Emir terbangun dari tidurnya. Suasana kamar sudah gelap, udara juga sangat dingin di atas sini, walau ada selimut tebal menutupi tubuhnya. Lelaki itu menoleh ka arah perutnya, ada tangan kecil nan montok sedang bertengger di sana, seakan memeluknya. Emir tersenyum tipis, lalu mengangkat jemari itu, kemudian mengecupnya. Tunggu, tapi di mana Ami? Mata Emir menangkap sosok yang tengah meringkuk kedinginan di sofa. Pelan Emir bergeser turun, agar Amira tidak terbangun.
"Ami, Ami, kenapa malah tidur di sini?" Emir mengangkat tubuh ringan Aminarsih dengan pelan dan hati-hati, lalu membawanya ke atas ranjang besar nan empuk. Mendekatkannya pada Amira. Dua wanita berambut kriting itu kini sudah berdampingan dan sangat lucu. Emir pun ikut naik, kemudian berbaring di sebelah Amira, melanjutkan tidurnya.Pagi menjelang, sayup-sayup suara musik khas Bali mengalun merdu di area resort. Udara pagi yang terasa sejuk dan dingin, sebenarnya membuat orang malas untuk bangun. Sa"Emir, kamu di sini? Siapa wanita ini?""Mbak Raya." Emir kaget bukan kepalang, walau sudah menyamarkan diri dengan memakai kumis dan menutup kepalanya dengan topi, tetap saja sang kaka mengenalinya. Lekas lelaki itu berdiri dari duduknya, lalu tersenyum canggung pada sang kakak yang juga keheranan, bisa bertemu adiknya di sini."Mana Farah?" mata Raya mencari-cari di mana sosok adik ipar modelnya, Raya. Jangan tanyakan bagaimana wajah Ami. Dia menunduk takut, bahkan sangat dalam, tak berani mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegub terlalu keras, hingga ia tak mampu mendengar dengan baik obrolan dua kakak beradik di depannya."Mbak, kenalin dulu ini Aminarsih. Ami, ini Suraya kakak saya." Ami perlahan mengangkat wajahnya dengan takut-takut. Suraya memberikan tangannya pada Ami, lalu disambut Ami dengan mencium punggung tangan Suraya, membuat Suraya menahan tawa."Sayang , kamu kok lama ... Lha, Emir kamu di sini?" kakak ipar Em
Emir terpana dengan pemandangan di depannya, seorang wanita yang kucel, rambut tak bersisir, berubah bagaikan orang lain yang sangat cantik, kini berdiri di hadapannya sambil menunduk malu dan memilin jemarinya. Bukan saja Emir, Iqbal suami dari Suraya pun terbengong dan ikut menelan saliva, sama seperti Emir."Gak bagus ya, Mas?" tanya Ami lagi pada Emir."Itu capa, Pa?" tanya Amira yang mengundang tawa semua orang yang ada di sana. Amira saja anaknya sampai tidak mengenalinya."Ha ha ha ... Amira saja tidak tahu kalau kamu ibunya, Mi. Bagus sekali dan kamu cantik," puji Emir membuat semburat merah menjalar di kedua pipi Aminarsih. Sepanjang umurnya, baru Emirlah lelaki yang mengatakan kalau dia cantik. Ya, walaupun harus dimake over terlebih dahulu."He he he ... Begitu ya." Ami canggung, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, guna mengusir rasa canggung diperhatikan semua orang saat ini."Matanya sayang, lihat Ami ja
"Maaf, Ami. Sebentar saja ya, seperti ini. Saya tidak suka melihat mata para lelaki jelalatan padamu." Emir merangkul pinggang Ami, membuat wanita itu menahan nafas kaget."Saya cemburu," bisik Emir lagi.Ami tak mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahnya kelu untuk berucap, sungguh saat ini adalah saat di mana seorang lawan jenis memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan mendekat padanya pun meminta izin. Sayang sekali, ia tidak boleh GR atau melibatkan perasaannya, walau setitik. Ia harus tahu diri, ingat Emir memperlakukannya sebagai adik dan Emir adalah suami seorang artis."Kenapa melamun? Ga suka ya sama makanannya?""B-bukan, Mas. Saya hanya bingung, bagaimana membalas semua kebaikan Mas pada saya dan Amira.""Kalian keluargaku, jadi tak perlu sungkan. Aku sayang Amira dan sayang ibunya Amira." Entah kenapa, volume suara Emir merendah, saat mengatakan sayang ibunya Amira. Ami memberanikan diri menatap netra hit
Emir menatap punggung Ami yang saat ini tengah terlelap di sofa. Sekeras apapun ia meminta agar Ami tidur di ranjang empuk bersama Amira, tetap wanita itu tidak mau. Sisa sesegukan sehabis menangis hampir satu jam di depan Emir masih tampak dari bahunya yang sesekali bergetar. Ami meringkuk di sofa dengan selimut tebal, membuat Emir iba.Lekas lelaki itu mengaktifkan ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada seseorang. Ada banyak chat dari Farah, namun ia abaikan. Tak dibaca, hanya dilewati saja. Dalam hatinya, Emir sudah bertekad, benar-benar menikmati liburannya tanpa ingin bertengkar dengan Farah.SendEmir menonaktifkan kembali ponselnya, lalu turun dari ranjang. Kakinya melangkah lebar secara perlahan menuju sofa di mana Ami sedang terlelap. Emir sempat melihat jam dinding sudah pukul dua dini hari. Pastilah Ami benar-benar sudah lelap. Lelaki itu berjongkok di dekat Ami, mengusap rambut kriting Ami yang masih belum kembali.
Malam ini, adalah malam di mana Aminarsih benar-benar bahagia yang luar biasa. Bisa tidur di kasur super empuk dengan kipas angin yang menyala di tembok. Kasurnya bahkan sudah dilapisi seprei bermotif kucing, harum, dan juga bersih. Amira terlelap sangat nyenyak dengan begitu nyamannya, sedangkan dirinya masih memikirkan bagaimana Emir bisa membuat semua barang baru dan bagus ada di dalam kontrakannya. Besok akan ia tanyakan pada Pak Jum."Semenjak kamu lahir, kehidupan kita menjadi lebih baik. Ibu jadi banyak bertemu orang-orang baik. Terimakasih sudah mau menjadi anak Ibu," bisik Ami di telinga Amira, lalu mengecupnya pelan.KlikLampu tidur model bulan sabit besar, ia nyalakan."Terimakasih Papa Emir."Ami mengirimkan pesan pada Emir dengan kalimat yang sama.****Emir baru saja selesai mandi, tubuhnya lebih segar setelah diguyur air dingin. Emir mengoleskan minyak kayu putih di selu
Bu Farida di bawa ke ruangannya oleh Emir. Wanita paruh baya itu pingsan, setelah mendengar anak kecil cantik memanggil anaknya dengan sebutan 'papa'. Tubuhnya lemas tak bertulang, menerima kenyataan yang belum ia cek kebenarannya.Ami hanya bisa berdiri sambil gemetaran di depan pintu kantor Bu Farida, sambil memegangi tangan Amira. Ia lupa, jika kemarin Suraya mengatakan warung soto Bu Farida adalah milik ibunya, warung soto tempat dirinya menitipkan peyek selama hampir dua tahun ini."Jangan pulang dulu ya, nanti saya antar," kata Emir pada Ami, ketika selesai membaringkan mamanya di kasur dalam ruangan."Iya, Mas." Ami mengangguk paham."Ayo, masuk. Kita jelaskan pada mama saya." Emir sudah menggendong Amira masuk ke dalam ruangan kantor."Eko, buatkan dua mangkuk soto dengan nasinya untuk saudara saya ini ya.""Baik, Mas." Lelaki bernama Eko, salah satu karyawan Bu Farida yang baru saja membawakan teh untuk
"Mas Emir!""Farah, hei bangun! Ada apa?" Daniel membangunkan Farah yang berteriak memanggil nama suaminya. Keringat bermunculan dari dahinya yang putih bersih. Tubuhnya masih berselimutkan kain tebal yang hangat, tanpa sehelai benang pun."Mas Emir, cepat! Kamu harus segera pergi, cepat!""Mana?" Daniel kebingungan."Aku mimpi Mas Emir ke sini," ujar Farah ketakutan."Gak mungkin, Far. Kenapa kamu baru cerita?""Aku lupa. Cepat, pokoknya kamu harus sembunyi.""Ck, kamu tahu dari mana, Sayang?""Udah, pokoknya kamu harus pergi, karena suamiku menuju ke sini, cepat Daniel!" Farah ketakutan.TeetTeet"Itu Emir, cepat Daniel. Kamu sembunyi, udah ga bisa kabur."Daniel memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dengan wajah pucat, persis seperti Farah yang kini gemetar dan pucat.TeetBeepBeep
Berhenti, biar saya yang bawa Amira. Saya papanya," ujar Emir penuh percaya diri, sambil merebut Amira dari gendongan Kamal. Namun susah, karena Kamal menahan erat tubuh Amira."Saya aja!""Udah, saya saja.""Emang kamu siapa?" tanya Emir tak sabar."Saya calon suami Mbak Aminarsih," ucap Kamal begitu percaya diri"Mimpi," timpal Emir yang berhasil merebut Amira dari gendongan Kamal, lekas ia masuk ke dalam mobil."Ayo, Ami. Jangan bengong!" titah Emir."Iya, Mas. Maaf, Kamal." Ami pun masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Emir.Mobil berlalu dan Kamal hanya tertunduk lesu. Tidak, ia tidak boleh patah semangat. Besok, ia akan melamar Aminarsih menjadi istrinya, sebelum lelaki lain mendahuluinya."Siapa lelaki tadi?""Itu namanya Kamal, Mas.""Oh, dia karyawan di warung soto Mama saya.""Iya.""Saya tidak suka kamu berdekatan dengan lel
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira