“Awas ya, kalo masih ada minyak ketinggalan di piring. Jangan sampe juga jadi bau sabun!”Itu mulut pengen aku sumpal pake spon lama-lama! Dari tadi komat-kamit mulu, tidak capek apa?! Aku yang dengar saja letih sendiri.Moga itu orang tidak sampe keselek kacang!Uhuk!Ya, ampun baru loh, aku doain yang baik tadi.“Heh, ambilin gua minum! Cepetan!”Aku mendengkus, memutar tubuh dan gegas mengambilkan minum yang terletak di meja paling ujung. Kemudian memberikan pada perempuan yang sejak tadi duduk dengan menaikkan satu kaki ke kursi. Melihat banyaknya kulit kacang di meja yang bahkan beberapa berserakan di lantai membuatku menghela napas lelah. Baru tadi sore kubersihkan tempat ini, sekarang lihat akibat dari ulahnya!“Kok, bau sabun, sih?!” Wanita berusia 32 tahun itu mengeluarkan ekspresi mirip orang mau muntah. Aku mengulum senyum berusaha keras agar tidak ketawa. Sukurin aja, siapa suruh nyuruh orang pake bentak-bentak. Padahal bisa loh, dia minta tolong baik-baik.“Ya, maaf, Mba
“Zareen? Perasaan enggak ada nama lo di list undangan.”Tubuhku langsung kaku, tegang bak batu setelah mendengar ucapan Nadia—mantan sekretaris OSIS—wanita dengan dress biru selutut itu mengernyit. Tatapan tajamnya seolah sedang memperingatiku yang tidak tahu dirinya berada di tengah mereka tanpa undangan.“Atau gue yang salah ingat? Lo pembantu dari salah satu rumah teman SMA kita, ya? Karena hampir semua rumah teman sekelas kita dulu gue ingat, kok. Jadi kecil banget kemungkinan kalo gue salah masuk rumah sampe salah kasih undangan.”Jemariku makin terpilin sebelum kugenggam erat dan berakhir mengumbar senyum kepada lima wanita yang menatapku dengan sorot menilai. Walau entah bagaimana bentuk senyumku kali ini.“Aku ke sini cuman datang nemenin seseorang, kok.” Ck, alasan apa itu, Reen?“Oh, ya? Terus mana seseorang yang kamu maksud itu?” Tatapan sinis Adinda yang dari artikel yang pernah lewat di Intagram perempuan yang kabarnya telah menjadi istri seorang Gubernur itu sedikitnya m
18+“Kamu sepertinya masih bersih. Iyakah?” Derai tawanya membuatku jijik sekaligus membenci diriku sendiri yang hanya pasrah di bawah kukungannya.Sudah coba menghajar wajah kurang ajar itu, tapi kepalan tanganku hanya berhasil meraih udara. Tubuhku menggigil menahan gejolak aneh sekaligus rasa ingin membunuh lelaki di atasku ini.Ya Rabb bila tidak ada yang datang membantu, setidaknya cabut nyawaku sekarang juga. Sungguh tidak rida seujung kuku pun disentuh oleh lelaki bejat ini.Mataku memanas, berusaha memberontak walau berakhir menggeliat. Kucoba berteriak pun percuma karena yang keluar hanya racauan.“Saya mohon ... jangan.” Tatapku memelas mengharap ibanya.Laki-laki berkulit putih itu malah terkekeh pelan. Air mata yang mengenang tumpah ruah merasakan long dress berwarna merah marun perlahan diangkat ke atas. Mataku terpejam rapat. Kupasrahkan semua pada-Mu Yang Maha Mu'min.“Perutmu kok, melendung?” Lelaki itu diam sejenak, tanfan kasarnya menyentuh permukaan perut membuatku
“Dia model di Malik Agensi. Udah dua tahunan kerja.” Pemaparam Zein membuatku termangu. Pantas saja Nadia sampai sekacau itu bahkan sampai mengamuk ke rumah. Perbuatannya malam itu padaku dibalas, Mas Zaid tidak tanggung-tanggung. “Sudah, Mbak enggak perlu pikirin itu orang. Kesalahannya jauh lebih besar dari apa yang dia dapat sekarang. Aku nyaris kehilangan ponakanku karena minuman beralkohol dan dicampur obat perangsang sialan itu! Mbak, juga hampir hancur di tangan seorang pria biadab, jadi buat kali ini, tolong jangan pikirin orang lain dulu. Terlebih itu orang yang udah celakaian, Mbak!” Zein mengatakannya dengan menggebu-gebu. Ada api membara di matanya yang hitam pekat. Namun, tatapan tajam itu berubah lembut kala menatapku dan perut yang tersembunyi di balik gamis dan jilbab. “Oh, ya, Mbak. Soal kejadian waktu itu, aku udah nutupin soal kehamilan, Mbak dari semua orang termasuk, mas Zaid. Untungnya, perut, Mbak enggak kelihatan sama dia waktu itu karena terhalang punggun
Usapan dalam tidur membuatku benar-benar risi sampai akhirnya mengerang jengkel. Saat mata terbuka, rasa kesal yang menumpuk di ubun-ubun justru meluap habis melihat si pelaku.Lelaki dengan kaos hitamnya yang tengah setengah berbaring dengan siku menumpu pada kasur tengah menatap dalam-dalam. Senyumnya tersungging tipis yang langsung menyentakku agar sadar.“Tuan Zaid?” ucapku spontan yang seketika itu juga mendapat sentilan di dahi.Aku meringis, merengut jengkel menatapnya yang sudah beranjak duduk sembari meraih nampan di meja. Baru teringat makanan itu diantarkan Zein tadi ketika aku mual dan memilih pergi ke kamar. Telanjur kehilangan selera makan, aku lebih memilih tidur ketimbang mengisi perut yang keroncongan, tetapi mual hanya melihat hidangan yang mungkin saja sudah dingin.Pikir saja, ini sudah jam berapa dari terakhir Zein mengantarnya. Jam 17.00 WIB.“Saya baru panaskan. Mari, biar saya suapi.”Satu alisku terangkat, tapi tak urung menurut ketika dia menarik lenganku pel
Aku masih terdiam menatap gerimis dari balik jendela ruang tengah. Jemari menyentuh kaca yang terasa dingin. Masih terlalu pagi ketika hujan mulai menderas membuatku membentuk pola-pola abstrak di sana.“Kasihan, kurang kerjaan banget, mbakku!” Suara barinton dari belakang menyentakku berbalik.Melihat Zein dengan almamater kuning tengah berdiri sembari menyomot pisang goreng membuat alisku mengernyit.“Kamu bolos apa gimana?” Anak ini suka sekali muncul di rumah abangnya macam hantu, pulang pun kadang langsung menghilang. Tahu-tahunya kirim pesan sudah sampai di rumah mamanya.Pemuda itu menyugar rambut yang agak basah—mungkin terguyur hujan di luar—setelah memasukkan potongan terakhir pisang goreng.“Dosenku mendadak enggak masuk.”Aku memgekorinya dari belakang ketika pemuda yang ternyata tinggi banget itu—kenapa aku baru sadar Zein setinggi itu coba, sampai aku hanya sampai di bahunya—berjalan menuju dapur.“Kok, bisa?”Zein mengangkat bahunya sembari duduk di meja makan dan kemba
“Coba ke toko yang itu, yuk!” Zein pasrah, ya, emang harus pasrah. Dari tadi lengan bajunya kutarik sana-sini. Mulai dari tokoh sepatu, pakaian, sampai kini jam tangan sudah kami masuki. Namun, belum ada sesuatu yang benar-benar bisa menarik perhatianku. Aku pikir, Pak Zaid terlalu berduit buat beli semua barang-barang itu. Jadi bingung sendiri aku membelikan kado apa kira-kira yang bagus untuknya. “Mbak, sebenernya nyari apaan, sih?!” Suara ketus dari pemuda si sebelahku kubalas delikan balik. “Diem aja kenapa, sih?! Kok, bawal banget!” semprotku jengkel juga lama-lama. “Ya, aku capek loh, Mbak doseret-seret dari tadi!” keluhnya yang tiba-tiba bikin telinga panas. “Oh, jadi enggak ikhlas bantuin mbak? Ya, udah gih, pulang aja. Mbak bisa naik taksi kok, pulangnya!” suruhku sambil lalu memasuki tokoh tas. Barangkali bisa menemukan sesuatu buat, Pak Zaid. Tas pria atau dompet, mungkin? “Kalo emang enggak niat, ngapain sih, pake nawarin diri segala.” Aku masih mendumel kecil ketika
Aku dibuat tersentak ketika tiba-tiba Eyang menarik lengan dan menyeretku ke pintu utama. Jantung bertalu memeluk perut dengan satu tanganku merasakan amarah Eyang yang tidak main-main. Wanita itu serius mengusir. Eyang menghempaskan genggamannya hingga aku terhuyung nyaris menabrak kusen pintu. Sebelum apa yang ada di kepalaku itu terjadi, sebuah tangan lebih dulu menarik lengan hingga aku berakhir di dada seseorang. “Mas,” bisikku ketika mendongak, wajah tegas Pak Zaid yang terlihat. Dada lelaki itu terdengar sama bergemuruhnya denganku. Jantung yang bertalu beserta dada yang naik turun menandakan pria itu sedang dikuasai amarah. “Zareen, ART Zaid, Eyang, Ma! Zaid yang gaji dia, jadi aku yang putuskan harus memecat atau mempekerjakannya!” Masih dengan lengan digenggam, Pak Zaid menarikku pelan ke balik punggungnya. Seolah menandakan dia sedang pasang badan. Untuk adegan satu ini, bisakah aku bahagia sejenak? Di balik punggung itu, aku tersenyum tipis menatap bahu lebarnya. “E
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g