"Hah? Y-yang benar, Pak?"
"Iya, Tuan. Mudah-mudahan keduanya dalam keadaan sehat. Saya ditugaskan Tuan Wijaya untuk mencari Mbak Narsih dan juga bayinya"Mata Devano berkaca-kaca. "J-jadi, anak saya perempuan, namanya Amira?" tanya Devano lagi hampir tak percaya. Pak Samsul tersenyum tips, lalu mengangguk pasti."Tolong temukan mereka, Pak! Agar saya bisa meminta maaf pada keduanya," ujar Devano dengan suara bergetar."Iya, Tuan. Saya akan berusaha menemukan keduanya. Info terakhir, Mbak Narsih ada di terminal Bogor, setelah itu tak terlihat lagi.""Apa Narsih pergi ke luar kota?""Kemungkinan besar seperti itu, Tuan.""Maaf, apa Tuan mau melihat foto bayi Tuan?" tawar Pak Samsul ragu. "Mana, Pak? Saya mau. Hiks ... Saya seorang ayah, hiks ...." akhirnya tangisan itu keluar juga dari Devano. Dengan tangan gemetar, ia menerima ponsel Pak Samsul dan melihat foto yang ada di sana. Bayi cantikDua Tahun Berlalu"Ayo, Mbak Ami. Udah ditunggu Bu Fero," ujar Kamal tetangganya."Beneran bawa Amira gak papa?""Gak papa. Udah ayo cepat!"Lelaki muda itu berjalan lebih dulu meninggalkan Ami yang sedang merapikan tas yang berisi susu, baju ganti, dan juga cemilan untuk Amira, anaknya yang baru berusia dua tahun lebih dua bulan.Pagi ini, ia dapat pekerjaan sampingan menjadi pelayan catering, untuk sebuah pesta pernikahan. Pekerjaan yang selalu diberikan Bu Fero padanya. Lumayan untuk tambahan bayar kontrakan, selain membuat peyek, lalu menjualnya dari warung ke warung."Ibu, ayo!" puteri kecilnya menarik-narik ujung bajunya agar seger keluar rumah.Tiiin!Tiin!Suara klakson mobil Bu Fero melengking di depan kontrakannya. Bergegas Ami mengunci pintu. Lalu sambil berlari menggendong Amira, masuk ke dalam mobil
Saya terima nikah kawinnya Farah Pramesti binti Faisal Armando dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seratus gram di bayar tunai."Sah. Alhamdulillah."Dari kejauahan tepatnya di stand siomay, Aminarsih tersenyum senang. Hari ini, ia bertemu kembali dengan lelaki yang pernah menjadi Malaikat Penolongnya, dalam keadaan bahagia. Lelaki itu, di depan sana baru saja mengucapkan ikrar pada Rabbnya, untuk mengarungi bahtera rumah tangga, menyempurnakan agama dengan menikahi gadis yang sangat cantik. Ia tentu saja ikut senang. Karena orang baik, harus mendapatkan yang baik pula.Lalu, apakah ia tidak baik? Sehingga Allah mempertemukan ia dengan Devano, lelaki kejam yang pernah menjadi suaminya hanya dalam beberapa bulan saja. Bukannya ia tidak baik, tetapi Allah menegurnya, agar tidak bermain-main dengan pernikahan. Menerima ajakan untuk menjadi pengantin pengganti hanya karena ingin cepat
"Siapa, Mas? Kayaknya kenal dekat," tanya Farah sangat ingin tahu."Wanita itu yang pernah aku ceritakan, Sayang. Yang melahirkan di villa angker," terang Emir pada Farah, saat mereka tengah menikmati baso berdua."Serius? Wah, kebetulan sekali. Trus, anak kecil yang narik celana Mas tadi waktu mau masuk ke gedung, berarti anak Mbak itu?""Iya. Cantik ya, bola matanya abu-abu. Aku ingin kita punya banyak anak, jangan cuma dua, apalagi satu. Harus lima.""Ha ha ha ... Ogaaah! Capelah ngurusnya," tolak Farah sambil tertawa."Kan ada aku yang bantuin, Sayang. Adababy sitterjuga nanti yang bantuin, semoga kamu langsung isi," rengek Emir sambil menatap instens wajah cantik istrinya."Gak, ah. Punya anaknya nanti-nanti saja." Farah mengangkat telunjuknya di depan Emir, lalu ia gerakkan ke kanan dan ke kiri, tanda ia tidak setuju atas ucapan Emir.
Sepasang pengantin, baru saja mengarungi kenikmatan dunia. Dengan tubuh polos berpeluh, Emir memeluk sayang Farah yang kini resmi menjadi istrinya. Ya, walapun Farah memang sudah tidak gadis lagi, itu tidak masalah untuknya. Karena memang pekerjaan Farah menuntutnya, mau tak mau harus mengorbankan sesuatu yang sangat ia jaga.Farah memejamkan mata karena terlalu kelelahan. Acara pernikahan yang padat, macet saat perjalanan pulang, ditambah lagi harus memenuhi kewajibannya sebagai istri bagi Emir, lelaki yang ia cintai, membuat tubuhnya bagai tak bertulang."Mau aku buatkan makanan, Sayang?" bisik Emir di telinga Farah."Tidak, ah. Aku mengantuk." Farah berbalik, memunggungi suaminya. Matanya masih terpejam rapat. Emir tersenyum tipis, lalu mengecup kepala Farah. Ia pun turun dari ranjang pengantinnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan mandi hadas besar.Emir keluar dari kamar man
Ami bergegas membuka pintu untuk tamunya dengan sejuta tanya di kepala."Tuan, ada apa?""Maaf, Mbak Ami. Benar mas ini saudaranya Mbak Ami?" tanya Pak Jum yang ikut bersama Emir saat ini."Iya, Pak. Saya sepupunya, ya kan Mi?" sela Emir."I-iya, Pak. Sepupu jauh saya, namanya Emir," ujar Ami terbata."Gak boleh ngobrol lama ya, sudah malam. Pagar depan lima belas menit lagi saya kunci. Jadi hanya lima belas menit saja bicaranya," ujar Pak Jum kemudian berlalu dari depan kontrakan Ami."Aduh, Tuan. Ada apa malam-malam begini?" tanya Ami merasa tak enak."Saya tidak dipersilakan duduk?""Eh, iya. M-maaf, Tuan, karena kaget saya jadi lupa. Mari masuk, Tuan." Ami mempersilakan Emir masuk ke dalam kontrakannya. Lelaki yang memakai hoodie hitam itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, kemudian langsung menyaksikan Amira yang tengah terlelap dengan peluh bercucuran."Maaf, begini tempatny
Emir mencari tahu obat apa yang kini ada dalam genggamannya. Ternyata pil itu adalah obat pencegah kehamilan. Sudah ada tujuh tablet yang terbuka dari satu strip obat pencegah kehamilan tersebut. Kenapa sudah Farah minum sebanyak tujuh tablet? Berarti sebelum menikah, ia sudah terlebih dahulu mengonsumsi obat ini? Tega sekali.Emir berjalan ke tempat sampah, melemparkan obat itu ke dalamnya. Segera ia membuka ponsel, ada beberapa pesan dari Farah yang menanyakan keberadaannya. Ada juga lima panggilan tak terjawab dari Farah, dan satu panggilan video. Semua ia acuhkan, karena rasa kesal yang teramat sangat.Jemarinya menggeser layar ponsel, ada pembaruan status dari istrinya yang sedang menikmati kopi dengan majagernya di sebuah restoran di Malaysia. Hatinya terbakar cemburu, bagaimana bisa begitu ceria senyum sang istri saat menikmati siang di sana, dengan lelaki yang bukan suaminya."Sayang sekali tiket ke Bali yang sudah aku beli," guma
Emir, Amira, dan Aminarsih sudah berada di dalam bus, menuju Bali. Kenapa bisa naik bus? Karena Emir membatalkan tiket pesawat bisnisnya. Ami tak memiliki KTP, sehingga tidak memungkinkan untuk berangkat dengan pesawat bersama dengannya.Tak masalah bagi Emir, yang penting saat ini ia tengah menikmati langit malam bertabur bintang, dengan Amira yang duduk di pangkuannya. Ami tersenyum penuh arti. Dia yang duduk di kursi seberang, ikut menikmati perjalanan dengan menatap jalan tol yang padat merayap."Tidur saja! Aku akan menjaga Amira," ujar Emir pada Ami."Tak apa, Tuan. Saya akan menunggu Tuan dan Amira tidur, baru saya tidur.," jawab Ami sambil tersenyum. Bus eksekutif yang dinaiki mereka hanya terisi lima belas bangku, sedangkan sisanya kosong. Mungkin karena hari ini hari senin."Kamu lapar?""Mmm ... Tidak, Tuan. Lagian ini masih ada roti yang tadi Tuan belikan." Ami mengangkat bungkusan plastik roti dengan gam
Amira tidak mau turun dari punggung Emir, saat lelaki itu tengah mengonfirmasibookingankamar, di salah satu resort terkenal di Bali. Ami berusaha merayu puterinya agar mau turun, tetapi Amira menolak. Malah tangannya semakin kencang memeluk leher Emir. Apa lelaki itu marah? Tentu tidak. Emir malah tertawa cekikikan melihat kelakuan Amira yang sangat menggemaskan.Ami memperhatikan tempat paling bagus seumur hidup baru ini ia kunjungi. Yaitu, Bali dan benar-benar sangat bagus resort yang mereka datangi saat ini. Ada hamparan sawah hijau nan asri, udara segar, pepohonan seakan bersahabat dengan angin. Menambah kesejukan pada setiap orang yang berada di sana. Kolam renang dengan bentuk lonjong, bulat, dan juga kotak, tepat di atas tebing dengan pemandangan hutan tropis yang memanjakan mata. Benar-benar vitamin mata."Selamat bersenang-senang dengan keluarga," ucap pelayan resort ramah saat menyerahkan kunci kamar pada Emir."T
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira