Seorang MC berdiri di atas panggung memanggil giliran nomer urut tiga.Tifa kembali mogok, Nazim berusaha merayunya tapi Tifa tetap bersikeras ingin agar papanya bisa menyaksikan dia tampil.
Akhirnya Nazim meminta panitia maupun kepada MC agar dijinkan untuk video call Affan. Dan akhirnya MC terpaksa mengijinkan video call bahkan dengan layar besar yang disediakan stasiun televisi. Untuk menarik simpati penonton dan bahkan menggetarkan hati yang menontonnya. Karena live, kejadian itu spontan disaksikan penonton seluruh Indonesia.
Disisi lain di rumah Ahem Bella dan Arjun sedang santai di ruang tengah menonton televisi.
"Anak-anak papa lagi pada ngapain? Emang tidak belajar apa?" tanya Ahem yang baru saja datang dari kantor.
"Sudah Pa, sudah belajar, sudah mengerjakan PR," jawab Bella.
"Oh ya, pinter sekali?" jawab Ahem sambil mengelus rambut Bella dan Arjun.
"Pa, duduk sini temani kita nonton televisi!" pinta Arjun.
"Iya sayang,
Mobil melaju kencang untuk mengejar waktu agar tidak ketinggalan. Saat sampai stasiun televisi acara hampir saja selesai. Nazim yang mengetahui kehadiran Ahem dan anak-anaknya segera mengajak menghindar lewat pintu belakang. "Kita mau kemana, Om Nazim? Kenapa kita lari-lari sembunyi di sini?" tanya Arjun. "Sayang kita harus lewat belakang karena acara belum usai kita belum boleh pulang," jawab Nazim berbohong. "Ishi, Ahem mencari ke sini, kita harus segera pergi," usul Nazim berbisik. "Iyakah?" tanya Ishita seolah tak percaya. "Affan berpesan sebelum kamu bisa mengingat segalanya, kamu tidak boleh bertemu orang asing," ujar Nazim. "Iya aku mengerti, Kak Nazim,' jawab Ishita lirih. Akhirnya mereka berempat berlarian mencari taksi. Kini mereka sudah pergi dengan taksi kembali ke hotel. Sedang Ahem bersama Wahyu dan sopir mencari-cari di antara para peserta kontestan, tapi tidak menemukannya. Ahem menemui panitia untuk mem
Ahem putus asa, semua jalan sudah dilaluinya. Tapi dia dan anak buahnya tidak bisa menemukan Ishita dan anak-anaknya. Ternyata penampilan Saga dan Tifa sontak menjadi viral di segala media. Apalagi sebelum penampilannya dia membuat penonton terharu dengan aksi video call dengan papanya di luar negeri. "Pa, aku tahu dia adalah anaknya Ishita, Tifara. Dia sehat dan cantik, harusnya dia yang menjadi anakku bukan bocah cacat itu!" teriak Intan yang sedang berbicara di telepon dengan papanya. Berdiri di depan pintu Bella, dia mendengarkan pembicaraan mamanya dengan opanya di telepon. Perlahan dia melangkah mundur, hatinya hancur, air matanya meleleh di pipinya yang putih lembut. Ketika Bella mulai membalikkan badannya, dia menubruk Ahem, papanya. "Anak papa tidak perlu berkecil hati, papa sangat menyayangimu melebihi hidup papa sendiri, sayang!" bisiknya terbawa perasaan. "Kamu nafas papa, papa tidak bisa hidup tanpa kamu," ujarnya sambil mengusap lembut a
Affan mulai mewujudkan keinginan Ishita dengan mendirikan sekolah musik yang diberi nama "Trio Angel Music." Saga dan Tifa juga sudah mulai masuk sekolah di Sekolah Dasar Internasional. Promosi pembukaan sekolah musik bukan saja di televisi melainkan juga di sosial media, radio maupun di surat kabar. "Nazim, aku besuk lusa harus ke Singapura, tolong jaga Ishita dan anak-anakku ya?" pinta Affan. "Kok mendadak?" sahut Nazim. "Sebenarnya sudah rencana sejak kemarin sih tapi belum sempat memberitahukannya." "O begitu?" kata Nazim bisa menerima. Affan harus berbohong kalau dia harus ke Singapura untuk urusan kerja. Padahal beberapa hari ini dia sering mimisan bahkan badannya semakin lemah. Dia ingin kembali menemui Dokter Roby yang menangani penyakit kanker Affan. "Tapi kamu tidak lama kan di Singapura?" tanya Nazim. "Mungkin dua Minggu di sana, Nazim!" jawab Affan ragu. "Papa, antar Tifa cari sepatu olah raga yuk!" pinta Ti
Ishita memeluk dengan penuh kasih sayang. Dadanya sesak mendengar pertanyaan Bella yang menyentuh hatinya. "Allah sayang sama Bella, di balik kekurangan Bella, pasti ada sesuatu yang bisa mama dan papa banggakan. Mungkin sekarang belum ada yang tahu, suatu saat pasti semua orang akan bangga," kata Ishita menghibur. "Apa yang bisa dibanggakan dari anak cacat seperti saya, Tante?" "Kamu cantik dan berhati mulia, pasti sekolah kamu cerdas kan?" tanya Ishita dengan lembut. "Saya selalu rangking satu, Tante," jawab Bella bangga. "Tuh dia, dari sinar mata kamu yang indah dan bersinar tajam Tante yakin kamu anak yang berbeda," jawab Ishita menghibur. "Suara Tante seperti Tante Shita, mamanya Tifa dan Saga," ujar Bella pelan. Kedua tangannya yang mungil mengusap kedua pipi Ishita. Perlahan tangannya bergeser ingin melepas masker dan Ishita hanya diam dan pasrah. Kini masker itu telah terlepas dan Bella menatap kagum kepada Ishita.
"Pa, jangan paksa Bella bermain piano! Papa tahu itu tidak mungkin, tangan Bella yang sebelah tidak berfungsi. Aku hanya akan jadi bahan tertawaan orang lain, Pa," gumam Bella pelan dan putus asa. "Sayang, jangan putus asa, kalau kamu bersemangat pasti bisa. Darah yang mengalir di tubuh kamu adalah darah pianish terkenal," jawab Ahem bangga. "Siapa pianish itu? Papa?" sahut Bella bertanya. "Bukankah papa terinspirasi Tante Shita dan kedua anaknya?" tanya Bella lagi sambil berbisik lirih. Ahem terperanjat dan menatap tajam gadis cilik itu. Ada pertanyaan yang tak terucap dari bibir Ahem. "Apakah kamu tahu bahwa mereka adalah keluargamu? Apakah Intan keceplosan dan membuka segalanya?" "Pa, aku cacat, tidak seperti mereka yang sehat, papa jangan berharap banyak dari Bella ya! Aku takut papa kecewa," ujar Bella bersedih. "Ya udah yang penting Bella mau mencoba ya? Jangan menyerah dulu!" Ahem meminta. "Iya Pa, tapi papa jangan berhara
Ahem dan Bella terpaku dan terpana menyaksikan penampilan Ishita yang luar biasa. Lagu Bollywood Hamari Adhuri Kahani adalah lagi yang pas dengan perasaan mereka bertiga. "Pa, aku mau belajar piano juga biola kepadanya," pinta Bella kepada Ahem. "Iya, papa setuju, tadi papa meremehkan dia sebagai gadis culun yang udik, tidak meyakinkan. Tapi ternyata papa salah," gumamnya lirih. "Dia tampil sangat memukau," gumam Bella lirih. Mereka berdua menatap penuh kekaguman. Begitu permainan musiknya selesai tepuk tangan dari Ahem dan Bella bersamaan. "Kenapa aku jadi ingat Ishita. Ingat saat kita kolaborasi di atas panggung saat ulang tahunku sepuluh tahun yang lalu," batin Ahem. "Kenapa aku jadi ingat mama Ishi," batin Bella. "Terima kasih," ucap lembut Ishita sambil membungkukkan tubuh sebagai penghormatan. "Luar biasa!" ucapnya di tengah-tengah tepuk tangannya. "Dari 25 orang pelamar kamulah yang terhebat," lanjutnya.
Ishita terus menguping pembicaraan Indrayana dengan Intan dan mamanya. Meskipun dia memunggungi mereka dan pura-pura fokus melatih senam jari kepada Bella. "Pa, desak anak buah papa untuk lebih serius lagi mencari keberadaan Ishita dan dan anak-anaknya. Kalau mereka bersatu sama Ahem hancurlah hidupku, Pa! Lebih baik aku mati!" ujar Intan mengancam. "Sayang, kamu bilang apa? Sekarang papa lagi mengusahakan yang terbaik demi kebahagiaanmu," sahut mamanya sambil mendekap tangan Intan memberi dukungan. "Percayakan semua sama papa, sayang! Aku tidak mau hidupmu kamu sia-siakan begitu," hibur Indrayana. Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel Indrayana berdering telepon dari anak buahnya masuk. "Iya halo?" sapa Indrayana. "Bos ada kabar dari Singapura," ujar anak buah Indrayana melapor. "Singapura? Kabar apa?" tanya Indrayana terkejut. "Tuan Affan sedang sakit dan berobat ke rumah sakit," ujarnya. "Apa Affan sakit
Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan
Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku
Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper
Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia
Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s
Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula
Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se
Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz
Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te
Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan