Bagi Ana, Adam adalah pahlawan untuknya, laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya itu seperti paman berkaki panjang yang telah mengubah hidupnya, bahkan saat dia sudah menjadi artis, Adam juga dengan setia mendampinginya. Bahkan saat ini dia juga tidak keberatan mengurus hal-hal remeh seperti mendaftar ke dokter yang seharusnya bukan bagian dari pekerjaannya. “Kamu mendapat nomer antrian dua,” kata Adam dengan wajah masam. “Kok kayaknya nggak ikhlas mas Adam bantu aku,” kata Ana sambil menatap managernya itu. “Bukan tidak ikhlas tapi males saja lihat orang yang suka ngeyel seperti kamu.” “Apa bedanya?” “Nanti saja aku pikirkan bedanya, sekarang kamu duduk yang manis menunggu di bangku itu, aku belikan makanan.” “Kok tahu aku belum sarapan pagi?” tanya Ana dengan mata bulatnya yang besar menatap penasaran pada Adam. “Dari wajahmu yang terlihat kelaparan,” kata Adam asal. “Jadi kamu mau makan apa?”
Ana terduduk lemas di depan ruangan dokter, otaknya terasa kosong, tak mampu untuk diajak berpikir barang sejenak. Hilir mudik pasien yang masuk ke ruangan dokter menjadi pemandangan yang makin menyesakkan hatinya, kebanyakan dari mereka berbawah ceria dan senyum lebar, dengan langkah kaki pelan, seolah sangat takut kalau llangkah kaki yang terburu-buru akan membuatnya tak nyaman, dan yang membuat Ana makin iri adalah adanya seorang laki-laki yang mendampingi mereka, menggenggam lembut tangan mereka dan membimbingnya dnegan sayang. Hal kecil yang bagi Ana adalah sebuah kemustahilan. Ana memang bukan remaja ingusan yang baru saja melakukan dosa denganpacarnya dan membuatnya harus menanggung akibatnya sendirian, sedangkan sang pacar sudah punya gandengan baru dan ak mau tahu dengan urusannya. Bukan, dia wanita dewasa dan telah menikah, anak ini juga lahir dengan pernikahan yang sah. Anak ini memang diinginkan keluarga itu, Akan tetapi apakah nan
Seperti malam-malam sebelumnya, Ana juga tak bisa tidur dengan nyenyak, matanya seolah diganjal dengan lidi, padahal tubuhnya sudah sangat lelah dan dia sadar betul kalau dia butuh istirahat, tubuhnya tidak akan sama lagi sekarang, ada bayi yang sedang tumbuh di rahimnya.Ana mengambil ponselnya dan membuka galeri di ponselnya, ada satu buah foto Raffael di ponselnya, Foto saat hari pernikahan mereka yang diam-diam Ana ambil dengan meminta salah satu staff EO, tentu saja dengan berbagai alasan yang logis. Mereka memang memakai jasa fotografer profesional yang diminta oleh orang tua Raffael, tapi sampai saat ini Ana tak pernah mendapatkan satu pun foto itu, bahkan di rumah ini tak ada satu pun foto dirinya, seolah kehadirannya di rumah ini hanya fatamorgana. Di foto itu meski diambil secara candid, tapi Raffael terlihat sangat tampan, seperti pangeran dari negeri dongeng saja. Memang benar adanya Raffael adalah pangeran yang akan mewarisi semua kekayaan
Ana mengerjapkan matanya, dia khawatir sudah tertidur dan hanya bermimpi, rugi banget bukan kalau dia sudah sangat senang tapi ini hanya mimpi belaka dan tak pernah jadi nyata. Ana sedikit mencubit lengannya sendiri dan terasa sakit, jadi bisa dipastikan dia tidak bermimpi, tapi tetap saja perkataan Raffael sulit untuk dia cerna dengan baik. “Ka... kamu yakin, Raf?” tanya Ana, hatinya entah mengapa tak sesenang yang dia kira. Raffael yang dia kenal tak pernah memperlakukannya sebaik ini selama mereka berstatus suami istri, bukankah perubahan yang mendadak juga patut dicurigai. “Tentu saja, bukankah seharusnya aku juga menyapa keluargamu.” Ana memandang Raffael sejenak, dia tak yakin suaminya yang selalu tampil tampan dan karismatik serta bau duit akan mampu hidup di rumah masa kecilnya. Oh, bukan karena rumah sang nenek tidak layak huni, setelah menjadi artis Ana memang membangun sebuah rumah seperti impian sang nenek, sede
Raffael menatap itu semua dengan hati yang berkecamuk, bingung harus berbuat apa, di satu sisi dia harus meneruskan rencananya untuk membalas dendam pada Ana yang telah memporakporandakan hidupnya, tapi di sisi lain Raffael juga manusia yang masih punya hati, dia tak mungkin membuat kecewa semua orang dengan bersikap tak sepantasnya. “Maksudnya pengaantin baru itu kita? Aku tidak tahu kalau kamu merencanakan acara seperti ini, memalukan,” gumam Raffael tajam di telinga Ana. Raffael bisa melihat mata indah Ana terbelalak mendengar ucapan tajamnya, tapi dia tahu kalau itu hanya kepura-puraan saja, dia pasti sudah merencanakan ini semua untuk semakin menjeratnya, apa dia telah salah menururti permintaan Bella hanya demi selembar tiket audisi, istrinya itu pasti tak akan menyangka kalau Ana sudah memasang jebakan untuknya. “Wah selamat datang di kampung kami,” kata beberapa orang laki-laki paruh baya yang berkumpul di sana, terlihat banyak sekali tamu yang
Ana bangun tidur dengan hati yang was-was. Benar saja tangannya sakit karena semalam dia tertidur miring dengan kaku seprti robot, sedangkan Raffael yang seolah tak berdosa menjadikannya seperti guling. Apa laki-laki yang menjadi suaminya ini terbiasa tidur dengan banyak wanita? Pertanyaan itu langsung mampir begitu saja ke otaknya, Raffael memang marah saat mereka ‘tidur besama’ malam itu, tapi perlakuan Raffael padanya saat mereka terpaksa harus tidur sekamar membuatnya berpikiran seperti itu. Atau karena aku sama sekali tak menarik hatinya, karena itu tak ada hal yang perlu dicemaskan, mungkin bagi Raffael dia hanya wanita yang menampung benihnya dan akan mengandung anak yang diinginkan oleh orang tuanya. Ana sadar selama ini tidak pernah melihat Raffael besama anak-anak, memang ada artis-artis cilik yang bernaung di bawah perusahaan managemannya, tapi Ana tak pernah melihatnya dekat dengan mereka, atau pun ada berita di infotemen
Tinggal di desa memang tak sepenuhnya menyebalkan. Memang tidak ada jaringan internet yang memadai dan juga mall yang bisa dia tuju jika membutuhkan sesuatu, tapi bagi Raffael pemandnagan indah juga sapaan ramah orang-orang yang bertemu dengannya membuat hatinya senang, padahal dia tidak mengenal mereka semua, sangat berlawanan memang dengan kehidupannya di kota yang jarang sekali berteur sapa dengan tetangga. Yang makin membuat Raffael cukup terkejut adalah, istrinya yang ternyata cukup oportunis, bagaimana tidak, sudah tyahu kalau dia biasanya hanya bekerja memegang kerja dan komputer saja, tapi di sini, Ana memintanya untuk membantu mengangkut kacang panjang hasil kebun neneknya. “Ana kamu itu masak suamimu di suruh angkat karung, nanti dia bisa sakit karena tak terbiasa,” kata sang nenek tak setuju saat Ana meminta suaminya ikut bersama seorang laki-laki sebayanya yang biasa bertugas mengangkut hasil panen neneknya. Dibela demikian Raffael
“Tiga hari lagi audisi akan diadakan, paling lambat besok undangan itu sampai ke rumah Raffael, kamu masih bisa berubah pikiran, tapi aku akan pastikan sendiri kondisimu dan bayi dalma kandunganmu baik-baik saja,” kata Adam di ujung sana, bahkan Ana belum sempat mengatakan halo. Dia memang masih tinggal di rumah neneknya, mungkin untuk dua hari ke depan atau entahlah sampai kapan, sebenarnya dia sangat senang tinggal di sini, tapi sekarang dia seorang istri tidak mungkin rasanya dia tinggal di sini tanpa dipandang negative oleh orang-orang. “Kamu tahu aku sangat menginginkannya, tapi Raffael akan langsung membunuhku kalau dia tahu aku syuting dalam keadaan hamil.” Belum hamil saja Raffael sudah mengacaukan semua kontraknya, apalagi kalau Ana sudah hamil, dan dia tahu benar itu dilakukan Raffael bukan karena perhatian padanya tapi karena ingin membuatnya gila saja. “Apa dia sudah tahu?” “Belum aku belum mengatakannya, aku belum siap,”
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan