"Bangunlah!" akhirnya Ami mengeluarkan suaranya setelah Devano masih saja bersujud di kakinya tanda ingin beranjak. Ada rasa iba sekalian was-was di dalamnya.
"Maafkanlah saya, Narsih. Saya berdosa padamu dan juga Amira. Ya Allah, maafkan saya," ujar Devano dengan isakan begitu dalam."Om, tenapa nanis? Ayo banun!" gadis kecil yang bernama Amira menyentuh lengan Devano yang tak sempurna. Devano menoleh sesaat, lalu fak kuasa menahan haru, ia kembali memeluk Amira. "Maafkan ayah, Amira. Maafkan." Ami pun menangis haru. Emir yang tepat berada di sampingnya langsung memeluk sang istri untuk menenangkan. Mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan."Sudah, Sayang. Jangan menangis!" Emir mendaratkan kecupan di kepala Ami yang masih tersedu di dadanya. Devano menyaksikan itu semua. Wanita yang secara tak sadar sudah menempati hatinya, kini menemukan lelaki yang bisa membahagiakan. Bukan sepertinya yang hanya bisa memberikan sakit dKeduanya sudah berganti pakaian. Ami memakai baju tidur berbahan sateen warna merah, karena di dalam kopernya yang disiapkan oleh Bik Astri, tidak ada pakaian dengan potongan yang benar. Semuanya pakaian kekurangan bahan dan sangat seksi. Pasti Bik Astri diminta oleh Tuan Wijaya untuk menyiapkannya. Ami tak punya pilihan lain, ia tetap memakai pakaian itu walau dengan wajah sangat malu.Emir pun sama, bajunya hanya tiga potong, itu pun baju kaus untuk bepergian, bukan untuk tidur. Satu hal lagi yang mencengangkan keduanya, bahwa di dalam koper mereka hanya ada masing-masing dua pakaian dalam.Keduanya saling pandang, tak lama kemudian tertawa."Jadi, mungkin maksud Opa, kita berdua selama sepekan di sini, bagai bayi baru lahir. Gak perlu pake apa-apa, ha ha ha ....""Iya, ih. Masa pakaian kita cuma sedikit ya, Pa. Pantesan kode kopernya dikasih tahu barusan. Orang dalamnya baju kurang bahan semua," omel Ami sembari menggaruk rambutny
Keduanya masih bergelung di balik selimut, saat sayup-sayup adzan shubuh berkumandang dari kejauhan. Aminarsih membuka mata dengan perlahan, saat merasakan berat di pahanya. Saat ia menoleh, benar saja, ia sudah dijadikan guling oleh suaminya, pantaslah rasanya begitu berat."Pa, uhh ... berat!" Ami bermaksud menggeser kaki suaminya, tetapi tangannya ditahan oleh Emir yang ternyata sudah bangun."Di sini saja!" bisik Emir dengan suara serak. Lelaki itu menggeser kakinya, lalu kembali membawa samg istri ke dalam pelukannya."Sudah adzan, Pa," ujar Ami berbisik di dada suaminya."Ya udah, kita mandi yuk. Eh, salah ... mandiin Papa yuk!" goda Emir sambil mengecup singkat bibir istrinya.Emir menggendong sang istri masuk ke dalam kamar mandi, lalu melakukan ritual malam panjang mereka satu kali lagi di kamar mandi. Setelah itu, keduanya bergegas mandi, lalu melaksanakan sholat shubuh berjamaah.Emir memimpin sholat dengan
Pagi hari, Aminarsih sudah berpakaian rapi.Dressberwarna hijau laut dengan panjang sampai mata kaki adalah pilihannya. Rambutnya masih basah karena baru saja keramas. Lagi-lagi suaminya selalu menggodanya di pagi hari. Wajah segar sehabis mandi, menambah rona merah di pipinya yang bahkan belum ia bedaki. Kepalanya menoleh ke samping, tepatnya ke arah jendela kamar mereka. Emir sedang asik termenung menatap keluar, sambil memegang ponselnya.Ami memilih berjalan keluar kamar dengan pelan, agar suaminya tak terganggu. Ia menuju dapur, lalu membuatkan kopi untuk suaminya. Matanya mengintip sedikit dari jendela dapur, Amira sedang bermain sepeda bersama Bik Astri dan ditemani Bu Farida-mertuanya.Ami mendekati Emir, sambil membawa dua cangkir teh dan juga sepiring kentang goreng yang sudah tersedia di atas meja makan. Kebetulan sekali, masih hangat dan pasti cocok dinikmati sambil minum teh pagi hari.Emir menoleh, saat Ami menyentuh punda
Emir sudah berdiri di pelaminan bersama sang mama yang tampil cantik dengan kebaya mewah lengkap dengan kerudung mengkilapnya. Ballroom hotel sudah dipenuhi aneka bunga warna-warni yang aroma bisa sebagai refleksi ketengan jiwa. Begitu sedap dihirup dalam-dalam oleh siapa pun yang kini tengah hadir di sana. Aneka lampu kristal menggantung di langit-langit yang tinggi, menambah kesan glamour acara pesta pernikahan Ami dan Emir.Siang ini, acara memang hanya diisi oleh sambutan, pemakaian cincin pernikahan, serta mengenalkan Ami dan Amira pada keluarga besar Emir, serta relasi Guan Wijaya yang ada di Surabaya. Tak lupa semua teman dan relasi Bu Farida juga menjadi tamu undangan mereka."Ma, cincinya sama Mamakan?""Iya, ada di tas Mama. Ami ke mana? Kok belum selesai juga dandannya?" Bu Farida terus saja menatap pintu tertutup di pojok kanan ballrom, tempat di mana nanti Ami akan melewatinya."Istri Emir itu akan disulap bak cinderella
"Mama ...!" tanpa memedulikan tubuh polosnya, Emir turun dari ranjang dan berlari keluar kamar."Papa! Pake baju!" pekik Ami histeris, saat hampir saja suaminya keluar kamar seperti bayi, tanpa pakaian apapun. Emir tersadar, lalu mengambil asal sarung sholat yang ada di dekat pintu kamarnya."Pa." Maksud hati hendak menahan suaminya, apalah daya sang suami sudah melesat keluar kamar, dengan bertelanjang dada dan hanya memakai sarung asal saja."Mamaa, Ami hamil!" teriak Emir begitu kencangnya. Membuat semua orang yang sedang berbaring di depan ruang TV, seketika duduk menoleh ke arah Emir."Emir, ada apa?" Bu Farida belum meyakini pendengarannya."Aminarsih hamil," sahut Emir sembari berlari untuk duduk di samping sang mama."Ini, Ma." Emir memberikan sepucuk kertas pada mamanya. Bu Farida menggosok kedua matanya."Wah, Bude ... bener ini Mbak Ami hamil," ujar Restu keponakan dari Bu Farida.
Amira melangkah masuk ke dalam kelasnya. Semua mata memandang horor ke arahnya. Ini bukan yang pertama kali ia membuat teman sekelasnya berdarah, tetapi sudah lima orang dalam satu semester ini. Dengan ekor matanya, ia melirik ke arah Denis yang hidungnya tengah dikompres air dingin olehnya.Amira melotot, sambil mengepalkan tangannya di depan Denis."Gue bilangin ya, jangan pernah ganggu gue, kalau lu gak mau babak belur!" ancam Amira dengan penuh amarah. Bukan sekali ini saja Denis menaruh upil di rambut keriting miliknya, tetapi hampir setiap hari. Jika kemarin ia masih bisa sabar, tetapi hari ini ia harus membela diri.TeeetBel tanda pelajaran berikutnya tiba. Pak Dewo, guru Bahasa Indonesia masuk dengan senyuman terukir di bibirnya."Siang anak-anak!""Siang, Paak!""Apa tema belajar kita hari ini?"Semua anak sibuk membuka buku pelajaran Bahasa Inggris."Bel
"Mira, mau sampai kapan tompel palsu ini kamu tempelin di pipi?" tanya Aminarsih, ibu dari Amira. Amira saat ini tengah memberikan air liur di tempelan tompel yang ia beli online, lalu ia tempelkan di pipinya."Sampai Mira banyak teman, Bu. Mira gak mau teman -teman di sekolah, dekat sama Mira karena kecantikan atau kekayaan Mira," terang Amira sembari menyisir rambit keriting gimbal miliknya."Sini, Ibu bantu!" Aminarsih mengambil sisir, lalu mendekat pada puteri cantiknya yang bermata abu."Sayang aja, Bu, gak ada yang jual softlens putih, kalau ada Mira juga mau tutupi bola mata abu Mira pakai soflens putih."Ami tergelak, lalu mencubit gemas pipi Amira."Bukannya cantik kalau bola mata putih semua, hantu itu namanya. Bukan cantik, tapi nyeremin," sahut ibunya masih diiringi tawa."Hilih, jin-jin yang main lari-larian di kelas Mira, itu matanya merah, Bu. Ada yang gak ada matanya juga," terang Amira yang kini menga
"Duh, kempes lagi!" Amira menatap lemas ban sepeda yang kempes. Padahal ia harus buru-buru sampai di sekolah. Ia berjongkok, sambil membuka standar miring sepedanya. Amira meraba ban sepeda yang benar-benar kempes.Dengan menghela nafas kasar, Amira tak punya pilihan lain, selain mendorong sepedanya untuk mencari bengkel terdekat. Untunglah, dqlam jarak seratus meter dari ia mendorong sepedanya, ada sebuah kios bengkel motor yang sudah buka pada pukul enam lima belas pagi."Bang, mau pompa dong," pintanya pada montir yang sedang menikmati kopinya. Amira menunjukkan keadaan ban belakang sepedanya yang kempes.Sang montir meletakkan gelas kopi di atas meja, lalu berjalan mendekat pada Amira dan juga sepedanya. Lelaki setengah baya itu berjongkok untuk memastikan seperti apa kempes ban sepeda pelangan ABG-nya ini."Ya udah, untuk sementara pakai angin dulu ya. Nanti, kalau ada waktu, Ade bawa ke bengkel sepeda saja. Bannya rusak ini."
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira