Ahem tertidur di bibir tempat tidur Ishita dengan wajahnya tertelungkup dan duduk disamping ranjang.
"Dimana aku? Bagaimana dengan bayiku?" pekiknya begitu tersadar dan membuka matanya.
Rintihan Ishita membangunkan Ahem, sontak dia mengangkat kepalanya dan bangun.
"Kamu sudah sadar?" tanya Ahem sambil tersenyum bahagia.
"Bagaimana dengan bayiku?"tanyanya memekik.
"Tenanglah bayi kita, eh maaf bayi kamu sehat semua." Ujarnya hampir keceplosan.
"Maksutnya semua, apa?" tanya Ishita penasaran.
"Pasti kamu belum tahu kan kalau bayi kamu kembar tiga?"
"Hah? Apa, kembar tiga?" tanya Ishita sesaat terperangah tak percaya.
"Makanya kamu harus banyak istirahat, tidak boleh capek." Saran Ahem.
"Kenapa kamu peduli? Bukankah kamu menyekapku karena
Ahem keluar setelah Ishita menutup sambungan teleponnya. Dia melihat Ishita sedang melamun setelah menerima telepon dari Intan. Seolah ada beban pikiran yang berat. "Ishita, ada apa?" tanya Ahem begitu keluar dari persembunyiannya. 'Tidak ada apa-apa, Pak Raden." "Ishita, kamu bilang kita sahabat kan? Bagaimana kamu tidak mau berbagi masalahmu, terus apa gunanya kita bersahabat?" gumam Ahem mendesak. "Aku malu, Pak Raden. Kehidupanku begitu rumit tak pantas diceritakan. Aku takut kamu akan menertawakannya bahkan mengejakku." Ujar Ishita ragu. "Ya tidak mungkinlah, Ishita. Kita hadapi bersama-sama suka maupun duka, bercerita lah aku siap mendengarkannya!" pinta Ahem. "Pak Raden, besuk aku dijemput oleh sopir suamiku." Kata Ishita bersedih. "Ya baguslah, kenapa kamu bersedih? Kan sebentar lagi bertemu dengan suami
Setelah mengetahui Ishita bekerja di hotelnya, Ahem dari jauh menjaganya. "Pasti Intan juga tahu kalau Ishita sebenarnya bekerja di hotelku. Pasti dia bermaksut menyembunyikannya." Pikir Ahem dalam hati. "Dengan keadaannya yang lagi mengandung kembar tiga, dia tidak boleh terlalu capek disana. Aku harus memindahkan dia kerja di dalam, agar aku lebih mudah mengawasinya." Lanjutnya. "Afandy, kemarilah!" panggil Ahem lewat kabel telepon. "Baik Pak Bos." Jawab Afandy tegas. Sepuluh menit kemudian, Afandy sampai di hadapan Ahem. "Selamat siang Pak Bos?" sapa Afandy lelaki muda dan tampan. "Duduklah!" perintah Ahem. 'Terima kasih Bos!" "Afandy, ada anak buahmu yang bernama Ishita kan?" tanya Ahem tanpa basa basi. "Benar Pak Bos, ada." Jawab Afandy ber
Pagi sekali seperti biasa, Ahem turun dari mobilnya tepat didepan pintu masuk hotel. Dia hanya mengenakan kemeja putih dengan dasi karena jas dan rompi sedang di mobil, Jono yang akan membawakan ke ruangannya. Ahem berjalan santai di loby sambil menikmati suasana dan udara segar pagi. Tiba-tiba berlari kecil, dan tergesa-gesa Ishita, karena dia berada di tempat kerja yang baru. Dia tidak boleh datang terlambat karena teman-teman barunya akan menghukumnya. Tanpa hati-hati dia bersenggolan dengan Ahem dan membuat tasnya terjatuh dan berhamburan isinya. "Gimana sih kamu, jalan jangan meleng aja dong! Punya mata tuh dipake!" hardik Ahem. Sedang Ishita gugup memberesi isi tas nya yang berserakan. "Maaf Pak, saya tidak sengaja! Saya buru-buru!" katanya sambil bangkit dari jongkoknya. Dan betapa terkejutnya baik Ahem maupun Ishita yang dipertemukan dengan cara seperti itu
Akhirnya tak lama kemudian Ahem sudah menyusul dan bertemu di perempatan traffic light. Dia turun dan membukakan pintu mobil buat Ishita. "Segera masuklah, kalau tidak mau viral." perintah Pak Raden. "Kalau sampai viral lagi, aku tidak mau klarifikasi lagi, tau!" kelakar Ishita setelah Pak Raden duduk di sebelahnya. "Kamu tidak perlu melakukan apapun untukku. Kita bersahabat, jangan sampai ada yang terlukai. Kita harus saling mendukung dan saling menguatkan. Aku akan selalu ada disaat suka maupun dukamu. Kuharap demikian juga dengan kamu, selalu ada untukku!" Kata Ahem penuh harapan. "Kamu serius amat sih...jadi Melo nih!" sahut Ishita. "Serius Ishita!" seru Pak Raden. "Iya serius." Jawab Ishita. "Kita cari makan dimana?" tanya Pak Raden kemudian. "Coba tanyakan ketiga putraku, Ishita. Mereka pingin makan
Ahem sudah membawa Enggar ke hotelnya. Enggar adalah teman sepermainan Ahem waktu kecil, dia sudah seperti saudara laki-laki. "Istirahatlah dulu di kamarmu! Nanti malam kita ke rumahku, kita makan malam di rumah." Ujar Ahem. "Iya, aku juga lama nggak ketemu Intan. Aku ikut sedih dengan apa yang menimpa istrimu, Ahem. Kamu jangan khawatir, kamu bisa angkat anak yatim piatu, Ahem. Tidak harus melahirkan sendiri untuk mendapatkan anak." Ujar Enggar menghibur. "Iya kawan, aku optimis." Katanya sambil menepuk pundak Enggar. "Sudah, istirahatlah dulu, aku meneruskan pekerjaanku sebentar!" lanjutnya, kemudian meninggalkan Enggar di kamar hotel. Ahem ingin segera masuk ke kantornya, agar bisa menatap wajah Ishita dari jauh. Dia ingin menyaksikan sendiri bahwa Ishita benar-benar baik-baik saja. Semakin lama menatapnya semakin dia jatuh cinta.&nbs
Selamat membaca! Novel ini berisikan perang antara hati dan pikiran yang bisa mengacak-acak emosi kita. *** Tiga orang tamu baru datang memesan VVIP juga. Kebetulan letaknya tak jauh dengan Ishita dan Afan duduk. "Ahem, Enggar, duduklah!" titah Intan sambil menarik kursinya. "Enggar, maaf tadi renacananya mau dimasakin sendiri sama istriku, tapi tiba-tiba penyakit malasnya kambuh, nggak jadi deh!" kelakar Ahem sambil tertawa diiringi Ishita dan Enggar. "Tidak perlu, jadi merepotkan, begini sudah cukup....santai aja!" bantah Enggar. Ishita terbelalak kaget, dia mengenal sekali suara mereka. Suara yang familier sekali, dia sangat mengenal suara itu. Perlahan Ishita menoleh ke belakang dan, "Hah!" peki
Ishita masih menunduk menangis, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang sahabat, satu-satunya orang yang dipercaya ternyata dia pengkhianat yang menyusup. "Ungkapkanlah seluruh kekesalanmu padaku. Aku siap dan setia mendengarkannya! Agar nanti kamu sampai di rumah, sudah tenang dan bisa tidur dengan nyenyak. Ayo bicaralah aku mendengarkannya!" pinta Afan sambil memarkirkan mobilnya di taman kota. Ishita menangis semakin histeris. Dan Afan meraih tubuh Ishita, di rebahkan kepalanya ke pundaknya. Dia membiarkan tangis itu semakin menjadi. "Menangislah... keluarkan apa yang yang membuat sesak didadamu. Aku akan menemanimu dan mendengarkanmu!" ujar Afan menghibur. "Aku tidak menyangka kalau dia yang ku anggap sebagai sahabatku, ternyata dia adalah suamiku. Aku selalu menangis kepadanya saat aku merindukan Kak
Intan terbelalak kaget, dia tidak mengira kalau Ishita akan dengan tegas mengatakan hal itu. Padahal selama ini dia terlanjur bahagia yang tiada tara, akan mendapat tiga bayi mungil sekaligus. "Apa maksutmu, Ishita?" tanyanya tak percaya. "Mbak Intan menginginkan satu anak dari saya kan, saya akan berikan. Bukan tiga!" hardiknya. "Tapi kamu hamil kembar tiga anak suamiku, Ishita. Tidak mungkin kamu mengasuh dua anak dari suamiku kan? Dia tidak akan membiarkan itu terjadi!" hardiknya. "Memangnya kenapa, apa mbak Intan lupa kalau aku adalah ibunya....apa Mbak Intan lupa kalau Kak Ahem suamiku?" hardiknya balik. Plag! Tamparan yang tiba-tiba mendarat di pipi Ishita dengan kerasnya. "Dasar sundel!" umpatnya berteriak. "Intan?" pekik Indrayana dan istrinya. P
Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku
Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper
Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia
Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s
Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula
Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se
Ahem sudah tidak mau lagi bertemu dengan Intan semenjak Bella mengirimkan rekaman video itu. Ahem bersama Bella tinggal di rumah yang dibeli Ahem untuk Ishita. Beberapa bodyguard mengamankan rumahnya. Hendrakusuma dan Wina ikut tinggal bersama karena mengawasi Bella dan merawat Ahem. Karena kecelakaan itu Ahem terkena gegar otak ringan. Tapi kini sudah berangsur membaik. Kabar mengenai Nazim dan Saga serta Tifa belum juga ada titik terang. Tapi Ahem sedikit lega karena mereka selamat dari rencana pembunuhan Intan dan Indrayana. "Kumpulkan semua bukti kejahatannya untuk menjerat mereka ke jalur hukum, Ahem," usul Hendrakusuma. "Iya Pa, kita bisa mencari celah agar saat dia melakukan kejahatan kita menangkap basah, sehingga dia tidak bisa berkelit dan hukuman yang berat menanti," ujar Ahem bersiasat "Pa, kenapa mama Ishi belum kembali bersama Saga dan Tifa?" tanya Bella sedih. "Sabar ya sayang, mama sama Om Wahyu masih mencari Om Naz
Ahem membuka video yang dikirim Bella ke ponselnya. Ternyata pembicaraan antara Intan dan Indrayana. "Pa, hidupku dalam bahaya kalau Ishita dan anaknya kembali. Singkirkan mereka secepatnya, Pa! Semua Pa, tanpa ampun, meskipun si bocah cacat yang merepotkan itu juga," pinta Intan dengan geram. "Mereka sudah menemukan persembunyiannya, kamu jangan khawatir, serahkan semuanya kepada papa!" ujar Indrayana. "Apa yang papa rencanakan?" tanya Intan. "Anak buahku membakar rumah yang ditempati mereka. Aku yakin sebentar lagi mereka terpanggang di dalamnya." jawab Indrayana. "Kalau di depan mamamu kamu jangan kelihatan membenci Affan, bagaimanapun dia adalah keponakannya," pesan Indrayana. "Iya Pa, saya mengerti," jawab Intan dengan lirih penuh siasat. "Biarkan Affan mati dengan sendirinya, kanker darah itu dengan sendirinya akan membunuhnya," ujar Indrayana. Sambil tersenyum puas. "Apa? Jadi Affan terkena kanker darah?" Ahem te
Akhirnya rasa kemanusiaan bisa mengalahkan kekhawatiran akan keselamatan anak-anaknya. Ahem yang terkapar tak berdaya membuat Ishita luluh. "Bagaimanapun dia adalah mantan suamiku, pasti dulu aku pun mencintaimu, kamu ganteng dan kaya,' batin Ishita. "Pak, bantu aku bawa ke rumah sakit ya? Nanti aku bayar tiga kali lipat," pinta Ishita kepada sopir taksi. "Tapi kepalanya banyak darahnya, Mbak, takutnya nanti kena jok mobil susah dibersihkan," kata sopir taksi ragu. "Jangan khawatir kepalanya aku pangku, lagian ada kain untuk bantalan kok," ujar Ishita meyakinkan. "Tapi tolong hati-hati ya, Mbak," pesan sopir taksi. "Jangan khawatir, Pak, aku janji!" jawab Ishita. "Pak, jangan berlebihan deh, bayangkan dia adalah keluargamu!" teriak salah seorang diantara mereka. "Iya Mas, baik aku tolong! Jangan nyumpahi gitu dong! Ayo bantu masukin ke mobil!" pinta sopir taksi kemudian. Begitu Ahem dibawa masuk ke taksi kepalan