Amira di bawa ke ruang UKS oleh salah seorang petugas keamanan sekolah, yang menggendong sambil berlari. Amira masih menutupi matanya yang sepertinya terluka. Bu Dewi yang melihat Amira digendong dalam keadaan tak biasa, memilih membatalkan niatnya masuk ke dalam kantor, lalu melangkah lebar menyusul Pak Rudi yang tengah menggendong Amira ke ruang UKS.
"Ada apa ini, Pak?" tanya Bu Dewi saat Amira sudah berada di atas ranjang single.
"Sepertinya ada anak-anak yang mengerjai Amira, Bu. Anak pemulung di depan itu yang melihatnya," jawab Pak Rudi sambil menoleh ke luar. Masih ada anak lelaki kecil berdiri di dekat pintu dengan karung barang bekas di pundaknya.
"Sakit, Bu," rintih Amira masih memegangi mata kanannya. Bu Dewi mendekat, lalu menarik pelan tangan Amira.
"Ya Allah, berdarah. Pak Rudi, Amira harus di bawa ke rumah sakit. Ayo, Pak. Cepat!" Bu Dewi berlari ke dalam kantor untuk mengambil tas, dan melaporkan kejadian yang menimpa Amira pada tema
Amira sudah diperbolehkan pulang, sore itu juga, oleh dokter jaga UGD. Namun, Amira harus kembali besok untuk periksa langsung ke dokter mata. Karena hari ini, dokter mata kebetulan tidak ada yang praktek sore. Bola mata Amira memang terluka karena kena kuku dari pelaku."Pa, itu yang nolongin Mira," tunjuk Amira, saat berjalan keluar menuju lobi rumah sakit, pada seorang anak lelaki kecil yang berjongkok di dekat tempat sampah."Hei, kamu!" panggil Emir, membuat anak pemulung itu setengah kaget, lalu segera berdiri."Tuan panggil saya?""Apa benar kamu yang telah menyelamatkan anak saya?""Mmm ... i-itu ....""Apa yang kamu lakukan di sekolah?""Saya memulung barang-barang di kebun belakang sekolah, setiap dua hari dalam seminggu, Tuan," jawab anak lelaki itu masih tak berani menatap orang dewasa, lawan bicaranya."Kamu tidak sekolah?" tanya Emir lagi, masih memperhatikan anak lelaki di depannya ini."Tidak, Tuan. Tidak
Amira masuk ke dalam kelas yang masih lengang. Sudah pukul enam pagi, tetapi belum ada satu pun teman di kelasnya yang hadir. Apakah dia kepagian? Amira melihat jam tangannya. Lalu mengangkat bahu, dan kembali berjalan ke arah mejanya."Assalamualaykum. Kamu, yang lagi ngumpet di balik lemari. Ngapain masih di situ? Sana pergi! Jangan ganggu teman-temanku," usir Amira pada makhluk tak kasat mata yang bersembunyi. Amira yang fokusnya pada meja, kini menoleh pada makhluk yang masih tak bergerak di sana."Ck, masih belum pergi juga! Pergi, gue bilang!" Mira menekan suaranya agar tidak menjadi pusat perhatian lalu-lalang siswa kelas lain saat melewati kelasnya."Tolongin, Mira. Ini, ada buku yasin jatuh. Jadi, saya gak bisa lewat. Kejepit nih!"Amira mencebik. "Udah jelek, nyusahin lagi!" umpat Amira sembari berjalan ke arah lemari. Benar saja, ada satu buah buku yasin jatuh di lantai, tepat di depan makhluk tak kasat mata itu tengah melayang. Ami
"Mau apa lu?!" tanya Sonya dengan ketus pada Amira."Kakak mau apa, lempar batu ke dalam kamar mandi?""Bukan urusan lu! Sana pergi!" usir Sonya. Amira memutar bola mata malasnya, lalu berjalan meninggalkan Sonya sendirian di dekat kamar mandi. Suara air kloset kembali terdengar, dan itu membuat Sonya melihat kembali ke dalam toilet."Masuk aja, Kak. Di dalam kamar mandi gak ada siapa-siapa, kok?!" teriak Amira membuat seisi kelas Sonya menoleh padanya. Karena Amira tepat berdiri di depannya.Seketika bulu roma Sonya berdiri, lalu mundur perlahan dengan jantung hampir berlompatan.Blaam!Tak ada angin dan tak ada hujan, pintu kamar mandi tertutup sendiri."SETAAAN!" Sonya lari terbirit-birit masuk ke dalam kelas. Dengan nafas tersengal, Sonya mengusap dadanya, dengan wajah pucat."Hei, ada apa Sonya? Kenapa berteriak?" tanya Pak Guru memandang Sonya dengan tatapan ingin tahu.
Sonya sudah berdiri di depan meja kepala sekolah. Di sampingnya ada Amira yang juga sudah berdiri, mengenakan baju olah raga dengan sebagain rok seragam yang basah. Bu Fitriah, selaku kepala sekolah, tentu sudah mendengar persoalan mata Amira yang terluka di sekolah dan ditambah hari ini, cucu pemilik sekolahnya malah terluka kembali di bagian wajah, karena tersiram kuah soto mie.Namun, tak banyak juga yang bisa ia lakukan, karena Sonya adalah cucunya. Bu Fitriah masih menatap kedua muridnya secara bergantian, lalu menghela nafas kasar."Jadi, benar kamu menumpahkan jus di atas mangkuk makanan Amira?" tanya Bu Fitriah pada Sonya."Tidak sengaja, Bu," sahut Sonya santai."Bagaimana bisa tidak sengaja? Memangnya kamu sedang apa?" cecar Bu Fitriah yang juga tak bisa melupakan begitu saja kesalahan Sonya."Sedang minum, jalan di dekat Amira, lalu didorong Kirana. Trus, gak sengaja jatuh deh.""Mari kita lihat CCTV kantin
Amira sedang dibacakan dongeng oleh papanya malam ini. Sebenarnya, ia sudah sangat mengantuk, tetapi dongeng yang diceritakan papanya begitu seru dan dia enggan buru-buru terlelap. Hal ini selalu dilakukan Emir, saat Amira mengalami susah tidur, jadi tidak setiap malam. Dalam sepekan, papanya akan membacakan cerita atau berdongeng bisa dua atau tiga kali.Tergantung sang papa sempat, dan sedang tidak keluar kota. Sejak kecil, Amira selalu dibacakan cerita oleh Papa Emir sebelum ia tidur malam. Bahkan hingga Amira berusia tiga belas tahun, Amira tak bisa melepas kebiasaan sejak kecilnya.Papa Emir bercerita tentang kisah Cinderella modern yang jatuh cinta pada seorang lelaki biasa. Seketika Amira mengingat sesuatu dan hampir saja ia lupa menanyakannya."Pa, emangnya pacaran itu apa?" tanya Amira yang tadinya berbaring, kini memilih duduk sambil menanti jawaban bijak sang papa."Kenapa tiba-tiba tanya itu?" Emir menutup buku ceri
Apakah Amira menangis saat dipermalukan di depan hampir semua anak kelas VIII? Tidak. Amira bersikap biasa saja. Tak ada sakit hati atau pun kecewa. Amira ditinggalkan dan ditertawakan oleh semua siswa, tapi ia tak peduli. Rambutnya ia kibaskan dengan kencang, agar sobekan kertas jatuh dari rambutnya. Amira juga menggunakan tangannya untuk menepuk-nepuk rambut keritingnya agar semua kertas benar-benar tak tersisa di mahkotanya.Aleta berlari menghampiri Amira dengan membawa serok sampah dan juga sapu. Ia membantu menyapu lantai yang penuh dengan sobekan kertas. Lalu, Andini dan Andrea mendekat pada Amira bermaksud memberikan dukungan."Jadi, lu naksir Kakak kelas itu?" tanya Andrea."Eh, iya kali," jawab Amira seadanya. Amira menyeringai lebar pada ketiga teman kembarnya yang selalu setia bersamanya, dalam keadaan apa pun."Dah, kalau tuh Kakak kelas gak suka diuber-uber gitu. Cuekin aja!" Andini merangkul pundak Amira, membawanya berjalan
Amira sudah berada di dalam kamar mandi sekolah. Ia mencuci bersih rambutnya dengan sampo yang dibelikan Adam di kantin sekolah. Bau sedikit amis dan minyak masih mengganggu indera penciumannya. Bagaiamana tidak? Hampir satu kotak bekal mie goreng ditumpahkan Revan di atas rambutnya.Siswa yang lain sampai meledeknya dengan kalimat, rambut dan bekal adik kakak. Namun Amira tak mau ambil pusing. Ia tetap membersihkan sampai tak ada lagi minyak di rambutnyanya. Si kembar tiga juga membantu Amira keramas di dalam kamar mandi, hingga sebagian baju Amira kembali basah."Ini, Non," ujar Adam mengulurkan baju kaus rumahan Amira pada Aleta."Ini baju siapa?" tanya Aleta."Baju Non Mira," jawab Adam, lalu segera berbalik keluar toilet. Andini masih sibuk menggosok rambut Amira yang tengah menunduk pasrah, sedangkan Andrea membantu menyemprotkan air di rambut Amira.Dua puluh menit kemudian, rambut Amira sudah kembali bersih. Baju s
Amira termenung di atas meja belajar dengan menumpang dagunya dengan tangan. Pikirannya melayang tentang kebenaran bahwa Kamila begitu membencinya karena ia adalah wanita yang selalu mengganggu abangnya. Ya, walau Kamila belum tahu secara lansung, tetapi ia takut tak sekali Kamila nanti jadi membencinya jika tahu keadaan yang sebenarnya.Belum ada satu soal pun yang ia kerjakan. Hal ini baru benar-benar terjadi dalam hidupnya semenjak melihat Revan. Amira menjadi lelet dalam melakukan hal apapun. Tak semangat mengerjakan PR dan selalu terbayang wajah bocah lelaki yang membuatnya malu di sekolah."Susah banget mau berteman doang. Padahal bukan ngajak pacaran," gumam Amira sambil menutup buku PR Bahasa Indonesia. Kakinya melangkah lemas mematikan saklar lampu, kemudian naik ke atas kasur empuk miliknya.KriingKriingKriingAmira tersentak, lalu dengan cepat mematikan alarmnya. Dengan mata masih setengah
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira