lihat. Aku tidak beruntung hari ini. Uangku habis.""Malam masih panjang, apakah Anda akan menyerah secepat ini?"Marcell tersenyum dan mengedikkan kedua bahunya. "Sayang sekali, aku juga ingin memainkan permainan lain, tapi tidak ada lagi yang bisa dipertaruhkan.""Anda ingin mencoba permainan lain? Mungkin saya bisa membantu."Tertangkap. Marcell berusaha menyembunyikan senyum puasnya mendengar ucapan pria yang berada dekat dengannya. Dia tidak tahu apakah pria itu tahu dia pernah datang dan membuat kekacauan atau tidak. Namun yang jelas, ini adalah kesempata
Suara mesin mobil berhenti tepat pada tengah malam. Darryl memasukkan mobilnya ke dalam garasi dan keluar sambil mengusap kasar wajahnya. Dia melangkah masuk ke dalam rumah yang dalam keadaan sepi. Lampu juga masih menyala sebagian, tepatnya di ruang tengah. Hingga menyorot ke arah tangga. Darryl yang melihatnya lantas berjalan menuju lantai atas sambil mengandalkan cahaya lampu di ruang tengah. Dia berjalan hati-hati menuju kamarnya. Kamar Darryl berada di ujung dan sekarang dia ada di arah berlawanan, berada dekat kamar anaknya serta Elena. Sebelum berjalan menuju kamarnya, Darryl yang penasaran mendekati kamar Ezekiel dan membuka pintunya pelan-pelan. Lampu tidur menyala dan di ranjang terlihat sangat anak yang sedang terlelap. Perasaan Darryl sedikit tenang setiap kali melihat anaknya. Dia duduk sebentar sambil mengelus lembut puncak kepala Ezekiel. Darryl tersenyum membayangkan bagaimana anaknya saat besar nanti. Entah Ezekiel akan mirip istrinya atau lebih kepada dirinya. Namu
"Sialan! Darryl kau berengsek!"Elena mengumpat dan menatap langit-langit ruangan di mana dirinya tertidur. Dia tahu hari sudah berganti, tapi tidak ada cahaya matahari yang menerobos masuk sekarang. Semuanya hanya mengandalkan lampu sebagai penerangan. Sayangnya, cahayanya di sini tidak seterang di kamarnya. Ruang penyiksaan ini benar-benar pengap baginya. Elena ingin melarikan diri, tapi borgol itu membuatnya hanya bisa duduk dan terbaring di ranjang. Dia bahkan tidak bisa menjauh beberapa langkah dari ranjang. Pria itu mengekangnya.Ini semua gara-gara kecerobohannya kemarin. Elena merasa kesal dan menyesal karena bertindak tergesa-gesa. Harusnya dia melihat 'moment' yang tepat untuk melarikan diri, bukannya saat Darryl masih ada di sana dia kabur. "Aargghh! Sialan, aku ingin keluar ...."Elena putus asa. Tangannya yang diborgol kini kesakitan karena dia yang tidak bisa bergerak memaksakan diri untuk menarik borgolnya. Sepertinya borgol itu akan membuat lecet pergelangan tangannya.
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel