"Mas Emir!"
"Farah, hei bangun! Ada apa?" Daniel membangunkan Farah yang berteriak memanggil nama suaminya. Keringat bermunculan dari dahinya yang putih bersih. Tubuhnya masih berselimutkan kain tebal yang hangat, tanpa sehelai benang pun."Mas Emir, cepat! Kamu harus segera pergi, cepat!""Mana?" Daniel kebingungan."Aku mimpi Mas Emir ke sini," ujar Farah ketakutan."Gak mungkin, Far. Kenapa kamu baru cerita?" "Aku lupa. Cepat, pokoknya kamu harus sembunyi.""Ck, kamu tahu dari mana, Sayang?""Udah, pokoknya kamu harus pergi, karena suamiku menuju ke sini, cepat Daniel!" Farah ketakutan.TeetTeet"Itu Emir, cepat Daniel. Kamu sembunyi, udah ga bisa kabur."Daniel memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dengan wajah pucat, persis seperti Farah yang kini gemetar dan pucat.TeetBeepBeepBerhenti, biar saya yang bawa Amira. Saya papanya," ujar Emir penuh percaya diri, sambil merebut Amira dari gendongan Kamal. Namun susah, karena Kamal menahan erat tubuh Amira."Saya aja!""Udah, saya saja.""Emang kamu siapa?" tanya Emir tak sabar."Saya calon suami Mbak Aminarsih," ucap Kamal begitu percaya diri"Mimpi," timpal Emir yang berhasil merebut Amira dari gendongan Kamal, lekas ia masuk ke dalam mobil."Ayo, Ami. Jangan bengong!" titah Emir."Iya, Mas. Maaf, Kamal." Ami pun masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Emir.Mobil berlalu dan Kamal hanya tertunduk lesu. Tidak, ia tidak boleh patah semangat. Besok, ia akan melamar Aminarsih menjadi istrinya, sebelum lelaki lain mendahuluinya."Siapa lelaki tadi?""Itu namanya Kamal, Mas.""Oh, dia karyawan di warung soto Mama saya.""Iya.""Saya tidak suka kamu berdekatan dengan lel
Emir baru saja selesai mandi dan kini sudah bersiap untuk tidur. Lama ia memandangi langit kamar, kemudian tertawa kecil. "Ami, Ami ... Lucu sekali," gumamnya tatkala mengingat saat dia meminta Ami menjadi istrinya, tubuhnya malah di dorong keluar rumah, lalu ditutup pintunya. Wanita itu tidak menjawab iya atau pun tidak. Apakah tandanya iya? "Duh, ini yang dinamakan jatuh cinta bukan sih?" Emir membolak-balik tubuhnya agar segera terpejam, namun tidak juga bisa.Cuaca di luar tiba-tiba hujan sangat deras disertai angin. Kilat dan petir saling berlomba memperlihatkan kekuatannya, mengobrak-abrik hati manusia hingga merasa takut akan gelegarnya. Emir yang masih belum bisa tertidur, memilih membuat susu di dapur, lalu membawanya kembali ke kamar. Setelah menenggaknya habis, barulah Emir merasa kantuk yang sangat luar biasa.Duaar!"Allahu Akbar!" pekik Emir tersentak dari tidurnya. Dilihatnya jam weker yang ada di atas meja kecil, sudah
"Permisi, Mbak. Saya wali dari Aminarsih, warga RT 06, izin saya bawa ke rumah ibu saya," ujar Emir meminta izin pada petugas pendataan warga korban banjir."Benar begitu, Mbak Ami?" tanya petugas pendataan. Ami hanya mengangguk. Jujur sebenarnya ia sungkan untuk ikut ke rumah ibu dari Emir, tetapi untuk tinggal di tenda pengungsian sepertinya tidak mungkin, karena sekarang saja tubuhnya serasa demam. Jika memaksakan tak menuruti mau Emir, bisa-bisa ia sakit di tenda pengungsi dan tak ada yang mengurusnyandan juga Amira."Baiklah, silahkan tinggalkan fotokopy KTP."Emir mengeluarkan fotokopy KTP yang selalu ia sediakan di dompetnya. Setelah memberikan kertas tersebut, Emir menggendong Amira menuju mobil, sedangkan Ami merasa kepalanya mulai berputar."Ami, ya Allah!" Emir mengecek suhu tubuh Ami dengan punggung tangannya dan suhunya panas."Ayo masuk dulu!" Emir membukakan pintu belakang untuk Ami, dan pintu depan untuk Amira, l
Bugh"Aauu ...." Emir tersentak saat Ami memukul lengannya."A-Ami, i-itu tadi, gak sengaja, itu Amira pelakunya!" adu Emir sambil menoleh pada Amira yang menyeringai lebar di samping mereka."Tidak sengaja, tapi kenapa tidak segera dilepas," omel Ami dengan memalingkan wajahnya yang merona."Gak bisa terlepas, beneran. Kayak ada lemnya," terang Emir dengan wajah serius."Huh, mana ada seperti itu. Udah, sini mangkuknya! Saya makan sendiri saja, untung mangkuknya tidak jatuh," omel Ami pada Emir, lelaki itu hanya menyeringai sambil mengedipkan mata pada Amira.Pintu dibuka, ada Bu Farida di depan pintu melihat keadaan Ami. "Sudah enakan, Mi?" tegur Bu Farida."Sudah, Oma. Sudah ditium Papa, bibil Ibu. Ccuupcup," jawab Amira sambil memajukan bibirnya."Wah, masa sih? Beneran itu, Mir?""Itu, Ma. Tidak sengaja, Amira naik ke punggung saya tiba-tiba, jadi hilang kesei
Ami kini berdua saja dengan Amira di rumah Bu Farida. Karena kondisi tubuhnya sudah lumayan enakan, Ami memilih menyapu rumah dan mengepel lantai. Setelah mengepel, Ami melanjutkan menyapu halaman, lalu menyiram tanaman. Ditemani oleh Amira yang dengan senangnya berlarian ke sana-kemari.Ami memandang lekat pohon apel milik Bu Farida, seketika bulu kuduknya merinding. Pohon yang sama persis, dengan buah apel berwarna merah. Ami memberanikan diri menyiram sedikit akarnya, sambil berbisik, "izin saya siram ya, saya Aminarsih. Apa kamu kenal saya?" tak ada angin tak ada hujan pohon apel itu bergerak dengan sendirinya. Ami tersenyum, lalu pindah menyiram ke pohon yang lain.Rumah Bu Farida termasuk rumah kuno kalau menurut Ami, karena bangunannya mirip rumah pada jaman belanda, ditambah lagi cat rumah berwarna putih, dengam jendela model lama. Tiang rumah yang berada di teras rumah dan dijadikan tempat bergelayut Amira, semakin menambah kesan, rum
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Emir atau pun Bu Farida belum juga pulang. Aminarsih masih setia menunggu pemilil rumah pulang. Ditemani Amira yang sudah terlelap dengan televisi yang menyala. Di luar, hujan mulai turun sangat deras. Ami bolak-balik melihat ke arah jendela, berharap Emir segera pulang."Hhoooaaam ....'" berkali-kali Aminarsih menguap, hampir saja tak kuat menahan kantuk. Ami memutuskan untuk bangun, lalu menggendong Amira masuk ke dalam kamar. Setelah mematikan lampu utama lalu menyalakan lampu tidur, Ami kembali berjalan keluar, duduk di sofa depan TV, sambil menunggu Emir pulang.Suara kunci pintu diputar sempat mengganggu tidur Ami, tetapi karena sangat mengantuk, kembali melanjutkan tidurnya."Ada yang nungguin saya pulang kayaknya," gumam Emir yang kini sudah berdiri di depan Ami bersama sang mama."Awas jatuh cinta," sindir Bu Farida sambil tersenyum tipis pada Emir.
"Ma," sapa Emir saat sang mama sadar dari pingsannya. Bu Farida jatuh di kamar setelah melihat video Farah yang berciuman di luar sana. Wanita paruh baya itu kecewa bahkan sangat terluka dengan apa yang diperbuat menantunya."Mama kenapa bisa pingsan?""Gak tahu," jawab Bu Farida menyembunyikan video itu dari Emir."Mama kecapean saja," sambungnya lagi, berusaha menahan air mata."Malam ini, tidur di sini dulu, Ma. Sampai kondisi Mama stabil, baru boleh pulang.""Mama gak papa, Mir. Mama mau di rumah saja, bedrest di rumah, tinggal panggil dokter atau perawat ke rumah untuk cek kesehatan Mama.""Nggak, ah. Mama biar menginap di sini saja. Sampai sehat, baru boleh pulang.""Trus di rumah bagaimana? Soto Mama bagaimana?""Ada Ami di rumah, Mama tenang saja.""Mmm ... Kamu benar menyukai Ami?""Iya, Ma.""Trus, Farah?""Entahlah, Ma." Emir meng
Bu Farida menghapus air matanya yang akhirnya turun dengan deras. Ia begitu kecewa dengan Farah menantunya. Wanita yang selalu ia banggakan di depan teman-teman arisannya, atau teman kampusnya dulu, kini justru membuat ia sangat malu dengan teman-temannya. Mencoreng nama baiknya dengan telak, apalagi kondisi Farah yang belum sepuluh hari menjadi istri dari anaknya."Hiks." Bu Farida kembali menghapus air matanya, lalu membuka video yang dikirimkan dari nomor Emir. Sudah dari tadi sebenarnya ia memencet tombol terima, namun proses loading tak kunjung selesai, membuat dirinya malas untuk menuntaskannya. Ia juga lupa menanyakan pada Emir, video apa yang dikirimkan anaknya itu."Apa ini?" keningnya berkerut, saat melihat tak ada keanehan dalam video CCTV yang dikirimkan Emir padanya."Ada-ada saja si Emir," gumam Bu Farida sambil menggelengkan kepala."Ish, jadi kangen Amira," gumamnya lagi sambil memandangi Amira yang nampak tak sabar&n
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira