Emir kembali ke ruangan sang mama yang nampak sudah rapi, bersiap untuk pulang.
"Kenapa, Mir?" "Saya pulang sebentar ya, Ma.""Loh, kenapa gak bareng aja?" "Mmm ... Maaf, Ma. Di rumah Mama ada Farah.""Hah? Sejak kapan? Amira bagaimana?""Mereka ... I-itu, Ma.""Mereka kenapa?" tiba-tiba saja dada Bu Farida bergemuruh."Diusir Farah, Ma.""Allahu akbar, istri kamu emang benar-benar bikin gemas, Mir. Cepat susulin Amira! Cepat! Bawa kemari!" "I-Iya, Ma." Dalam sekejap, Emir sudah berbalik badan meninggalkan kamar perawatan sang mama. ****Prraaang"Heh!" Farah menoleh ke arah dapur, suara benda jatuh membuatnya sedikit kaget. Barangkali kucing.Farah melanjutkan memainkan ponselnya.Prraang"Ish, kucing nih." Farah bangun dari duduknya, berjalan ke arah dapur dengan lem"Hiks ... Hiks ... Hiks ....""Mas, sudah dong nangisnya. Saya dan Amira sudah di sini. Kenapa masih nangis terus?" Ami membujuk Emir yang masih saja tersedu sambil memegang stir mobil."Saya takut kalian tidak saya temukan. Hiks ... Saya ke kontrakan hiks, gak ada siapapun di sana. Tak ada tetangga yang lain, rumah yang kamu tempati juga masih berantakan sisa banjir. Saya semakin kalut, tidak tahu harus mencari kalian di mana. Ya Allah, dada saya sakit rasanya."PukPukEmir menepuk kuat dadanya, membuat Ami menahan tangan Emir. Membawa jemari Emir ke pipinya, mendekap tangan yang selama ini sudah banyak memberikan hidup padanya. Aminarsih pun menangis, air mata haru turun dengan deras, hingga tangan Emir basah. Lelaki itu diam saja dengan apa yang Ami lakukan.Cup"Saya sudah di sini, Mas. Hiks ...."Emir membawa Aminarsih ke dalam pelukannya, berkali-kali mencium keningnya
FarahHallo, apa apa?Buka pintunya, Mas. Aku tahu kamu di dalam bersama tukang peyek itu.Aku tidak di apartemen.Bohong kamu, Mas!Ya sudah kalau tidak percaya, gedor aja terus sampai pagi. Paling kamu diusir security.TuutTuutEmir meletakkan ponselnya kembali di atas nakas. Ssbelumnya, ia sudah mematikannya terlebih dahulu, agar Farah tidak terus-terusan meneleponnya. Suara ketukan pintu yang tadi begitu heboh, sekarang tak terdengar lagi. Emir mengulum senyum, lalu kembali melanjutkan aktifitas memeluk Aminarsih kemudian memejamkan matanya.Benar saja, Farah akhirnya pergi dari sana, setelah ditegur oleh salah seorang penghuni unit di sebelah unit Emir. Dengan meradang dan menghentakkan kakinya, Farah turun ke lobi apartemen. Menuju anjungan tunai mandiri, hendak melakukan penarikan uang, karena uang di dom
"Gak, Ma! Farah tidak mau cerai. Mas, apa gak bisa diperbaiki semuanya? Aku benar-benar menyesal, Mas," rengek Farah di depan Emir."Aku gak mau cerai, pokoknya!" Farah berdiri dari duduknya, lalu berjalan melewati Emir yang masih diam membisu. Mama Farah pun tak banyak bicara, ia tahu kesalahan puterinya sangatlah fatal. Berselingkuh di luaran sana, ditambah hendak meracun wanita yang dekat dengan keluarga suaminya. Tentu saja tak tak ada yang berani memaafkan Farah."Nak Emir, apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi?" tanya Bu Sinta memelas."Maaf, Ma. Keputusan saya sudah bulat, saya tidak bisa bersama Farah. Sudah tidak baik bagi hubungan kami.""T-tapi bagaimana nanti dengan karir Farah?""Bukan urusan saya, Ma. Cukup saya dibuat hampir kena serangan jantung saat mengetahui sifat Farah dan apa yang telah ia lakukan pada saudara saya. Semoga Mama mengerti. Akan lebih panjang urusannya, jika semua video itu sampai di meja poli
Aminarsih masih setia menunggu Emir yang pulang hari ini. Sudah pukul delapan malam, Emir belum juga nampak membuka pintu apartemen. Ami gelisah, begitu pun juga Amira yang sudah tak sabar. Sambil bermain, Amira terus saja melihat ke arah pintu, berharap lelaki yang ia panggil dengan sebutan Papa Emil, segera membuka pintu."Lama ih," rengek Amira pada ibunya."Sabar, Nak. Papa Emir katanya langsung ke kantor, karena banyak pekerjaan. Siapa tahu sebentar lagi pulang," ujar Ami menenangkan kegelisan puterinya. Ia pun ingin menelepon Emir dari telepon apartemen, tetapi ia tidak tahu nomornnya.Hingga jarum jam bergeser ke angka sembilan, kemudian sepuluh, Emir tak kunjung pulang. Amira sudah tidur kelelahan menunggu Emir. Sedangkan Ami juga tak tenang. Ia pun dengan sabar menunggu Emir pulang sambil menonton acar televisi. Acara yang bertemakan mistis.PukSuara benda jatuh dari arah dapur. Tak mungkin kucing
Ami dan Emir, kini sedang dalam perjalanan menuju rumah Bu Farida. Pagi-pagi sekali, Emir membawa Aminarsih dan Amira pulang ke rumah orangtuanya. Karena permintaan mamanya. Bu Farida rindu dengan Amira, selain itu, rumah juga terasa sepi bilam tak ada Amira di rumahnya.Tentu saja, Emir yang kini merasa horor dengan apartemennya, memilih setuju untuk untuk membawa Amira.dan Ami ke rumahnya. Apartemen itu akan ia jual saja, dari pada menyeramkan seperti itu."Kamu gak papa, Mi?""Gak papa, Mas. Emangnya kenapa?" tanya Ami keheranan."Setelah tadi malam, apa kamu merasa baik-baik saja?""Iya, saya tidak apa-apa. Mas yang takut ya? Hayo ... Ngaku, hi hi hi ...." Ami menertawakan Emir."Ketawanya jangan ngikik, Mi. Jadi mirip kunti," ujar Emir sambil menelan salivanya."Ha ha ha ... Mas lucu deh!" Ami mencubit pipi Emir."Sakit," ujar Emir manja."Uluh, lebay. Ha ha ha ...."
Ami masih bingung dengan pengakuan dari Bu Farida. Benarkah Bu Farida teman dari umi dan abinya? Bu Farida masih saja menangis memeluk dirinya. Bahkan pelukan itu sangat erat, membuat Ami hampir kehabisan nafas."Ya Allah, puluhan tahun saya selalu berharap berjumpa dengan Narti, ternyata dia sudah tidak ada. Ya Allah, saya rasanya tak percaya, Mi. Terakhir bertemu, saat saya menjenguk kamu lahir usia empat puluh hari dan Narti memberi tahukan tanda lahir di leher kamu. Ya Allah ...." Bu Farida memeluk kembali Ami dengan erat.Amira yang asik bermain boneka, akhirnya menoleh pada ibu dan omanya. Amira bangum dari duduknya, lalu menghampiri keduanya. Amira bergelayut di tubuh Ami, sambil memandang heran keduanya."Ibu, Oma, tenapa nanis?""Ya Allah, kalian ini benar-benar bagian dari keluargaku. Alhamdulillah ya Allah, telah mempertemukan kami di sini." Bu Farida kini memanggku Amira. Jemari gadis kecil itu terangkat menghapus a
Emir sudah mengajukan gugatan perceraian pada Farah. Tak perlu memakai jasa pengacara, karena ia memiliki bukti cukup kuat untuk majelis hakim meloloskan gugatannya. Baru tahap pendaftaran, untuk jadwal masih antre dan akan dihubungi satu bulan yang akan datang. Tentu saja, banyak rencana di kepalanya setelah perceraiannya dengan Farah sah. Salah satunya adalah segera melamar Ami untuk ia jadikan istri. Rasa tak sabar begitu kuat di dadanya, tapi ia ingat akan perkataan sang mama, bahwa ia harus lebih dahulu membereskan semua masalah dengan Farah. Bahkan Emir sudah bercita-cita, akan membawa Aminarsih berbulan madu ke Mekkah, tepatnya melaksanakan umroh, tak lupa membawa Amira turut serta.DrrtDrrtEmir melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya.Jin CantikEmir terkekeh sendiri membaca nama kontak Ami yang ia buat. Kenapa harus 'Jin Cantik'? Karena Ami mampu melihat hal goib yang tidak bisa semua
Amira sudah terlelap di pangkuan Emir. Lelaki itu bersikeras mengajak Ami bicara baik-baik. Sungguh ia pun tak menyangka akan kabar yang diberikan Farah tadi. Kini, keduanya masih senyap tanpa suara, hingga pukul sepuluh malam. Ami duduk menunduk sambil memilin ujung bajunya, dengan air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Emir memandang sendu wanita yang ia cintai. Perjuangan untuk memilikinya sepertinya akan panjang, tetapi ia tidak akan menyerah."Waktu itu, saat Farah pertama kali berangkat ke Malaysia, saya menemukan pil KB di kamar. Pil yang sudah hilang sebanyak tujuh pil. Jujur saya kecewa, karena saya tidak menyangka akan mendapati istri saya begitu enggan untuk punya anak," terang Emir dengan suara parau. Ia yang tadinya duduk berhadapan dengan Ami, kini memilih pindah, untuk kemudian duduk di samping Ami."Sini lihat saya!" Emir mengusap rambut Ami dengan lembut, namun Ami mengelak. Ia masih saja sesegukan menahan tangis agar tak tumpah
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira