Amira dan ketiga teman kembarnya berjalan masuk ke dalam kantin. Bibir mereka masih menyeringai lebar saat mengingat tragedi Sonya yang terhempas di lantai becek di dekat kelas mereka.
"Gue yakin, besok pasti dia pindah sekolah," celetuk Andini masih dengan sisa tawa yang tak kunjung usai."Masih bagus. Daripada dia gundulin rambut," timpal Amira sambil tertawa geli."Miraa!" ketiga melotot menatap Amira."Ada apa?" tanya gadis itu sambil menggerakkan kepalanya tak paham."Ucapan lu kan ajaib, Mira. Kasian dia kalau sampai botak beneran," jawab Andrea yang sudah duduk sambil menggenggam es teh manis. Amira hanya bisa menyeringai tanpa berniat menyahuti ucapan teman-temannya. Dalam hati ia berdoa, jangan sampai kakak kelasnya itu botak, cukup keluarkan dia dari sekolah ini. Amira bermonolog."Tuh, lihat! Ada cowoknya Amira," tunjuk Aleta pada sosok Revan yang baru saja masuk bersama satu orang teman wanitanya. Amira puAmira masih saja terus berjalan, tanpa mempedulikan lelaki berumur di sampingnya yang terus saja mendorong motornya pelan, untuk bisa berjalan bersama Amira. Jika Amira berhenti, maka motor itu pun berhenti. Jika Amira sedikit berlari, maka pemilik motor itu pun menyalakan mesin motornya untuk mengejar Amira.Untunglah sedikit lagi Amira sampai di rumah. Gerbang besar sudah terlihat di ujung sana. Reza masih setia di samping Amira. Keduanya tidak bersuara sama sekali, tepatnya Reza yang berhenti bicara, karena Amira tak kunjung menyahut setiap ucapannya."Nanti, kalau sampai di rumah. Saya minta minum ya Amira?" napas lelaki itu terdengar tersengal, dengan keringat membasahi kening, leher, juga baju kaus yang ia pakai."Males," jawab Amira singkat. Gadis itu masih enggan menoleh pada Reza."Kok gitu? Saya cape loh, antar kamu sampai rumah. Masa gak dikasih minum," ujar Reza sedikit merengek. Amira menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada
Cuaca di luar hujan gerimis. Langit begitu gelap, bagaikan waktu menjelang malam. Padahal sudah pukul lima empat puluh lima. Amira yang biasanya sudah berangkat, tiba-tiba saja malas, karena cuaca yang tidak mendukung. Lagi pula, ia malas bertemu dengan Revan, atau pun kakaknya."Loh, kok masih melamun? Mira gak berangkat?" tanya ibunya yang baru saja turun bersama sang papa. Dengan handuk membungkus rambutnya. Wanita setengah baya itu menarik kursi makan yang terbuat dari kayu jati untuk suaminya."Males, Bu. Cuacanya adem banget untuk rebahan lagi," jawab Amira sambil menguap lebar."Papa antar ya?" suara bariton itu membuat Amira menoleh, lalu tersenyum."Naik mobil apa?" gadis itu. Matanya masih saja malas memandang nasi goreng yang ada di depannya."Audi, Ibu. Mobil Papa lagi macet remnya. Nanti siang baru ada teknisi yang ke rumah," jawab papanya."Gak mau ah, kalau naik mobil mahal. Eh iya, Pa, Mira mau d
Dua hari sudah Amira merasakan hidup sangat tenang. Tak ada Sonya, tak ada Revan yang mengganggunya. Kakak Revan pun juga sudah beberapa hari tidak mengganggunya. Amira benar-benar nyaman di sekolah. Perihal upil ditaruh di rambutnya, atau rambutnya dijadikan tempat menaruh pensil, dia juga sudah terbiasa.Gadis itu memakan lahap apel yang ia bawa dari rumah. Bukan hanya satu, tapi lima buah apel ia makan dengan lahap. Banyak siswa dan siswi yang memperhatikan Amira dan menganggap Amira benar-benar gadis aneh."Mira, Om lu kok gak anter lagi? Nomor HP gue udah lu kasih belum?" Amira menoleh, lalu menyeringai lebar. Ia benar-benar lupa akan list nama siswi yang memberikan nomor ponselnya untuk Reza."Om Reza lagi ke Libanon, Kak," jawab Amira asal. Jauh di lubuk hatinya, ia berharap Reza berada di kutub utara saja, agar tidak bisa mengganggunya kembali."Wah, keren." Mata kakak kelas Amira itu berbinar. Ia menarik kursi plastik di samping A
Amira berjalan santai ke area parkir sepedanya. Walau sedikit kaget, ia berusaha biasa saja. Sudah ada Reza di dekat sepedanya dengan setelan jaket berwarna coklat susu dipadupadankan celana jeans. Jujur, Reza tampan, tetapi tak mampu membuat Amira menyukainya. Justru gadis itu sangat jengah dengan adanya Reza di sekolahnya."Mau apa sih ke sini?" tanya Amira dengan tangan mendorong tubuh Reza yang sedikit menjauh. Lelaki muda itu masih saja tersenyum sambil memperhatikan gerakan Amira."Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" sahut Reza meledek gadis di depannya."Permisi, saya mau pulang," kata Amira lagi. Namun, tetap tak ada sahutan dari Reza. Gadis itu pun tak peduli. Ia naik ke atas sepeda, lalu mengayuhnya dengan santai. Amira menoleh sekilas ke belakang. Ia dapat bernapas lega, saat menemukan Adam yang juga tengah mengayuh sepedanya jauh di ujung sana. Sedangkan lelaki dewasa aneh tadi, sudah tak terlihat lagi."Dasar orang gak jelas,"
Amira menatap ibunya, seakan meminta restu. Wanita setengah baya itu mengangguk pelan. Dengan tangan dan kaki gemetar, ditambah pelukan kuat dari Mahesa dan Mahendra di kakinya, Amira semakin yakin untuk mengeluarkan kekuatannya.Kedua tangan ia letakkan di dinding lift. Matanya terpejam dengan napas sedikit tersengal."Bismillah. Bantu Mira ya, Allah," gumamnya sambil menekan kuat dinding lift. Perlahan dan sangat pelan, lift kembali naik. Semua yang ada di sana terbelalak menatap tak percaya, bahwa lift kembali berfungsi. Mereka tak tau, jika Amira menggunakan kekuatan yang sebenarnya tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.Ada raut kelegaan pada semua orang yang ada di sana, tapi tidak dengan Amira. Gadis itu tengah sekuat tenaga mengeluarkan kekuatannya untuk membantu banyak orang yang sudah ketakutan.ClingSuara pintu lift terbuka dan lampu kembali menyala. Semua orang berhamburan keluar dari lift. Amira lema
Amira dan Reza dilarikan ke rumah sakit terdekat. Luka lecet dan juga cedera di kepala membuat keduanya harus segera dijahit. Aminarsih menangis sesegukan. Ia sangat takut jikalau Yasmin;ibunya Reza marah padanya, karena sudah mengajak anak lelakinya pergi tanpa ijin."Bu, ya Allah," suara bariton suaminya, Emir. Membuatnya semakin sedih. Lelaki itu membentangkan tangan memeluk istrinya yang tengah ketakutan."Sudah-sudah, yang penting Amira dan Reza sudah ditangani dengan baik. Ibu jangan nangis terus." Emir menanangkan istrinya sambil mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan."Mahesa, Mahendra, ayo ikut bibik pulang!" Emir memanggil dua anaknya. Ada Bik Astri yang ikut menemani Emir ke rumah sakit, untuk membawa pulang si bontot. Keduanya mengangguk, masih dengan wajah syok. Di tangan mereka masing-masing memegangtotte bagberisi buku yang baru saja mereka beli."Reza dirawat di mana?" tanya Emir.
Hasil pemeriksaan kepala Amira cukup baik. Hanya saja dokter berpesan bahwa kepala gadis itu jangan sampai terbentur lagi. Emir dan Aminarsih juga harus memperhatikan olah raga yang baiknya bisa diikuti Amira, agar bagian kepalanya tetap Aman.Hal itu ia beritahukan pada puterinya yang tengah menyalin tugas yang diberitahukan Andrea lewat Adam."Mira," sapa Aminarsih pada puterinya, saat membuka pintu kamar."Ya, Bu. Masuk aja," jawab Amira sambil melemparkan senyuman manis hingga lesung pipinya terlihat."Sedang apa?" Aminarsih masuk ke dalam kamar Amira, lalu memilih duduk di atas ranjang."Bikin PR," jawab Amira sambil membalik tubuhnya hingga menghadap sang ibu."Bang Reza pulang jam berapa dari sini?" tanya Aminarsih, dan seketika itu juga, air muka Amira berubah keruh."Sore, Bu, dan Amira pastikan Om Reza atau Revan, takkan pernah mengganggu Amira lagi," terang Amira tegas. Gadis itu bang
Semua penghuni SMP Kusuma Wijaya geger dengan penampilan Amira terbaru. Gadis yang dulunya memiliki tompel di pipi, rambut keriting berantakan, dekil. Hari ini berubah menjadi lebih cantik dan rapi. Rambutnya yang diikat tinggi, dengan aksesoris rambut lucu yang terselip di poni. Membuat Amira seakan wajah baru di sekolah.Di kantin, Amira menjadi pusat perhatian. Padahal ia baru saja tiba sambil menenteng dua buah apel di tangannya. Etalase baso rawit adalah pilihannya. Dengan sabar, ia menunggu antreannya pada baris ketiga. Di belakangnya ada Andrea, Aleta, dan juga Andini. Di etalase soto mie dan es campur, anak-anak ikut memperhatikan Amira. Mereka kasak-kusuk mengomentari penampilan gadis itu yang saat ini begitu berbeda."Mira, lu jadi pusat perhatian tau," bisik Andrea dengan ekor mata menjelajah sekeliling. Amira ikut menoleh ke belakang, lalu kembali berbisik pada Mira."Pusat itu, yang ini bukan?" Amira menunjuk tengah perutnya.
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira