"Makan dan minumlah, Elena."Marcell menyodorkan sepiring makanan dan gelas minum di meja, tepat di depan mata Elena. Lalu dirinya ikut bergabung dan duduk tepat di sebelahnya dengan makanan yang sama. Marcell sesekali mengamati ekspresi wajah Elena yang pagi ini terlihat seperti banyak pikiran. Lalu perhatiannya tertuju pada lengan Elena yang terluka dan sudah dibalut olehnya. Tanpa sadar, Marcell menyentuh lengan Elena dan membuat wanita itu tersentak kaget. "Maafkan aku. Apa lukanya masih sakit?""Tidak, Kak, aku sudah baik-baik saja. Ini tidak sakit.""Sungguh? Aku sangat mengkhawatirkanmu, Elena. Kau terlihat pucat." Marcell mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Elena dengan lembut. Dia menunjukkan kekhawatirannya. Elena membiarkannya dan hanya tersenyum. "Terima kasih, tapi aku baik-baik saja.""Baiklah, makanlah dulu kalau begitu. Kita akan bicara setelah ini."Elena hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Dia juga langsung menyantap sarapan paginya dalam keheningan. Sama sep
Di rumah Darryl, Ezekiel siang ini masih menangis di kamarnya setelah kepergian Elena. Dia tidak mau keluar meski dibujuk Emma maupun Kathleen. Ayahnya sudah dihubungi dan berkata akan segera pulang, tapi itu tidak membuat Ezekiel langsung tenang. Dia tetap berbaring di ranjang sambil memegang foto ibunya. "Bunda, Tante Elena sudah pergi. Tante Elena meninggalkan Iel. Gimana ini, Bunda? Iel sedih sekali. Iel mau Tante Elena," ucapnya pada foto Kayleen yang berada dalam pigura. Air matanya tampak menetes. Menangisi dirinya yang kehilangan sosok Elena. "Iel kesepian."Ezekiel terus menangis sampai hidungnya terlihat memerah. Namun tentu dia tidak akan menyerah. Dia akan meminta ayahnya untuk mencari Elena dan membawanya kembali. Ezekiel tidak peduli bagaimana caranya. Sampai setelah puas menangis, Ezekiel mendengar ketukan di pintu kamarnya. "Tuan Muda, ini sudah waktunya makan siang. Ayo turun, Tuan Muda. Anda tidak boleh mengurung diri terus."Itu adalah suara Emma. Ezekiel mengusap
"Sepertinya Elena tidak mau menikah denganmu, Kak," ucap Kathleen pada Darryl yang kini membaca surat yang ditinggalkan Elena untuk Ezekiel. Mereka saat ini sedang duduk di ruang tengah dengan raut wajah Darryl yang begitu kusut. Kathleen tersenyum saat menyadari pria itu marah. Dia puas. "Bagaimana dia bisa melarikan diri?" Tanya Darryl sambil meremas kertas di tangannya, lalu dia menatap Emma yang kini berdiri di depannya. "Kau ... bagaimana bisa kau membiarkannya keluar? Bukankah aku sudah memberikan kunci rumah ini padamu?""Maafkan saya, Tuan, saya tidak tahu bagaimana Nona Elena pergi. Saya juga sudah mengunci semua pintunya." Emma tertunduk penuh rasa takut. Dia merasa tidak nyaman dan khawatir akan dihukum. Emma sendiri bingung bagaimana caranya Elena melarikan diri. Sampai akhirnya dia teringat sesuatu dan refleks melirik Kathleen. "Tapi, Tuan, sebenarnya kuncinya itu ....""Kenapa kuncinya?""Anu, Tuan, semalam Nona Kathleen sempat meminjam kunci dari saya. ""Apa?" Darryl
"Elena, keluarlah, ini sudah waktunya makan siang. Kau tidak boleh diam di kamar tanpa makan."Marcell mengetuk pintu kamar Elena dengan agak keras. Dia membawa nampan berisi makan siang untuk wanita itu. Menantikan jawabannya. Sampai beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka dan terlihatlah Elena. "Kak Marcell.""Aku membawakan makan siang untukmu. Bolehkah aku masuk?"Elena hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Perasaannya masih begitu buruk. Elena juga merasa agak pusing, hingga saat masuk kembali, dia duduk di pinggir ranjang. Menatap Marcell yang meletakkannya meja di depannya dengan makanannya. "Makanlah, kau tidak keluar dari tadi.""Hmm, terima kasih." Elena mengangguk dan mengambil makanan yang dibawakan oleh Marcell. Dia langsung menyantapnya. "Tapi, Kak, Kakak tidak perlu melakukan ini. Aku tidak mau merepotkan.""Apanya yang merepotkan? Aku ini Kakak sepupumu dan aku sangat mengkhawatirkanmu."Elena tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kak Marcell jangan khaw
Pagi hari berikutnya. Elena yang mengawali hari keduanya bersama Marcell, pagi ini tiba-tiba membuat kegaduhan ketika dia muntah-muntah di kamar mandi. Suaranya yang cukup keras, terdengar oleh Marcell yang memiliki kamar tepat di sebelah Elena. Hingga tanpa basa-basi, pria itu dengan cepat langsung menuju pintu kamar Elena dan mengetuknya. "Elena? Elena kau tidak apa-apa? Bolehkah aku masuk?"Elena yang berada di kamar mandi, bisa mendengar ketukan pintu dan suara Marcell. Namun karena Elena masih terus muntah-muntah, dia jadi mengabaikan semua itu. Elena berusaha menenangkan diri dan memegang wastafel. Tubuhnya terasa lemas dan dia muntah tanpa sebab. Tidur paginya juga terganggu karena ini. Elena yakin, ini bukan keracunan makanan, karena dia bahkan belum makan sedikit pun dan hanya cairan yang keluar. Apa yang terjadi dengannya? Tok-tok-tok. "Elena? Kau mendengarku? Buka pintunya atau aku akan mendobraknya sekarang."Suara Marcell terdengar semakin cemas saat Elena tidak kunj
"Aku sering berhubungan dengan Darryl," ucap Elena sambil menatap serius kakak sepupunya. Setelah pemeriksaan di rumah sakit, yang diketahui jika dia memang hamil, Elena tidak bisa merasa senang atau sedih. Termasuk Marcell sendiri. Elena menyadari kakak sepupunya sangat syok, bahkan tidak berkata apa pun sepanjang perjalanan pulang mereka. Kini, detik ini, di ruang tengah yang sederhana dan dengan saling berhadapan, Elena akan menceritakan semuanya. Sesuai dengan janjinya pada Marcell. "A-apa? Kau sering—""Maafkan aku. Aku tahu itu salah, Kak."Kepala Elena tertunduk. Dia merasa sedih saat melihat tatapan tak percaya dari Marcell. Namun di sisi lain, dia juga tidak bisa menampik kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa dia dan Darryl memang sering melakukannya. Jadi kehamilan ini, bukanlah sesuatu yang aneh. "Kenapa?"Marcell mendesis dan refleks memegang kepalanya yang berdenyut. Dia menggelengkan kepalanya, tidak mau percaya dengan kenyataan yang menyakitkan itu. Berhubungan
"Yah, kapan Ayah bawa Tante Elena kembali? Apa masih belum ketemu?"Darryl baru saja pulang kantor dan sedang berbaring di ranjang kamarnya, saat dia mendengar suara sang anak serta kemunculannya tiba-tiba. Membuat perhatiannya teralihkan. "Ezekiel."Ezekiel mendekat dan berdiri di samping Darryl. Wajahnya tampak masih murung, walau kali ini, dia terlihat lebih tenang dan tidak mengurung diri di kamar lagi. "Ayah, Iel mau Tante Elena kembali.""Kemarilah!"Darryl mengulurkan tangannya sembari mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menarik putra satu-satunya untuk duduk di sebelahnya dan mengusap lembut kepalanya. Rasa lelah dan pusing yang dirasakannya setelah menghilangnya Elena dan pekerjaan yang menumpuk, tidak membuatnya mengabaikan sang anak. Darryl teringat kata-kata Elena yang selalu menyuruhnya memberi perhatian pada Ezekiel. "Tante Elena pasti akan kembali. Ayah sudah berusaha. Jadi tolong tunggulah. Beri Ayah waktu.""Berapa lama, Ayah? Memangnya sulit, ya? Bukannya Tante Ka
Satu minggu berlalu. "Apa belum ada kabar soal Elena?"Darryl meletakkan gelas whisky miliknya tanpa minat dan menatap lekat Mike. Dia sekarang sedang berada di kasino. Tepatnya di ruangan miliknya. Sudah hampir satu minggu sejak Elena pergi meninggalkan rumah sampai dengan hari ini, kabar baik belum kunjung datang. Darryl tidak tahu ke mana wanita itu pergi. "Belum, sulit mencarinya. Sepertinya ada yang menyembunyikannya."Darryl mendesah kesal mendengar jawaban dari Mike. Seseorang yang menyembunyikannya? Siapa? Apakah itu Kathleen? Tapi tidak mungkin, wanita itu tidak mungkin menyembunyikannya setelah mencoba membunuh Elena. Darryl berpikir keras tentang siapa yang menyembunyikan Elena, sampai dia kemudian menyadari sesuatu. Sebuah nama yang hampir dilupakannya. "Marcell. Sialan!""Marcell? Ada apa dengannya?" tanya Mike yang penasaran. "Aku melupakan dia. Aku baru ingat kalau sebelumnya orang yang kuperintahkan mengikutinya diserang seseorang dan terluka. Aku belum menyelidiki