Pov Frida"Bang Farhan banyak berubah ya, Bu?" tanyaku, usai Bang Farhan pergi meninggalkan rumahku. "Iya Da, Ibu sebenarnya kasihan melihat dia," ucap Ibu sendu. "Kasihan gimana, Bu? Bang Farhan, kan sudah bahagia hidup bersama wanita idamannya, yang sudah dia gilai sejak muda," timpalku. "Kamu nggak lihat tatap matanya? Kayak orang nggak fokus, gitu? Lirik sana lirik sini, ngomong nggak jelas, aku yakin Farhan itu ke sini bukan kemaunnya sendiri, tapi ada yang menyuruh, siapa lagi kalau bukan istrinya? Dia itu seperti ada yang mengendalikan," ucap Ibu penuh selidik. "Maksud, Ibu?" tanyaku tak mengerti. "Sejak dia main serong dengan, Freya. Sebenarnya Ibu sudah menaruh curiga, Farhan itu kena pelet," ucap Ibu penuh penekanan. "Kena pelet? Ibu jangan mengada-ada deh, hari ini masih main pelet, yang ada main sosmed, Bu. Lagian Freya itu kan, memang cantik, seksi, dari jaman masih sekolah juga selalu jadi idola kaum Adam, Bu. Termasuk Bang Farhan, Buat pakai yang begituan coba? Se
Istri Serakah 20Pov FarhanPulang dari warung, tak lupa aku mampir pasar, beli celana dalam pesanan Freya, biar nanti kuakui sebagai milik, Frida. "Minta kok celana dalam bekasnya orang, kayak nggak ada toko yang jual celana dalam baru saja!" Gerutuku dalam hati. Lagian, buat apa sih, celana dalamnya Frida? Buat lap? Apa buat sajen? Aneh-aneh saja permintaan istriku itu. Semakin hari, aku merasa Freya itu semakin misterius, seperti sedang menyembunyikan sesuatu, kayak ada kekuatan gelap di belakangnya, entah apa itu, sulit untuk disebutkan. Aku juga makin merasa aneh dengan diriku sendiri, kenapa aku hanya bisa tunduk patuh pada Freya, disuruh ini itu mau-mau saja. Padahal akalku menolak, bahwa perintah Freya itu tidak masuk akal, tapi ya tetap aku lakukan, aneh kan?Apa ini ada hubungannya dengan mimpiku setiap malam? Dalam mimpiku itu, aku dililit ular yang sangat besar, memang tidak menggigit, tapi membuat aku susah bernafas dan bergerak. Sama seperti dalam kehidupan nyataku,
Istri Serakah 21Pov Frida"Ibu minta maaf, Da. Nggak bisa pulang ke rumahmu. Ternyata memang benar, jiwa Farhan dikendalikan oleh ilmu sihir. Dia sudah terlanjur minum darah haid, Freya. Sangat sulit untuk menyembuhkan korban pelet seperti ini, butuh tirakat yang lama, sedangkan kamu tahu sendiri, Farhan tidak merasa dirinya di guna-guna. Dan yang lebih parah lagi, Farhan harus diajak menyebrang samudera, agar pengaruh sihir itu benar-benar hilang dari tubuhnya. Ibu jadi bingung, Da? Bagaimana caranya mengajak Farhan pergi?" ucap Ibu dari sebrang. Aku tidak menyangka, ternyata Freya sejahat itu. Tega main guna-guna demi menguasai Bang Farhan, seperti orang tidak beriman saja. "Lalu rencana Ibu, apa?" "Aku harus ke rumah Farhan, dia harus minum air yang sudah didoakan ini, agar kekuatan peletnya pudar," jawab Ibu pelan. "Lalu Freya bagaimana, Bu? Apa dia akan diam saja, melihat Ibu membawa air doa?""Ya itu masalahnya, tapi Ibu akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Pokokn
"Apa?! Papa hanya dapat rumah dan satu warung?! Mobil pun Papa kasih, ke Frida?! Papa itu bego apa guoblok?" teriak Freya, saat tahu hasil sidang pembagian harta gono gini. "Itu sudah adil, Ma. Yang Frida terima itu sudah menjadi haknya, dan anak-anak. Kamu kan tahu sendiri, sejak kita menjalin hubungan, mereka ku telantarkan. Wajarlah kalau sekarang mereka mendapatkan kompensasi," sanggahku, dengan suara pelan. Kalau lagi emosi gini, Freya suka lepas kendali, bukan hanya makian, dan umpatan, tapi segala benda yang berada di dekatnya, bisa menjadi senjata. Jadi lebih baik aku mengalah, dari pada sama-sama emosi. ."Kamu memang bodo, nggak tegas, harusnya kamu bukan hanya mikir nasib anak-anakmu dengan Frida, kamu juga harus mikirin nasib aku dan anak kita. Kami juga butuh biaya, mana jualanmu sepi lagi!" teriak Freya. "Insya Allah, akan ada rejeki, asal kita tetap berusaha, sabar dan ikhlas," ucapku lembut, berusaha meredam emosi Freya, yang semakin meninggi. "Sabar-sabar! Kamu p
Pov Frida "Hai perempuan tak tahu diri! Keluar kamu!" terdengar suara wanita yang melengking tinggi. Suaranya terdengar sangat dekat, seperti dari depan rumahku, tapi siapa? Aku merasa tidak punya masalah dengan siapapun, kenapa tiba-tiba ada yang meneriaki aku seperti itu. "Perempuan serakah! Keluar! Kalau berani, hadapi aku!" teriaknya sekali lagi. Aku yang sedang ada tamu tentu saja mengabaikan teriakan itu, dan lebih memilih menyelesaikan urusan dengan tamuku ini. Hari ini mobil Bang Farhan laku terjual, sengaja kujual dengan harga miring, agar cepat laku. Karena aku bosan melihat mobil itu parkir di teras rumahku, selain menghalangi toko, mobil itu menyimpan kenangan buruk untukku. Mobil itu dibeli Bang Farhan atas permintaan Freya, yang tidak mau naik mobil biasa, tapi mobil mewah. Dengan mobil itu pula mereka main gila. "Terima kasih sudah menjual mobil kepada saya, Bu Frida," ucap Pak Wisnu, lelaki pemilik show room mobil bekas, yang membeli mobil Bang Farhan. Setelah p
Pov Farhan"Bang! Istrimu ngamuk di rumahku, cepat jemput dia, sebelum aku lapor ke polisi," seru Frida, dari sebrang sana. "Ada apa lagi dengan Freya? Masih pagi sudah membuat keributan di rumah orang," gerutuku dalam hati. "Iya, iya, aku ke sana sekarang." Langsung aku matikan telfonku, tanpa menunggu jawaban dari Frida. Segera aku tancap gas menuju menuju rumah mantan istriku, untuk menjemput Freya, sebelum terjadi kerusuhan. "Ma, ngapain marah-marah di sini? Ayo pulang! Bikin malu saja!" hardikku.Entah dari mana keberanianku datang, biasanya aku selalu tak berdaya menghadapi, Freya. Tapi kenapa hari ini tak ada rasa takut lagi dalam hatiku. "Aku hanya meminta uang hasil penjualan mobil," sergah Freya. "Sudah, kita pulang!" ucapku seraya menarik tangan Freya, menuju motor. "Aku nggak akan pulang, sebelum perempuan serakah ini mengembalikan uangnya," teriak Freya histeris, sambil terus meronta. "Plak!" Satu tamparan dari tanganku, melayang ke pipi tirus Freya. Aku sendir
Pov FridaAkhirnya aku kembali menginjakkan kaki di kantor pengacara ini lagi, tapi kali ini untuk menyelesaikan urusan administrasi. Semoga ini terakhir kalinya aku berurusan dengan pengacara. "Selamat pagi Bu Frida, ada yang bisa saya bantu?" sapa Clara, resepsionis kantor dengan ramah. "Selamat pagi juga, Mbak. Saya mau ketemu Pak Harsono, bisa?" jawabku tak kalah ramah. "Pak Harsono? Waduh, beliau sedang keluar, ada sidang hari ini. Tapi beliau sudah titip pesan pada saya, tunggu sebentar." Clara membuka laci mejanya, seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dia mengulurkan amplop coklat padaku, seraya berkata, "beliau pesen, kalau Bu Frida ke kantor. Urusan administrasinya bisa diselesaikan dengan saya, ini rinciannya, silahkan dibuka."Aku membuka amplop pemberian Clara, lalu membacanya dengan seksama. Tertulis biaya perkara lima belas juta, dan aku mendapatkan potongan lima juta, karena kasusnya tergolong ringan dan cepat selesai. Pantes aja pengacara cepat kaya, sekali ker
Pov FarhanMakin hari, kondisi Freya makin memburuk. Kalau kemarin masih bisa beraktivitas meski sedikit dan hanya di dalam rumah saja. Jangan tanya bagaimana perasaanku terhadap Freya? Rasa itu perlahan tapi pasti, pergi dari hati ini. Tak ada lagi cinta yang menggebu-gebu, yang membuatku bertekuk lutut di hadapannya. Entah ini karena kondisi fisik Freya yang lemah, atau karena ramuan yang Ibu berikan. Yang jelas, aku melihat Freya seperti melihat orang lain saja.Freya sekarang hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur. Tak bisa bangun walau sekedar ke kamar mandi, semua butuh bantuan orang lain. Tak ada lagi Freya galak, yang suka marah-marah dan sewenang-wenang. Tak lagi Freya yang meminta semua uang hasil jualan ku, yang ada Freya yang lemah tak berdaya. "Freya kok makin parah begitu ya, Bu? Jangan-jangan ini karena ramuan yang Ibu berikan?" tanyaku pada Ibu, saat kami sedang ngobrol di teras, usai aku pulang jualan. "Ngaco kamu! Itu hanya air putih yang sudah didoaka
Istri Serakah 37 Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat, tubuh kurus kering hanya tulang berbungkus kulit, lemah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Aku hampir tak mengenali siapa dia. Ini bukan manusia, tapi mayat. Kemana Freya si cantik dan seksi? Kemana wanita yang selalu tampil modis dan menggoda? Malangnya nasibmu, Freya. Hidup terlunta-lunta, digerogoti penyakit mematikan. Tinggal di kamar sempit dengan kasur lusuh, pula. "Bu Freya, ini ada Pak Farhan," ucap petugas Dinsos yang mendampingiku, dengan suara pelan. Wajah yang tadi menengadah ke atas, dengan tatapan kosong, kini beralih menatapku. Sumpah, benar-benar seperti tengkorak hidup. Mata cekung dengan tulang pipi yang menonjol dan gigi nampak geripis. Aku sampai ngeri. Kalau tidak didampingi petugas Dinsos, pasti aku sudah lari tunggang langgang. Benar-benar menakutkan Freya ini. "Farhan." Suara Freya terdengar parau, seperti suara nenek-nenek. Mengingatkanku pada tokoh jahat "Mak Lampir". "Pak Fa
Istri Serakah 35 Lima tahun berlalu, aku masih sendiri, belum bertemu wanita yang tepat. Aku putus komunikasi dengan, Freya. Bagiku perempuan itu sudah mati, gara-gara dia aku harus memulai semua dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, dia menikah dengan pengusaha baru bara asal Kalimantan. Seperti keinginannya untuk menikahi pria kaya, agar hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja keras. Entah seperti apa nasibnya sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Kalau dia kaya, pasti sombongnya nggak ketulungan. Apalagi melihat hidupku yang seperti ini, bisa bersorak menang dia. Dengan Frida, aku masih menjalin komunikasi, tapi hanya sebatas masalah anak-anak, lain tidak. Frida sudah bahagia dengan suami barunya, tidak enak kalau aku masih menjalin komunikasi secara intens. Dari pernikahannya dengan Tomi, Frida dikaruniai anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hubunganku dengan anak-anakku sudah membaik, mereka tak lagi bersikap canggung padaku. Mereka juga tak per
Pov Freya. "Kasihan ya? Badannya samapai kayak tengkorak hidup begitu." Sayup-sayup kudengar orang sedang bicara. "Sudah berapa lama dirawat di sini?" Terdengar suara lain menyahut. "Enam belas hari, Bu." Itu suara Suster Anisa. "Selama itu mereka hanya berdua? Nggak ada keluarganya sama sekali?""Pertama datang dalam keadaan pingsan, diantar seorang laki-laki, tapi setelah itu dia pergi dan tak pernah kembali. Sepertinya dia sengaja ditinggal, mungkin keluarganya tidak mau repot," jelas Suster Anisa. "Kok ada ya, orang setega itu? Menelantarkan keluarganya sendiri. Punya salah apa dia, sampai diperlakukan seperti itu?"Percakapan Suster Anisa, entah dengan siapa itu, membuat hatiku tercabik-cabik. Se-mengenaskan itu nasibku, sudah miskin, penyakitan, dibuang keluarga pula. Rasanya tak ada nasib yang lebih malang dari hidupku ini. Perlahan aku membuka mata, rasanya aku tak sanggup lagi mendengar mereka membicarakanku. "Bu Freya sudah bangun," sapa Suster Anisa Ramah. "Bapak da
Pov Freya. Aku terbangun di atas brangkar rumah sakit, tapi aku yakin ini bukan rumah sakit yang sama. Ruangan di sini lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Aku menoleh ke samping, ada beberapa pasien yang sedang terbaring. Rupanya aku dipindah ke bangsal, ruangan yang ditempati beberapa orang. Rupanya Julian tak ingin mengeluarkan banyak uang, untuk membayar perawatan ku. Padahal dia meraup banyak untung dari menjual tubuhku. Dasar laki-laki tak punya hati! rutukku dalam hati. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya aku mendapat perawatan. Daripada dibuang di jalan. Laki-laki itu kejamnya luar biasa, dia bisa melakukan tindakan diluar nalar. "Mama! Mama! Mama sudah bangun?" tangan mungil milik Fadil menggoyang tanganku. "Eh iya Nak," ucapku terharu. Melihat Fadil di sisiku. Kupikir Julian membuktikan ancamannya akan menjual Fadil. "Ibu tidurnya lama, nggak bangun-bangun. Aku di sini nggak ada temannya," ucap bocah lima tahun itu dengan polosnya. "Om Julian mana," tanyaku
Akhirnya aku terpaksa melayani nafsu be jat laki-laki bernama Rudi ini. Meski tua bangka ternyata dia tangguh juga, berkali-kali aku dibuatnya tak berdaya. "Terimakasih pelayanannya cantik, kamu memang hebat. Baru kali ini aku merasa puas, tak rugi aku membayar mahal pada Julian," ucap Rudi seraya mengenakan pakaiannya. "Sama-sama, mana tip yang kamu janjikan? Kamu bilang kalau aku bisa memuaskanmu," ucapku menagih janji. "Tentu saja aku tidak lupa, ini!" Rudi mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya, lalu meletakkannya di pangkuanku. Tangan yang mulai keriput itu membelai wajahku, bibir hitamnya mengecup bibirku. Aku hanya bergeming, jujur aku merasa jijik disentuh pria tua itu. Meski demi uang, aku tetap pilih-pilih pelanggan, tidak sembarangan seperti ini. "Kalau aku tidak takut istriku, sudah pasti aku akan membawamu pulang ke rumahku. Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, tapi aku harus kerja. Besok aku akan datang lagi, tunggu ya?" ucap Rudi seraya
Pov Freya"Frey, itu laki-laki yang katanya pengen kenalan sama kamu," ucap Andrea. Dia menunjuk seorang laki-laki berpenampilan dandy yang sedang berjalan dari arah pintu. "Dia itu tajir melintir, pengusaha batu bara. Lagi cari istri katanya, kamu mau aja. Orang ganteng gitu, sayang kalau ditolak," ucap Andrea lagi. "Iya sih dia ganteng dan kaya, tapi apa dia mau sama aku? Sudah hampir kepala empat ini," sanggahku. "Ya nggak pa-pa, kan? Biar sudah berumur kamu masih terlihat cantik dan seksi, kok?" ucap Andrea menyemangatiku. "Aku cuma nggak PD aja, laki-laki tampan dan mapan kayak dia bisa cari perempuan model apa saja. Bahkan gadis perawan bisa dia dapatkan, sekarang itu yang penting kan uang. Masa iya dia mau sama aku, yang sudah mau expired ini? Tentu saja aku tidak percaya begitu saja omongan Andrea. Mau secantik apapun aku, tetap lebih lebih menarik gadis muda. Lebih sekel, lebih ranum. Mana aku sudah punya buntut lagi. Rasanya kok nggak masuk akal. "Dia sendiri yang mint
Pov Frida"Bapak seneng, Da. Kamu mengambil keputusan yang tepat. Tomi selain baik hatinya, baik juga perilakunya, sopan sama orang tua, perhatian sama anak-anak. Bapak tidak pandang harta, bagi Bapak asal dia setia dan bertanggung jawab padamu dan anak-anak, Bapak setuju. Lagi pula, menurut pengakuan Tomi, dia tidak kunjung menikah, karena mencari sosok wanita sepertimu, tapi tidak pernah ketemu," jelas Bapak usai acara lamaran konyol itu. "Bapak menerima Mas Tomi, karena disogok sama makanan tiap hari, ya?" tuduhku. "Idih! Murah banget? Emangnya Bapak cowok apaan?" sergah Bapak tidak terima. "Ha ... ha ... ha ..." Aku tak bisa menahan tawa mendengar jawaban Bapak. "Habisnya, Bapak kalau ngobrol sama Mas Tomi betah banget. Sampai aku ini nggak dianggep," selorohku. "Tomi itu teman ngobrol yang asik, kami mengenang kembali masa-masa di kampung. Rasanya menyenangkan punya menantu seperti dia. Bapak jadi tenang, bila nanti harus kembali ke kampung, Da. Nggak khawatir lagi, di sini k
Pov FarhanLima bulan berlalu, aku dan Freya sudah resmi bercerai. Sekarang aku tinggal di belakang warung sotoku. Freya memenuhi janjinya untuk menjadikan aku gembel. Sekarang aku hanya bisa menyesali semuanya, bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada wanita licik seperti, Freya? Wanita ular itu benar-benar telah memiskinkanku. Rumah dia kuasai, bahkan sepeda motor yang biasa aku pakai pun, dia akui juga. Karena semua kubeli sebelum kami menikah, dan semua atas nama dia, jadi aku tidak bisa menuntut apapun. Dalam hukum statusnya harta pribadi, bukan harta gono gini. Bodohnya aku, tak jadi menjual perhiasan Freya untuk membayar biaya rumah sakit, karena tidak mau repot. Tapi malah menggunakan uangku, yang ku kumpulkan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan Freya, sebagai gantinya. Dan hasilnya, aku benar-benar tidak punya uang sepeserpun setelah dicampakkan, Freya. Untungnya, uang modal jualan soto, dipegang Sandro, karena dia yang biasa belanja untuk kebutuhan warung. B
Pov FridaAkhirnya Bapak memutuskan tinggal di rumahku, untuk sementara waktu. Menemani dan menjaga aku dan anak-anakku kata beliau. "Ini kota besar Da, Bapak nggak tega lihat kalian sendiri di rumah, nggak ada laki-laki. Meskipun Bapak sudah tua, paling tidak kalau ada sosok laki-laki, kamu tidak direndahkan oleh orang lain, kalau ada yang mau macem-macem, pasti akan mikir dulu. Bagaimana pun juga kamu itu janda, sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Istri Farhan itu, tidak akan berani melabrak ke sini, kalau tahu ada aku," tegas Bapak. Aku memang sudah cerita pada Bapak, tentang kelakuan Freya yang pernah melabrak ku, aku juga cerita tentang Bang Farhan yang sempat ingin menguasai seluruh hartaku. "Bapak tega ninggal sawah? Tega ninggal kebon? Nanti bilangnya kangen kampung?" sindirku."Semuanya sudah diurus masmu, Bapak di kampung juga dilarang kerja lagi sama dia. Bapak bosen, lebih baik di sini saja, kan Bapak bisa kalau hanya jaga toko, ngangkat-ngangkat barang begi