Akhrinya tiba, Rania kembali menginjakkan kakinya di negara kelahirannya.
“I’m back.”
Rania melihat mobil yang menjemputnya, ia pun segera melambaikan tangan pada supir yang menunggunya.
Di perjalanan ia melihat toko bunga, ia teringat ibunya dan meminta sopir untuk berhenti sejenak.
“Sebentar, aku ingin membeli bunga untuk mommy ku.”
Bunga lili putih dengan kombinasi kristan merah menjadi pilihan Rania.
“Rangkaikan ini, tolong.”
Lea terbangun dari tidurnya, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan wajahnya seperti mati rasa.
Ia menatap di sekelilingnya, kosong. Dan dia sudah merasa biasa dengan itu.
Lea menatap ponsel yang ada di atas nakas, ia pun berusaha meraih nya dengan susah payah.
“Bisa, aku harus kuat. Demi bayi ini,” menyentuh perutnya.
Ingin sekali Lea menghubungi Lius, namun ia tak ada keberanian untuk itu semua. Ia hanya
Sekar terlibat perdebatan panjang dengan Lius, tak ada satupun dari keduanya yang ingin mengalah dan menyudahi argument itu. Hingga tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu dengan begitu angkuhnya.“Mom, biarkan dia pergi. Itu pilihannya sendiri, bukan kita yang memaksanya.”“Rania?”Semua orang terkejut dengan kedatangan Rania, terlebih Sekar yang terkejut dengan pernyataan putrinya itu.“Kak, kapan kau datang?”Lius berhambur memeluk Rania, laki-laki itu tersenyum begitu manis pada kakaknya. Ia begitu merindukan Rania, kakak perempuan yang selalu mengerti akan dirinya.“Aku sudah kembali, kamu tenang aja ya.”Rania segera membawa ibunya keluar dari rumah itu, rumah dimana penuh dengan banyak sandiwara.Sekar hanya diam saat di bawa pergi oleh putrinya, ia juga sama sekali tak mengucap sepatah katapun pada Rania.Di sepanjang jalan pulang keduanya saling diam, Rania mem
Lio sudah mendengar tentang perbuatan Lius yang hampir membunuh Lea, ia begitu murka dan ingin sekali menghabisi adiknya. Terlebih kini tak ada satupun orang yang tahu dimana keberadaan Lea saat ini, ia semakin di buat tak karuan.“Bos, tiket sudah siap. Malam ini anda bisa terbang,” seru salah satu anak buahnya.“Ehm.”Lio menatap gelapnya malam, membawa segelas wine sebagai temannya.“Dimana sekarang dia, apa sudah makan?” gumamnya.Setelah mendengar kabar tersebut, Lio segera memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari Lea.Dan karena rasa cemasnya itu, Lio sama sekali tak bisa memejamkan matanya bahkan saat berada di atas ketinggian.Rania tak tahu jika Lio dalam perjalanan pulang, ia seakan lupa dengan semua pengawalan yang di sebar adiknya itu.Ia masih menemani Sekar berkeliling mencari Lea, namun sejak pagi hingga sore hari sama sekali tak membuahkan hasil.&ld
Lius terkejut menyadari apa yang baru saja diucapkannya, tak menyangka akan ada hari dimana ia mengatakan kalimat itu.“Sial! Bagaimana mungkin aku merindukan wanita murahan itu.”Lius mencoba memejamkan mata, namun bayangan Lea yang tengah menangis begitu menusuk hatinya.Dengan terpaksa Lius membuka mata, nafasnya berderu dengan tak beraturan. Dan tiba-tiba saja perutnya kembali bergejolak.Segera saja ia berlari ke toilet, kembali mengeluarkan semua isi perutnya.Huek, huek.Lius kesakitan, ia terus saja mual sedang ia merasa sudah tak ada lagi yang bisa ia keluarkan. Ia lemah, bersandar pada wastafel dengan keringat membanjiri wajah.Perutnya masih terasa di aduk-aduk, namun ia sudah tak ada tenaga lagi hanya untuk menyangga tubuhnya.Saat Lius tengah tersiksa dengan mualnya, berbanding terbalik dengan Lea yang sudah bersiap menjemput mimpinya.Di atas ranjang sederhana itu, Lea tersenyum membelai perutny
Hari terus berganti, waktu terus berlalu. Kini tepat satu bulan menghilangnya Lea, tak sedetik pun Sekar lewati dengan berdiam diri.“Bagaimana dengan pencariannya?” tanya Sekar.“Mom, putramu baru saja pulang. Biarkah dia istirahat dulu.”Sekar berubah sendu, Lio menatap tak suka pada Rania yang ada di hadapannya.“Mom, aku sudah meminta semua anak buahku untuk mencarinya. Tapi sampai saat ini masih belum ada kabar, “ tuturnya.“Maafkan, Mom. Mom tak memperhatikanmu selama ini.”Buru-buru Lio menggelengkan kepalanya, ia mendekap hangat ibu yang telah melahirkannya itu. Namun matanya menatap tajam Rania, bibirnya berucap manis pada ibunya sedang matanya memaki kakaknya.Lio melonggarkan pelukannya, meminta Sekar untuk kembali beristirahat. Hari sudah malam, Lio tak ingin ibu nya jatuh sakit.“Kenapa kau berkata seperti itu pada, Mom?”“Aku hanya mengatakan
Lea mulai memotong sayuran juga beberapa daging, sedang rekannya ia minta untuk memotong ayam menjadi dadu.Tangan itu menari dengan indah di atas perapian, mengambil bumbu menuang bumbu hingga suara kecapan indra perasanya, semua nampak seirama.“Coba kau cicipi ini, apa ada yang kurang menurutmu?”Yang diminta pun segera mengambil sendok dan mengambil sampel makanan dari Lea, wajahnya tiba-tiba berubah. Lea sempat panik, ia takut percobaan resep kali ini gagal.“Ini benar-benar lezat, aku yakin kita bisa mendapatkan suntikan dana itu.”Senyum merekah menghiasi wajah cantik itu. Lea menuangkan masakannya pada 3 piring yang berbeda, begitu juga dengan masakan yang lainnya.Namun saat ingin menghidangkannya, tiba-tiba saja perutnya bergejolak. Lea mual, segera saja ia berlari meninggalkan masakannya.“Apa masih lama?” tuan Roberto masuk, ia heran menatap beberapa koki terdiam di depan makanan.
Lio masih penasaran dengan koki di restoran, ia bertekat ingin menemuinya secara pribadi. Nampak Lio membuka ponselnya, membaca beberapa pesan yang dikirim anak buahnya.“Kemana perginya dia, seakan hilang di makan bumi.” Gumamnya.Turun ke bawah, Lio mencari ibunya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.Namun suara deru mobil mengalihkan perhatiannya.“Akhirnya dia datang.”Rania terkejut saat melihat Lius juga ada di halaman rumah, tiba bersamaan dengannya.Matanya mengedar dan menemukan mobil Lio ada di garasi dalam rumahnya, ia menelan saliva nya dengan kasar.“Baru pulang, Kak?”“Ehm,” gugup.Lius merengkuh bahu kakaknya dan berjalan bersama memasuki rumah. Rania nampak gelisah, berkali-kali matanya menatap ke kiri dan ke kanan.“Wah, bakal perang dunia ini.”Dan benar saja, baru keduanya melewati pintu masuk sudah ada Lio yang menghadangny
Lea membulatkan tekat nya untuk pulang kembali pada suaminya, persetan dengan respon Lius yang terpenting Lea hanya ingin pulang.Ketika pagi menjelang, Lea nampak antusias mengemas beberapa pakaian miliknya. Rencananya sepulang kerja ia akan langsung pulang.“Semuanya udah, apa ya yang kurang?” menatap barang bawaan nya.Lea tersenyum begitu sumringah, ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.Ia pun segera keluar rumah menuju tempatnya kerja, hari ini ia sudah berjanji ingin menemui klien tuan Roberto.Semua rekan kerja merasa heran dengan Lea yang sedari datang wajahnya berseri-seri.Hari ini restoran cukup lenggang, tak banyak pengunjung yang datang sebab waktu belum menunjukkan jam makan siang.Lea duduk di depan meja bar, tiba-tiba saja ia merasa kepalanya begitu pusing bahkan pandangan matanya berkunang-kunang.Tepat saat itu tuan Roberto datang dan segera menghampiri Lea.“Astaga, hampir
Lius kembali ke rumahnya, rumah dimana dulu Lea tinggal. Tinggal seorang diri tanpa suaminya.Ia masuk dengan wajah penuh amarah, pelayan yang berpapasan bahkan tak berani hanya untuk sekedar menyapa.Masuk ke dalam kamar, Lius membanting semua barang yang ada di sana. Menatap nanar bingkai foto pernikahan mereka, Lius merasa ada yang hilang.Entah kosong apa yang sekarang di rasanya, apa yang hilang dari dirinya. Lius mencoba menepis semua yang di rasa, membohongi diri dengan rasa benci yang terlanjur menusuk hati.“Brengsek! Wanita nggak tahu diri, pelacur!”Dengan begitu emosinya Lius membanting bingkai foto Lea, menginjak-injaknya hingga hancur tak tersisa.Wajahnya memerah, matanya tajam menatap ke seluruh arah. Lius menggila dengan apa yang tengah dirasanya.“Dulu mengatakan mencintaiku, tapi nyatanya sekarang malah bersama dengan laki-laki lain! Apa maumu sebenarnya, Lea!” teriaknya.Lius membanti
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.“Berani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.”Divya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.“Kalian biadab, binatang kalian semua.” Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng