Ahem sudah mengambil keputusan yang menyakiti dirinya sendiri. Tapi itu sudah dipikirkannya dengan matang demi kebahagiaan Ishita dan kedua bayinya. Hanya Affan lelaki yang punya begitu cinta besar untuk Ishita. Dan Ahem tahu betul kalau Affan bisa mengorbankan pada saja demi orang yang dicintainya. Apalagi wanita itu adalah Ishita, seorang gadis yang baik hati dan cantik jelita.
Ahem mau meyakinkan bahwa Ririn benar-benar sudah pulang dengan selamat. Karena ponselnya belum bisa dihubungi. Dan ayah Herlambang juga sedang mengkhawatirkan Ririn. Ahem tidak memberitahu kepada Herlambang kalau Ririn sedang disandera. Karena kesehatan Herlambang belum membaik.
"Ahem, mau kemana kamu?" tanya Intan yang menghampirinya ketika Ahem akan masuk mobil.
"Aku ingin memastikan apa benar kamu sudah antarkan Ririn pulang ke rumah?" jawab Ahem ketus.
"Masak kamu tidak percaya sama papaku?" tanya Intan kecewa.
"Sama sekali tidak! Kamu maupun papa kamu sama saja!
Di dalam mobil Ahem mencoba menghubungi Intan dengan emosi yang meluap-luap. Dret ... Dret ... Dret ...! ponsel Intan berdering. "Kamu lagi dimana, Ahem?" tanya Intan basa-basi. "Tidak perlu basa-basi, Intan! Dimana Ririn?" hardik Ahem berteiak. "Harusnya dia sudah pulang, ada apa?" "Bohong!" teriak Ahem geram. "Tapi papaku sudah melepaskannya, Ahem! Kalau dia belum kembali mungkin saja dia masih kemana begitu. Dia kan bukan anak kecil, siapa tahu dia janjian sama pacarnya." kata Intan cerocos. "Lihat berita di internet sekarang juga! Kalau benar jenazah yang ditemukan di piggir hutan itu Ririn, siap-siap kamu dan papamu masuk bui." Ahem dengan marah menggertak. "Jenazah? Ada jenazah di pinggir hutan? Apa maksudnya? Bagaimana kamu menuduh kami pelakunya sih? Kamu yakin dia Ririn?" Intan membantahnya dan meyakinkan kalau dia tidak tahu-menahu. "Yang pasti Ririn belum sampai ke rumah, Intan. Dan jenazah yang ditem
Upacara pemakaman Ririn sudah selesai. Para pelayat sudah pulang tanpa tersisa, tinggal Ahem seorang. Dia tertegun menatap batu nisan yang bertuliskan Ririn Anggita Binti Herlambang. Suasana lokasi pemakaman begitu sepi mencekam, ada rasa sakit dan sesal di hati Ahem. Dia menyayangi Ririn seperti adiknya sendiri, apalagi dia anak tunggal tidak punya adik semungil Ririn. Dret ... Dret ... Dret ...! Suara getar ponsel di sakunya. Dia melihat siapakah yang meneleponnya. Ternyata profil Hendrakusuma. "Iya Pa," sapa Ahem begitu teleponnya diangkat. "Ahem, ayahmu ...," kata Hendrakusuma pelan. Sontak Ahem beranjak bangun, rasa debar-debar tiba-tiba muncul. Ketakutan tiba-tiba merangsuk ke hatinya. Dia ingat Ayahnya sedang sakit di rumah sakit. Bagaimana kalau terjadi sesuatu? "Ada apa dengan ayah, Pa?" tanya Ahem gugup dan penasaran. "Ayahmu meninggal dunia, Ahem. Penyumbatan pembuluh darah ke jantung," kita Hendrakusuma menjelaskan.
Setelah sholat Subuh Affan selalu memutar lantunan ayat Alquran dengan keras untuk dinikmati bersama kedua anaknya, Saga dan Tiffa. Sebelum mengawali kegiatannya, itu rutinitas Affan yang dilakukan bersama anak-anaknya. Dua tahun lebih mereka tinggal di Singapura, dengan keadaan Ishita yang masih koma. Dia hidup bersama dua bodyguard dan dua pembantu rumah tangga. Ada perusahaan papanya yang sedang dikelola di sini. Bahkan Ahem juga mempercayakan anak perusahaannya kepadanya. Affan tiba-tiba ingin memutar lagu-lagu Bollywood setelah lantunan Surrah Arrohaman selesai. Dia memutar lagu Kal Ho Na Ho, sekejap Affan teringat bahwa itu adalah lagu kesayangan Ishita. Suara yang dominan di biola dan piano menggetarkan hati Ishita. Ibu muda yang koma karena melahirkan itu mendadak terbelalak matanya. Bola matanya membulat berkeliling mengitari seluruh ruangan. Dia mendapati dua anak kecil sedang bermain di dekatnya. Dua bocah kecil itu terbelalak kemudian berter
Seorang utusan dari anak cabang perusahaan Ahem datang ke rumah Affan. "Bos, saya dari Perusahaan Insan Mulia ingin menyampaikan berita dari Indonesia," kata seorang pegawai. "Berita apa, Pak?" "Ini ada telepon dari kantor pusat, Pak," kata seseorang itu sambil menyerahkan ponselnya. "Affan, kenapa ponselmu tidak pernah kamu on sih?" tanya Ahem. Affan terperanjat sekali, seperti mimpi mendengar suara Ahem di ponsel. "Ahem? Kau kah? Ada kabar apa, Ahem? Maaf ponselku sudah kubuang. Kamu mencariku pasti karena ada berita penting," tanya Affan penasaran. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Ishita, Affan?" tanya Ahem balik. "Mereka baik-baik saja, Ishita baru saja sadar dari koma." "Sekian lamanya dia baru sadar?" sahut Ahem. "Iya Ahem. Baru seminggu ini dia sadar. Keadaan anak-anakmu juga baik-baik saja, mereka lucu-lucu," jawab Affan. "Tidak Affan, mereka anak-anak kamu. Kamu yang sudah memberi
Affan tidak menceritakan kalau Ishita sedang amnesia. Berita mengenai kematian Ririn dan ayahnya juga belum bisa disampaikan. Dia harus mencari moment yang tepat. Kini Affan menyewa rumah untuk di tempati selama menunggu keadaan aman. Affan menyekolahkan Ishita dan anak-anaknya di sekolah musik di India. Saat itu, Ishita dan Affan sedang sholat dhuhur berjamaah di Masjid Agung di India. Kebetulan jaraknya tak jauh dari rumahnya. Ishita menolong seorang ibu yang hampir terpeleset saat mengambil air wudhu. "Ibu, mari kutolong, ibu mau wudhu kan?" tanya Ishita dengan ramah. "Iya Nak, ibu mau wudhu," jawab ibu itu. Ishita segera menggandeng wanita setengah abad lebih itu. Setelah selesai wudhu, mereka pun masuk untuk mengikuti sholat jamaah. Mereka mengambil barisan kaum wanita di belakang. Dan Ishita mengambil tempat tepat di samping ibu itu. Setelah selesai sholat mereka pun membereskan alat sholat. "Kamu
Akhirnya Nazim mengantar Ishita dan Affan untuk sekolah musik dan dancer yang terkenal di India. Dia juga mengenalkan sedini mungkin kepada kedua anaknya Saga dan Tifa. Hubungan mereka semakin dekat seperti saudara. Tujuh tahun sudah Ishita dan Affan hidup di India. Affan masih juga sering ke Singapura untuk urusan bisnisnya. "Ishi, kamu ingat nggak bahwa kamu punya seorang adik wanita bernama, Ririn?" tanya Affan mulai memancingnya. "Iya aku ingat Ririn, Mas Affan. Ayahku juga aku bisa mengingatnya. Bagaimana kabar mereka berdua?" tanya Ishita setelah dia mulai bisa mengingatnya. "Sejak kapan kamu bisa mengingat mereka, Ishi?" tanya Affan kaget. "Aku tidak sadar, Mas Affan. Sejak kapan aku bisa mengingatnya?" jawab Ishita ragu. "Kalau dia mengingat segalanya, bagaimana? Untung aku selama ini tidak pernah menyentuhnya. Aku pura-pura mengalami kecelakaan dan tidak bisa lagi menjalankan tugasku sebagai suami. Sungguh tragis hidupku, kena
Affan segera terbang ke Singapura, ada rapat dewan pemegang saham. Dijadwalkan lima hari di Singapura, sehingga pada saat Nazim dan Ishita dan kedua anaknya ke Indonesia dia tidak bisa menemaninya. Tapi sebelumnya Affan berbicara kepada Ishita dan Nazim kalau Ishita jangan sampai dikenali siapapun di Indonesia. Karena banyak musuh bisnisnya yang sedang mengincar keluarganya. Itu alasannya kenapa mereka harus berada di luar negeri untuk jangka waktu yang panjang. "Percayalah Affan, aku akan jaga anak dan istri kamu baik-baik. Tapi begitu urusanmu di Singapura selesai, kamu harus segera menyusul kita ke Indonesia," pesan Nazim kepada Affan. Sekalipun ragu melepaskan Ishita dan anak-anaknya ke Indonesia, tapi Affan tak lelah selalu memantaunya. Saat jam istirahat rapat pun sedang break Affan mencoba video call, "Iya halo sayang?" sapa Ishita sambil melambaikan tangannya. "Ishi, jaga dirimu dan anak-anak baik-baik ya? Ingat kamu harus terus
Affan masih seperti mimpi mendengar diagnosa dokter. Dia tidak percaya, semua begitu tiba-tiba. Affan ingin menceritakan dengan terus terang kepada Ahem tentang keadaanya. Karena dia tidak tega melepaskan Ishita dan anak-anaknya bila terjadi apa-apa dengannya. "Ahem, aku tidak bisa lagi menemani Ishita dan anak-anakmu. Bagaimana kalau aku tiba-tiba harus pergi meninggalkan mereka untuk selamanya? Siapa lagi orang yang bisa melindungi mereka, Ahem?" pikir Affan tercekam. *** Dret ... Dret ... Dret! Ponsel Ahem bergetar, dan Nazim yang menelepon. "Ahem, aku sekarang berada di bandara. Kamu bisa jemput kami sekitar pukul 14.00, kan?" tanya Nazim kepada Ahem. "Pasti bisa sahabat, aku sudah kangen sama kamu," jawab Ahem. "Apa kamu bersama anak istrimu?" lanjut Ahem. "Aku bersama keluarga, Ahem," jawab Nazim. "Kamu jangan mencari hotel, aku ada rumah kosong buatmu, Nazim!" usul Ahem. "Iyakah? Kebetulan sekali, Ahem, terima ka
Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku
Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper
Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia
Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s
Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula
Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se
Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz
Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te
Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan