"Jaga dirimu dan kuharap, saat aku kembali, kau sudah menyiapkan jawabannya."Elena terdiam dan menatap gugup Darryl yang menyentuh pipinya. Dia sampai menahan napas karena ucapan pria itu yang terdengar seperti sebuah ancaman. Meski Darryl berkata begitu lembut dan tersenyum kecil. Apa pria itu berpikir bisa menekannya dengan cara seperti ini? Jika iya, maka itu adalah benar. Elena sangat tertekan sekarang, tapi bukan oleh Darryl, melainkan oleh wanita yang berdiri di sebelahnya. Kathleen. Elena bisa merasakan tubuh bagian kanannya panas. Melalui sudut mata, dia bisa melihat Kathleen tak senang dengan apa yang dilakukan Darryl padanya. Namun dia bisa apa? Elena tidak bisa menolak Darryl yang bersikap terang-terangan seperti ini. Berpamitan saat hendak melakukan perjalanan bisnis. "Elena, apa kau mendengarku?" Darryl mencoba menarik perhatian wanita itu kembali ketika melihat Elena tidak fokus. "Iya, aku dengar.""Baguslah. Jangan membuat ulah."Darryl tersenyum dan mendekatkan waj
"Ezekiel, sekarang waktunya kamu tidur."Elena menutup buku dongeng yang tadi dibacanya dan langsung menatap Ezekiel yang kini belum kunjung menutup mata. Anak itu masih menatapnya dengan wajah serius. Seolah ada sesuatu yang ingin dibicarakan. "Ezekiel?""Bentar, Tante. Boleh tidak, malam ini Tante tidur di sini? Iel tidak mau sendiri.""Apa?""Ayah 'kan tidak ada, Tante di sini saja ya? Tidur sama Iel."Wajah Ezekiel terlihat memelas. Hingga Elena yang melihatnya, tidak dapat menolak. Dia juga tidak nyaman tidur di kamar Darryl. "Baiklah, Tante tidur di sini. Kalau begitu, sekarang pejamkan matamu.""Iel belum bisa tidur, Tante." Ezekiel mengusap matanya sambil sedikit merengek. Dia menampilkan wajah memelas dan membuat Elena terkejut. "Apa? Kenapa? Kamu memikirkan apa, Ezekiel? Apa ada sesuatu yang membuatmu khawatir?" Elena mencondongkan tubuhnya dengan khawatir. "Hmm, Iel penasaran, Tante. Beneran, ya, Tante mau nikah sama Ayah?""Apa?"Elena terkejut. Dia melotot saat mendenga
"Apa ini? Kita makan apa hari ini?" tanya Kathleen yang baru melangkah masuk ke ruang makan. Dia datang terlambat dan melihat Ezekiel serta Elena tengah menata meja. Makanan pun telah siap. "Telur dan ayam bakar, apa kau menyukainya?"Elena berusaha menjawab dengan santai saat ditanya. Dia melupakan perdebatannya terakhir kali dengan Kathleen, karena di meja makan itu sudah ada Ezekiel. Bagaimana pun, dia harus menghargai Kathleen sebagai tante Ezekiel. "Sepertinya tidak ada pilihan lain. Aku terpaksa akan memakannya," jawab Kathleen sambil mendekat dan duduk di kursi biasanya. Dia berhadapan dengan Ezekiel. "Kenapa terpaksa, Tante? Makanannya enak. Apalagi Tante Elena yang buat.""Tante Elena yang buat?"Ezekiel mengangguk. "Ya, Tante yang buat. Masakan Tante Elena enak lho, Tante."Kathleen mengernyit mendengar ucapan Ezekiel. Dia melirik tajam ke arah Elena. Wanita itu rupanya telah berhasil menarik perhatian keponakannya dari makanan. "Menyiapkan makanan, seperti pelayan saja."
"Emma, apa kamu melihat Ezekiel dan Kathleen? Kenapa mereka tidak ada di mana pun?"Elena berjalan mendekat ke arah Emma yang saat ini tengah menyapu di ruang tengah. Dia baru saja keluar dari kamar setelah mengobati lukanya dan memikirkan semua perkataan Kathleen sebelumnya. "Nona! Oh, tadi Tuan Muda sama Nona Kathleen pergi keluar. Katanya mau jalan-jalan.""Apa? Jalan-jalan?""Iya, mereka pergi ke pusat kota."Elena terkejut mendengarnya. Dia tidak tahu itu dan entah mengapa dia merasa sedikit kecewa. Memikirkan Ezekiel dekat dengan Kathleen, dia merasa gelisah. Meski dia juga tidak memiliki hak untuk marah. Bagaimana pun, Kathleen tetaplah tante dari Ezekiel. "Begitu, ya, lalu kapan mereka akan kembali? Apa mereka mengatakannya?""Kalau itu, maaf, saya kurang tahu, Non.""Baiklah, terima kasih, Bi."Elena tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Namun yang pasti, dia melangkah pergi dari ruang tengah menuju ke arah perpustakaan. Tempat yang biasa dia jadikan tempatnya unt
Tiga hari kemudian. Elena menatap serius Ezekiel dan Kathleen yang saat ini sedang bersenda gurau di taman dari kejauhan. Entah bagaimana bisa, keduanya menjadi sangat dekat. Ezekiel pun terlihat nyaman dengan Kathleen, tidak seperti biasanya. Sedangkan waktunya dengan Ezekiel menjadi sedikit. Elena juga mendapat beberapa kali perlakuan kasar dari Kathleen, yang sayangnya tidak bisa dia ceritakan pada siapa pun, karena wanita itu selalu bertindak seolah-olah tidak tahu apa-apa. Dia juga tidak pernah punya bukti. Elena merasa lelah secara batin. Dia masih ingin hidup, tapi hidupnya seolah terkekang oleh sesuatu yang tak terlihat. Dia terikat. Sepertinya, dia juga mulai terikat dengan Ezekiel. Elena merasakan rasa sayang dan iri yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Dia iri melihat kedekatan Ezekiel bersama Kathleen saat biasanya anak itu hanya dekat dengannya."Tidak, aku tidak boleh merasa seperti ini." Elena meyakinkan dirinya dan menggeleng keras. Dia berusaha mengalihkan perhatia
"Kak, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa semuanya berjalan lancar?"Kathleen melangkah masuk ke ruang kerja Darryl setelah mengetuk pintu sebelumnya. Dia menghampiri kakak iparnya sambil tersenyum ramah. Namun sialnya, di ruangan itu tidak hanya ada Darryl saja, ada Elena yang juga duduk di sebelahnya. Kathleen refleks mengamati penampilan wanita itu dan menyadari penampilan Elena sedikit berantakan. Raut wajahnya berubah kesal saat dirinya menebak apa yang dilakukan keduanya sebelum dia datang. "Semuanya baik-baik saja, Kathleen. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi. Ada apa?"Kathleen tersenyum dan duduk di hadapan Darryl serta Elena. Dia menyilangkan kedua kakinya sambil berpangku tangan. "Aku ingin bicara soal kehadiranku di sini. Kak, sepertinya aku lebih nyaman di sini, Kakak tidak masalah 'kan aku tinggal lebih lama?""Kau ingin tinggal lebih lama? Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu?" Darryl mengernyit bingung, tapi wajahnya tetap santai seperti biasa. Dia hanya agak terkejut deng
"Apa? Marcell berulah lagi? Usir dia, jangan biarkan dia mendekati tempat itu."Suara tegas Darryl terdengar dan mengganggu Elena yang sedang tertidur lelap awalnya. Hingga akhirnya, dia harus bangun saat mendengar nama kakak sepupunya disebut. Elena menoleh dan menyesuaikan pandangannya sambil melirik Darryl yang tengah berdiri di dekat jendela dalam posisi memunggunginya."Jangan. Cukup patahkan kakinya dan buat dia tidak bisa berjalan. Belum waktunya membunuhnya. Biarkan dia tetap hidup."Deg. "A-apa? Darryl, apa yang kau katakan?" Elena yang tengah berbaring, sontak terduduk dengan cepat. Dia melotot dan menatap Darryl yang masih dalam posisi memunggunginya. Dia sudah benar-benar tidak mengantuk lagi setelah mendengar percakapan telepon Darryl. Hingga karena suaranya, pria itu pun mematikan panggilannya dan menoleh. Raut wajahnya tampak tenang. Tak ada sama sekali ekspresi terkejut."Kenapa kau bangun lebih cepat? Kau lapar? Ini masih belum terlambat untuk makan siang—""Siapa ya
"Ezekiel, sudah waktunya berhenti berenang, ayo mandi sekarang!"Elena menegur Ezekiel yang kini sedang berenang bersama dengan Darryl di halaman belakang. Entah bagaimana ini terjadi, tapi Elena tidak bisa tidak menatap ayah dan anak yang sedang sibuk bermain air. Padahal dia sedang kesal dengan Darryl, tapi pria itu malah bermain dengan anaknya, di mana dia juga ada di sana. Tentu saja, Kathleen juga ada di sisi lainnya dan tengah memandangi Darryl. "Nanti, Tante, Iel masih mau berenang sama Ayah.""Tapi ini sudah sore, Ezekiel. Nanti kamu bisa sakit.""Jangan khawatir, aku akan menjaganya," ucap Darryl yang tahu kekhawatiran Elena. Dia sedang sibuk pamer tubuhnya pada wanita itu sembari mengajari Ezekiel berenang. "Iya, Elena, Kak Darryl akan menjaganya. Dia bukan Ayah yang buruk yang akan menyakiti anaknya sendiri. Dia tahu apa yang dia lakukan."Elena menatap tajam Kathleen yang menimpali perkataan Darryl, tapi terkesan seperti dia meragukan Darryl dalam mengurus anak. Wajah dan
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel