"Kamu ...," suara bariton tua milik Tuan Wijaya membuat Bu Farida menoleh pada sosok lelaki, yang kini berdiri dengan tongkat di depannya.
"Allahu Akbar! Papa?!" "K-kamu Farida, temannya Deandra'kan?" tanya Tuan Wijaya lagi sambil mendekat ke arah Bu Farida."I-iya, Pa. Ya Allah." Bu Farida menghambur ke hadapan Tuan Wijaya, bahkan ia mencium punggung tangan lelaki tua renta itu, sembari memeluknya singkat."Ada apa ini, Ma?" tanya Suraya menginterupsi. Ia merasa heran dengan kedekatan antara ibunya dan kakek sepuh yang sedang memakai tongkat ini."Kamu ingat Tante Deandra'kan? Ini mertuanya. Ayah dari Pak Broto," terang Bu Farida dengan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Suraya mengangguk kaku, bukankah Tante Deandra sudah meninggal bunuh diri?"Papa Emil sakit ya, Bu?" suara Amira yang kini berdiri di dekat brangkar Emir, membuat semua yang ada di sana ikut menoleh kepada Amira. Mereka tersenyum penuh haOpa Wijaya, Pak Samsul, dan Bik Astri, sudah pergi menuju hotel yang terdekat dari rumah sakit tempat Emir dirawat. Sedangkan Amira dan Ami, memilih untuk tidur di rumah sakit bersama Bu Farida, karena Suraya besok harus kembali ke Jakarta.Bola mata abu Amira masih terus saja memandang Emir yang terlelap di brangkarnya. Gadis kecil itu memilih tidur di sofa yang mengarah pada Emir. Tak sedikit pun ia memejamkan mata. Amira benar-benar merasa sedih karena Papa Emirnya masih saja terlelap."Tidur, Sayang," tegur Ami pada puterinya. Ami mengusap rambut Amira penuh sayang, lalu mengecup kepala Amira yang masih sangat harum. Jika dulu rambut dan kepala anaknya bau apek, karena hanya memakai sampo dua hari sekali. Sekarang, entah sampo apa yang diberikan oleh Bik Astri, sehingga rambut Amira selalu wangi sepanjang hari, walaupun gadis kecilnya itu berkeringat."Papa boboknya lama ya, Bu? Tapan banunnya?" Amira yang tadinya berbaring, kini memi
Satu Jam Sebelum Emir Kejang.Seorang lelaki tengah berada di dalam kelas, mengajar Mata Pelajaran Bahasa Inggris, di kelas IX. Saat tengah asik menerangkan pelajaran, tiba-tiba pintu kelasnya diketuk.TokTokKleeek"Permisi, Pak Iqbal. Tolong diangkat telepon dari Pak Zaki," ujar Pak Ujang, guru olah raga yang barusan mengetuk pintu kelasnya."Oh, baik Pak. Terimakasih." Iqbal mengangguk paham, lalu mengeluarkan ponsel yang memang ia getarkan saja. Sehingga tidak mengganggu saat ia mengajar. Maklumlah, bekerja sebagai tenaga pendidik, memang sudah sangat ia sukai, sehingga walau sudah bekerja di kantor, tetap ia mengambil freelance mengajar pelajaran Bahasa Inggris di dua sekolah."Anak-anak, Bapak ijin terima telepon dulu ya," ujarnya pada seluruh siswa di dalam kelas. Lamgkahnya lebar menuju pintu keluar."Hallo, Assalamualaikum. Iya, Pak Zak
"Narsih,Amira, saya harus kembali ke Jakarta sekarang, tetapi Pak Samsul dan Bik Astri akan menemani kalian di sini," terang Tuan Wijaya menghampiri Ami yang tengah membantu Emir mengganti pakaiannya yang terkena muntahaan darah."Opa, tapi ... Saya dan Amira baik-baik saja. Pak Samsul biar ikut Opa pulang, Bik Astri yang di sini," sahut Ami yang merasa sungkan. Bagaimana mungkin ia didampingin banyak orang?"Tak apa, saya juga akan kirim beberapa orang untuk berjaga di depan," tambah Tuan Wijaya, yang kini melihat ke arah Emir. Tentu saja Emir mengangguk hormat sambil memberikan senyum tipisnya."Pa, memangnya ada apa? Kenapa sampai harus ada yang berjaga di depan?" kali ini Bu Farida yang buka suara, bertanya pada Tuan Wijaya.Kening Emir, semakin berkerut. Di kepalanya ada begitu tanda tanya tentang siapa lelaki tua yang masih terlihat gagah ini? Bagaimana bisa bersama Ami? Bagaimana bisa ibunya memanggil Papa? Bukankah kakeknya s
Farah membuka mata perlahan, sambil merasakan sakit pada pergelangan tangan yang sepertinya terikat di ranjang besi. Langsung ia tersentak, saat menyadari keadaan sekelilingnya yang gelap. Di mana dia?"Hei! Lepaskan aku!" teriaknya kencang. Suara itu menggema di dalam ruangan. Bau anyir, apek, dan aroma bangunan tua, sangat menusuk hidungnya. Membuat ia merasakan mual yang sangat hebat."Ueekk!""Ueek!""Baji***n! Beraninya kalian dengan perempuan! Baji****n! Lepaas!"Farah terus saja berteriak histeris minra dilepaskan. Ia tidak tahu, apakah sekarang sudah malam, atau malah sudah pagi. Rasa lapar membuatnya semakin histeris. Jika artis atau model yang lain akan memilih diet, atau sedikit makan, tetapi dirinya tak pernah melewatkan waktu makan sedikit pun. Jadi, bila sekarang perutnya terasa sangat sakit, itu tandanya ia memang belum makan apapun."Aku lapar, baji***n! Lepaaass! Toloooong! Tolooong!" jerit Farah pilu sembari ter
"Aaw! sakit, Ibu," rengeknya manja, menirukan suara Amira."Lagian, iseng banget. Mana bisa begitu, harus ikuti protokol pernikahan," protes Ami dengan wajah masamnya."Duh, saya udah gak sabar mau halalin kamu, Ami!""Ini namanya ujian, Mas. Harus sabar, jangan grasa-grusu. Pernikahan yang diawali dengan rasa tak sabar, bisa saja menimbulkan penyesalan.""Iya, deh." Bahu Emir melorot, betapa sesungguhnya ia sangat gemas dengan Aminarsih, tetapi wanita ini sangat kuat membentengi dirinya dari sentuhan-sentuhan yang memang belum boleh ia lakukanSeperti memeluk atau mencium. Ah, iya ... Bahkan ia belum pernah mencium bibir Ami.BeepBeepEmir mengambil ponselnya yang berdering di atas meja. Matanya membulat sempurna, tatkala ada nama Gunawan di sana. Ya, Gunawan adalah pengacara perceraian yang ia minta untuk mengurus perceraiannya dengan Farah."Hallo, Bro. Bagaiamana?""Gue denger lu sakit? Udah sehat?"
Selamat Membaca"Tidaaak! Tidaaak! Pergii!" teriak Farah histeris saat melihat kakek tua di depannya sudah melucuti satu per satu pakaiannya, menyisakan pakaian dalam saja. Farah memejamkan matanya kuat, sangat jijik melihat lelaki tua yang kini perlahan jalan ke arahnya. Kakinya ia hentak-hentakan kuat, agar kakek tua tidak mendekat padanya."Jika Kakek mendekat, maka akan aku tendang burung mati Kakek!"Tentu saja Tuan Wijaya tergelak, hingga suaranya melengking tinggi. Tubuh tuanya bergetar karena merasa geli dengan ocehan wanita muda di depannya. Karena benda yang baru saja disebutkan Farah, malah sudah terbangun dengan gagahnya di balik segitiga pengamannya."Kamu, jika dalam rumah tangga hanya untuk mencari kepuasan batin saja, maka sampai kamu tua, gak bakalan kamu menemukannya!" Tuan Wijaya mendorong kening Farah dengan kuat, hingga membuat Farah membuka mata dengan tatapan penuh amarah.Tuan Wijaya mund
Selamat Membaca."Ada apa? Siapa tamunya?" tanya papa Farah pada Bik Surti."D-dari kepolisian, Pak. Katanya membawa surat penangkapan untuk Non Farah.""Apa?!"Bu Sinta dan suaminya berjalan dengan tergesa menuju ruang tamu. Dengan dada berdebar, kedua orang tua Farah menghampiri petugas kepolisian yang sudah duduk di ruang tamu."Iya, Pak. Saya ayah dari Farah. Ada yang bisa kami bantu?" tanya Pak Faisal. Ia dan istrinya ikut duduk di depan ketiga lelaki berbadan tegap."Kami bawa surat penangkapan untuk Mbak Farah.""T-tapi, apa tuduhannya, Pak?" wajah Pak Faisal memucat, begitu juga Bu Sinta."Silakan nanti mendengar penjelasannya di kantor saja ya.""Farah sudah tiga hari tidak pulang, Pak.""Ke mana?""Katanya ke rumah temannya.""Oke, baik. Kami akan bantu cari. Permisi!"Sepeninggal ketiga petugas itu, Bu
Emir, Amira, dan juga Ami berpisah di bandara. Jika Emir kembali ke rumah Suraya terlebih dahulu, baru nanti malam mereka semua ke rumah Tuan Wijaya. Sedangkan Ami, Pak Samsul, dan Bik Astri pulang ke rumah Tuan Wijaya. Tadiannya, Emir bersikeras untuk langsung ke rumah Tuan Wijaya, tetapi dilarang oleh Bu Farida, karena mereka belum menyiapkan apa-apa untuk Aminarsih.Saat ini, status Ami memang sebagai janda beranak satu, tetapi Bu Farida tetap ingin memperlakukan Ami, layaknya anak perawan, yang dilamar baik-baik dengan membawa banyak buah tangan. Amira pun tadi sempat menangis karena berpisah dari Emir, tetapi setelah dibujuk Ami, bahwa Emir harus membeli kue dulu untuk bertemu Uyut Wijaya, barulah Amira mengerti dan berhenti menangis."Bye Papa, janan lupa bawa kuweh yang bancak ya," kata Amira sambil melambaikan tangan pada Emir yang sudah duduk di mobil yang disediakan oleh Tuan Wijaya untuk mengantar Emir dan Bu Farida ke rumah Suraya."Bye A
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira