Pagi harinya Dinda pun terbangun.Tapi dia merasa ada yang aneh.Tubuhnya terasa berat seperti ada beban yang menimpanya.Ternyata ada tangan yang melingkar di pinggangnya.Dinda terdiam sejenak dalam pikirannya.Hingga sesaat kemudian ada dengkuran halus yang terdengar dan merasa napas hangat yang berhembus pada bagian punggungnya.Perlahan ia pun bergeser dan melihat ke belakang.Ternyata Dimas di sana yang masih tertidur pulas.Dinda pun bingung karena tak tahu kapan Dimas pulang.Hingga sudah berada di sana bahkan masih tertidur pulas.Dinda sudah terlalu kelelahan menangis hingga membuatnya langsung tertidur.Dan untuk Dimas yang memeluknya Dinda juga tak menyadari entah sejak kapan.Dinda pun segera bergeser dan tanpa sengaja membuat tangan Dimas terjatuh dari tubuhnya.Saat itu tidur Dimas pun terusik dan dia pun membuka matanya.Dimas melihat Dinda yang sudah duduk di ranjang sambil bergerak turun.Tapi Dimas memegang tangan Dinda.Dinda pun tersadar jika Dimas sudah bangun.T
"Ayo kita pulang," Dimas pun memeluk Moza.Dia bisa melihat wajah Moza yang penuh dengan ketakutan."Moza, nggak mau satu mobil bareng dia!" Moza pun menatap Dinda penuh kebencian.Lagi pula apa yang dia alami saat ini itu karena Dinda.Ya, Moza mengatakan ini adalah salah Dinda."Kenapa?" tanya Dimas."Kenapa tadi malam, Papi nggak datang di acara itu?" Air mata Moza menetes dengan sendirinya.Dia kesal karena tadi malam adalah acara makan malam bersama dengan Megan untuk merayakan ulang tahun Maminya tersebut.Seharusnya mereka makan malam layaknya keluarga bahagia.Tapi apa?Dimas tidak hadir sama sekali.Dan itu sudah pasti karena istri barunya.Dinda adalah penyebabnya!Moza akan semakin membenci Dinda setelah hari ini.Bahkan keinginannya untuk meminta kedua orang tuanya bersama kembali hancur berantakan.Lagi-lagi Dinda adalah penyebabnya.Sampai kapan pun Moza tak akan pernah bisa menerima ini semua.Dia sangat membenci Dinda dan itu untuk selamanya."Maaf, Papi ada pekerjaan
Setelah mengantarkan Moza kembali ke rumah dia langsung menuju kantor.Awalnya dia berpikir jika Dinda sudah sampai di kantor lebih awal.Tetapi ternyata tidak.Karena saat dirinya sampai di kantor nyatanya wanita itu tidak ada.Ssstttt!!!Suara desahan Dinda pagi ini terus saja terngiang-ngiang di benak seorang Dimas.Wanita itu seakan begitu menantang dan membuatnya tak dapat melupakan dengan mudahnya.Tak ada raut wajah malu ataupun pura-pura malu.Yang ada Dinda mampu mengimbangi dirinya, membalas setiap sentuhan yang dia berikan.Dimas pun mengacak rambutnya hingga berulangkali.Karena sangat sulit rasanya mengkondisikan pikirannya sendiri.Dimas yang duduk di kursi kebesarannya pun bertanya-tanya kemana perginya wanita itu.Kini dia pun menatap Gilang yang berdiri di hadapannya dengan tajam."Kau yakin dia belum sampai?"Dia yang dimaksud oleh Dimas adalah Dinda.Dan Gilang sudah mengerti."Belum, Pak Presdir.""Kau sudah tahu dia itu siapa?" Dimas memicingkan matanya melihat Gi
Jantung Dinda semakin berdegup kencang saat Laras semakin mendekati dirinya.Namun, ternyata Laras melewatinya dan membuat Dinda pun bingung.Karena sempat berpikir jika Laras menghampirinya.Sesaat kemudian Laras pun mengambil sebuah bingkai foto yang dipajang di meja sudut ruangan.Sejenak dia melihat wajah-wajah yang ada di sana.Kemudian kembali berjalan ke arah Dinda.Dinda bingung saat Laras memberikan padanya."Ambil," Laras pun menggerakkan tangannya karena Dinda tampak kebingungan.Perlahan Dinda pun mengambilnya dan melihat gambar wajah di sana.Dimas, Megan, Moza.Wajah ketiganya ada di sana.Lantas untuk apa Laras memberikan pada Dinda?Dinda sangat kebingungan."Lempar gambar itu pada wajah suami mu!" titah Laras.Deg!Dimas tercengang mendengar ucapan Laras barusan.Apakah ini mungkin?Dia sudah berpikir jika Dinda akan segera berakhir saat ini juga.Akan tetapi ternyata apa yang dia saksikan jauh dari apa yang dia pikirkan.Mencengangkan."Lempar?" tanya Dinda yang tida
Keduanya pun turun dari mobil setelah sampai di tempat tujuan.Perusahaan milik Marcell Wijaya atau yang sering kali disebut Tuan Wijaya.Keduanya disambut oleh seorang asisten dari Tuan Wijaya dan dipersilahkan untuk duduk."Untuk kali ini anda yang datang ke perusahaan kami, ini suatu kehormatan," Tuan Wijaya pun mengulurkan tangannya pada Dimas.Menyambut hangat rekan kerjanya tersebut dan disambut dengan baik."Saya juga senang bisa datang ke perusahaan, Anda," jawab Dimas.Selesai keduanya berjabat tangan kini Wijaya pun melihat seorang wanita yang duduk di samping Dimas.Mata Wijaya tak dapat beralih menatap wajah wanita itu.Mungkin ini untuk kali kedua dia melihat Dinda."Selamat datang juga," Wijaya kembali mengulurkan tangannya pada Dinda.Kali ini Dinda membalas uluran tangan Wijaya.Namun, saat itu Wijaya tampaknya tak ingin melepaskan tangan Dinda.Membuat Dinda yang berusaha untuk melepas tangannya."Maaf," Wijaya menyadari kesalahan apa yang dia lakukan barusan.Dari awa
Namun, saat Dinda akan pergi terasa ada yang menarik lengannya."Kembalikan uangnya!" Dimas pun menggerakkan tangannya meminta Dinda mengembalikan uang tersebut pada Megan.Dinda pun menggelengkan kepalanya dengan cepat.Tangannya memeluk tas miliknya dimana uang nya sudah dia simpan di dalam sana."Nanti saya akan menggantinya!"Dinda pun mengangguk saat mendengar apa yang dikatakan oleh Dimas."Awas kalau bohong!" Dinda pun memicingkan matanya melihat Dimas seakan tengah menimbang sesuatu."Cepat!"Dimas pun tidak dapat bersabar akhirnya merebut dengan paksa.Tampak Dinda begitu kecewa karena uangnya kini sampai di tangan Dimas.Sesaat kemudian Dimas mengembalikan pada Megan."Kau sangat keterlaluan!" geram Dimas.Dinda yang berdiri tak jauh dari Dimas pun tersenyum pada Megan.Tepatnya senyuman mengejek mantan istri Dimas tersebut."Dimas, maksud ku tidak seperti ini," Megan merasa panik karena Dimas malah berbalik marah padanya.Bukan pada Dinda yang seharusnya menjadi sasaran D
Setelah membagikan uangnya Dinda pun segera pergi.Puas rasanya bisa melihat wajah-wajah mereka yang biasanya kelaparan kini tampak begitu bahagia saat menerima uang tersebut.Dinda sempat menghitung jumlah sekitar Rp100.000.000.Tentunya itu nominal yang tidak sedikit.Dia berjalan di atas trotoar hingga tiba-tiba saja ada mobil yang berhenti.Bahkan pintu mobilnya langsung terbuka lebar.Membuat Dinda tersentak kala itu juga.Sambil melihat siapakah orang tersebut.Dimas."Masuk!"Suara berat Dimas pun terdengar membuat Dinda pun segera masuk.Duduk di samping Dimas.Sesaat kemudian Dimas pun kembali mengemudikan mobilnya."Aku pikir anda sudah pulang duluan," kata Dinda."Memangnya kau pikir saya mau menunggu mu!" ketus Dimas.Dinda pun bingung sambil menatap wajah Dimas dari sampingnya.Wajah tampan.Rahang tegas, hidung mancung dan matanya yang berwarna kecoklatan.Cukup sempurna.Sayangnya terlalu angkuh."Saya hanya lewat, tadi ada urusan. Dan, kebetulan melihat mu! Jangan lupa
"Kalian sudah sampai?" Laras pun tersenyum sambil melihat Dimas dan Dinda sudah kembali ke rumah."Sudah, Bu," jawab Dinda.Sedangkan Dimas langsung saja menuju kamar."Baiklah, Ibu mau ke dapur," Laras melihat tas Dinda dengan senyuman samar, "tolong bantu, Ibu di dapur," kata Laras lagi."Baik, Bu," Dinda pun meletakkan tasnya pada sofa.Kemudian mengikuti Laras menuju dapur.Sampai di dapur semua pembantu di minta untuk pergi oleh Laras."Semuanya silahkan pergi, yang akan memasak untuk makan malam ini adalah menantu saya!" terang Laras.Laras sengaja mengatakan itu agar semuanya tidak lagi menganggap Dinda adalah seorang pembantu seperti sebelumnya Dinda sering membantu Kinara untuk bekerja di rumah mewahnya."Keluarkan bahan makanannya!" titah Laras pada Dinda."Baik, Bu."Dinda segera melakukan perintah dari Laras."Kamu harus masak, dan nanti saat makan malam kita semua akan mencicipi masakan mu!" tegas Laras.Dinda pun mengangguk mengerti.Sesaat kemudian Laras pun pergi dan m
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang