"Mau apa lu?!" tanya Sonya dengan ketus pada Amira.
"Kakak mau apa, lempar batu ke dalam kamar mandi?""Bukan urusan lu! Sana pergi!" usir Sonya. Amira memutar bola mata malasnya, lalu berjalan meninggalkan Sonya sendirian di dekat kamar mandi. Suara air kloset kembali terdengar, dan itu membuat Sonya melihat kembali ke dalam toilet."Masuk aja, Kak. Di dalam kamar mandi gak ada siapa-siapa, kok?!" teriak Amira membuat seisi kelas Sonya menoleh padanya. Karena Amira tepat berdiri di depannya. Seketika bulu roma Sonya berdiri, lalu mundur perlahan dengan jantung hampir berlompatan.Blaam!Tak ada angin dan tak ada hujan, pintu kamar mandi tertutup sendiri."SETAAAN!" Sonya lari terbirit-birit masuk ke dalam kelas. Dengan nafas tersengal, Sonya mengusap dadanya, dengan wajah pucat."Hei, ada apa Sonya? Kenapa berteriak?" tanya Pak Guru memandang Sonya dengan tatapan ingin tahu.Sonya sudah berdiri di depan meja kepala sekolah. Di sampingnya ada Amira yang juga sudah berdiri, mengenakan baju olah raga dengan sebagain rok seragam yang basah. Bu Fitriah, selaku kepala sekolah, tentu sudah mendengar persoalan mata Amira yang terluka di sekolah dan ditambah hari ini, cucu pemilik sekolahnya malah terluka kembali di bagian wajah, karena tersiram kuah soto mie.Namun, tak banyak juga yang bisa ia lakukan, karena Sonya adalah cucunya. Bu Fitriah masih menatap kedua muridnya secara bergantian, lalu menghela nafas kasar."Jadi, benar kamu menumpahkan jus di atas mangkuk makanan Amira?" tanya Bu Fitriah pada Sonya."Tidak sengaja, Bu," sahut Sonya santai."Bagaimana bisa tidak sengaja? Memangnya kamu sedang apa?" cecar Bu Fitriah yang juga tak bisa melupakan begitu saja kesalahan Sonya."Sedang minum, jalan di dekat Amira, lalu didorong Kirana. Trus, gak sengaja jatuh deh.""Mari kita lihat CCTV kantin
Amira sedang dibacakan dongeng oleh papanya malam ini. Sebenarnya, ia sudah sangat mengantuk, tetapi dongeng yang diceritakan papanya begitu seru dan dia enggan buru-buru terlelap. Hal ini selalu dilakukan Emir, saat Amira mengalami susah tidur, jadi tidak setiap malam. Dalam sepekan, papanya akan membacakan cerita atau berdongeng bisa dua atau tiga kali.Tergantung sang papa sempat, dan sedang tidak keluar kota. Sejak kecil, Amira selalu dibacakan cerita oleh Papa Emir sebelum ia tidur malam. Bahkan hingga Amira berusia tiga belas tahun, Amira tak bisa melepas kebiasaan sejak kecilnya.Papa Emir bercerita tentang kisah Cinderella modern yang jatuh cinta pada seorang lelaki biasa. Seketika Amira mengingat sesuatu dan hampir saja ia lupa menanyakannya."Pa, emangnya pacaran itu apa?" tanya Amira yang tadinya berbaring, kini memilih duduk sambil menanti jawaban bijak sang papa."Kenapa tiba-tiba tanya itu?" Emir menutup buku ceri
Apakah Amira menangis saat dipermalukan di depan hampir semua anak kelas VIII? Tidak. Amira bersikap biasa saja. Tak ada sakit hati atau pun kecewa. Amira ditinggalkan dan ditertawakan oleh semua siswa, tapi ia tak peduli. Rambutnya ia kibaskan dengan kencang, agar sobekan kertas jatuh dari rambutnya. Amira juga menggunakan tangannya untuk menepuk-nepuk rambut keritingnya agar semua kertas benar-benar tak tersisa di mahkotanya.Aleta berlari menghampiri Amira dengan membawa serok sampah dan juga sapu. Ia membantu menyapu lantai yang penuh dengan sobekan kertas. Lalu, Andini dan Andrea mendekat pada Amira bermaksud memberikan dukungan."Jadi, lu naksir Kakak kelas itu?" tanya Andrea."Eh, iya kali," jawab Amira seadanya. Amira menyeringai lebar pada ketiga teman kembarnya yang selalu setia bersamanya, dalam keadaan apa pun."Dah, kalau tuh Kakak kelas gak suka diuber-uber gitu. Cuekin aja!" Andini merangkul pundak Amira, membawanya berjalan
Amira sudah berada di dalam kamar mandi sekolah. Ia mencuci bersih rambutnya dengan sampo yang dibelikan Adam di kantin sekolah. Bau sedikit amis dan minyak masih mengganggu indera penciumannya. Bagaiamana tidak? Hampir satu kotak bekal mie goreng ditumpahkan Revan di atas rambutnya.Siswa yang lain sampai meledeknya dengan kalimat, rambut dan bekal adik kakak. Namun Amira tak mau ambil pusing. Ia tetap membersihkan sampai tak ada lagi minyak di rambutnyanya. Si kembar tiga juga membantu Amira keramas di dalam kamar mandi, hingga sebagian baju Amira kembali basah."Ini, Non," ujar Adam mengulurkan baju kaus rumahan Amira pada Aleta."Ini baju siapa?" tanya Aleta."Baju Non Mira," jawab Adam, lalu segera berbalik keluar toilet. Andini masih sibuk menggosok rambut Amira yang tengah menunduk pasrah, sedangkan Andrea membantu menyemprotkan air di rambut Amira.Dua puluh menit kemudian, rambut Amira sudah kembali bersih. Baju s
Amira termenung di atas meja belajar dengan menumpang dagunya dengan tangan. Pikirannya melayang tentang kebenaran bahwa Kamila begitu membencinya karena ia adalah wanita yang selalu mengganggu abangnya. Ya, walau Kamila belum tahu secara lansung, tetapi ia takut tak sekali Kamila nanti jadi membencinya jika tahu keadaan yang sebenarnya.Belum ada satu soal pun yang ia kerjakan. Hal ini baru benar-benar terjadi dalam hidupnya semenjak melihat Revan. Amira menjadi lelet dalam melakukan hal apapun. Tak semangat mengerjakan PR dan selalu terbayang wajah bocah lelaki yang membuatnya malu di sekolah."Susah banget mau berteman doang. Padahal bukan ngajak pacaran," gumam Amira sambil menutup buku PR Bahasa Indonesia. Kakinya melangkah lemas mematikan saklar lampu, kemudian naik ke atas kasur empuk miliknya.KriingKriingKriingAmira tersentak, lalu dengan cepat mematikan alarmnya. Dengan mata masih setengah
Baru saja turun dari motor besarnya. Ponsel lelaki muda itu berdering. Segera ia berjalan ke pinggir koridor kampus, saat mendapati nama mamanya yang muncul di layar."Hallo, Assalamualaikum. Ada apa, Ma?""Wa'alaykumussalam. Abang bisa ke Rumah Sakit XXX ga?""Lho, Mama kenapa?""Bukan Mama, tapi adik kamu Revan membuat teman di sekolahnya sekarang masuk rumah sakit.""Waduh, itu bocah minta dilempar ke laut kayaknya.""Dah, ngomelnya nanti saja. Cepat ke sana! Semoga anak itu gak papa. Nanti Mama nyusul. Mama baru antar papa ke bandara.""Abang ada kelas, Ma. Habis Zuhur.""Ish, masih ada dua jam lagi. Cepat ke sana dulu! Talangin dulu pakai uang kamu ya. Nanti Mama ganti."Bahunya melorot lemas. Maksud hati ini mengajak makan siang wanita yang sedang ia taksir, malah gagal karena kelakuan adiknya.Lel
Seumur-umur Amira sekolah dari TK sampai SMP kelas satu. Belum pernah sama sekali ia berangkat naik sepeda motor. Ditambah lagi sepeda motor berukuran besar yang menurutnya sangat menyusahkan. Amira menyimpan tas ranselnya di depan tubuhnya. Sungguh tak sudi ia bersentuhan dengan si om pengemudi. Berkali-kali ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar, karena perjalanan terasa begitu lama jika naik sepeda motor.Ditambah lagi donal bebek di depannya tak berhenti berbicara apa saja. Amira sama sekali tak pernah menyahut apapun yang ditanyakan oleh kakak dari Revan itu. Menurutnya hanya buang-buang energi. Amira melirik jam tangannya, sudah pukul lima lebih empat puluh lima menit, yang jika ia naik sepeda, maka dipastikan ia sudah sampai di sekolah.Amira menarik nafas dalam kembali, ingin bicara tapi ragu. "Ini motor apa gerobak sih? Jalannya lama banget! Saya telat nih, Om," omel Amira dengan wajah mengerucut sebal. Ingin sekali rasanya ia mengg
Amira dan ketiga teman kembarnya berjalan masuk ke dalam kantin. Bibir mereka masih menyeringai lebar saat mengingat tragedi Sonya yang terhempas di lantai becek di dekat kelas mereka."Gue yakin, besok pasti dia pindah sekolah," celetuk Andini masih dengan sisa tawa yang tak kunjung usai."Masih bagus. Daripada dia gundulin rambut," timpal Amira sambil tertawa geli."Miraa!" ketiga melotot menatap Amira."Ada apa?" tanya gadis itu sambil menggerakkan kepalanya tak paham."Ucapan lu kan ajaib, Mira. Kasian dia kalau sampai botak beneran," jawab Andrea yang sudah duduk sambil menggenggam es teh manis. Amira hanya bisa menyeringai tanpa berniat menyahuti ucapan teman-temannya. Dalam hati ia berdoa, jangan sampai kakak kelasnya itu botak, cukup keluarkan dia dari sekolah ini. Amira bermonolog."Tuh, lihat! Ada cowoknya Amira," tunjuk Aleta pada sosok Revan yang baru saja masuk bersama satu orang teman wanitanya. Amira pu