Selamat Membaca
"Alfred jelas tahu kalau kauBelum bisa banyak minum alkohol karena cideramu tapi, dia justru membawa kita kemari," ucap Eva. Alfred yang sedang menutupPintu jelas-jelas mendengar hal tersebut tapi, dia pura-pura tuli. Ada misi 'penyelamatan pernikahan' yang sedang ia lakukan. Jadi, anggap saja, sindiran Nyonyanya itu sebuah angin lalu. Ibaratnya, guk-guk mengeong kafilah berlalu. Eh, beda konsep ya."Kalau kauTidak menyukai tempat ini kitaBisa cari tempat lain, Eva," ucap Aiden, dia sudah hendak berdiri, tapi Eva menahannya."Tidak. Biar saja, Aiden. Bukan aku tidakMenyukai tempat ini," Eva melihat kesekeliling ruangan, "Suka. Hanya saja yangKumaksud sebaiknya nanti kau jangan minum alkohol terlalu banyak dulu ya. Jaga-jaga jangan sampai cideramu bermasalah. Lagipula akan melelahkanBagimu jika harus berpindah ketempat lain. Jadi, kita disini saja, tidak perlu berpindahTempat," tambah Eva lagi.Aiden mengangguk. Pria itu lebih banyak diam. Dia terlihat jauh tapi juga tidak terlihat deka
Eva terbangun dengan kepala dan pipi yang terasa sakit. Bukan hanya itu, tapi semua tubuhnya terasa sakit. Eva mengerjap berulang kali tapi penglihatannya tak juga membaik. Apa ini? Dimana aku? Kenapa gelap? Apa sekarang masih malam hari?Eva mencoba untuk bangkit, tapi, dia merasakan kalau dia tidak bisa bergerak. Kenapa ini? Apa dia terikat? Kenapa dia bisa terikat? Apa dia diculik lagi?Aiden! Eva mencoba memanggil tapi tak ada suara yang keluar karena mulutnya ditutupi lakban.Di saat kebingungan seperti itu, sebuah pintu terbuka. Seseorang masuk lalu menyalakan lampu. Membuat mata Eva sakit karena cahaya terang tiba-tiba yang masuk ke dalam indera penglihatannya.Sosok yang baru masuk itu berlatarkan cahaya hingga Eva tidak bisa melihat dengan jelas ditambah sosok itu memakai topeng."Ternyata kau sudah bangun!" ucap sosok itu, dia berjalan menghampiri Eva lalu melepas lakban yang menutupi mulut Eva dengan kasar membuat mulut dan kulit area sekitar terasa perih. Mau tak mau erang
Victoria Malik berjalan dengan terburu-buru menuju ke kamar Rebecca. Biasanya jika ingin berbicara Victoria hanya perlu memanggil Rebecca ke ruangan bacanya, tapi, situasi yang membuatnya berdebar membuat Victoria menjadi sangat tidak sabar untuk mengkonfirmasi tentang kebenarannya."Apa yang kau lakukan, Rebecca?" seru Victoria begitu memasuki kamar Rebecca. Tanpa disangka, Victoria merasa terkejut saat masuk ke ruangan itu. Bagaimana tidak, ada bantal dan beberapa barang yang lain berserakan di lantai, seolah barang-barang itu sengaja dilempar ke sembarang arah."Apa ini, Rebecca?" tanya Victoria lagi, dia berhenti di depan bantal yang tergeletak di lantai. Pelayan Rebecca buru-buru memunguti barang-barang yang ada di lantai dan berusaha merapikannya semampunya."Nyonya Victoria," rengek Rebecca, begitu melihat Victoria, tangis Rebecca seketika pecah. Dia berlari memeluk Victoria lalu menangis sesenggukan di bahu wanita tua itu.Victoria mengangkat tangan, Adriana, asisten yang mengi
Eva mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi pada saat kecelakaan."Aiden," Eva menangis, dia memeluk tubuh pria itu dengan erat. Air mata di pipinya mengalir dengan deras. Saat itu pintu mobil terbuka, dalam keadaan setengah sadar Eva merasa tubuhnya ditarik dan dipisahkan dari Aiden. Eva berusaha memberontak saat Aiden dibawa pergi tapi, dia sendiri keburu kehilangan kesadaran.Eva mengerjap, dia tersentak oleh ingatan itu."Dimana Aiden?" tanya Eva pada wanita bertopeng yang ada di hadapannya, "Kemana kau membawanya? Lalu siapa kau? Kenapa kau melakukan ini?"Sebagai gantinya wanita itu tertawa mendengar pertanyaan Eva."Tak kusangka kau benar-benar melupakanku, Eva," jawab wanita bertopeng itu, "Terus apa yang tadi kau tanyakan? Kenapa aku melakukan ini?" Dia menyempatkan diri tertawa lagi sebelum kemudian menjawab, "Tentu saja karena aku membencimu, Eva. Gara-gara kau Aiden Malik sampai turun tangan. Membuatku kehilangan pekerjaan hingga tidak bisa diterima bekerja di hotel
"Kau tidak mungkin melakukan semua ini sendiri," tukas Aiden, "Berapa orang itu membayarmu? Aku bisa memberikan lebih. Bahkan sepuluh kali lipat lebih banyak dari yang orang itu berikan jika kau setuju untuk melepaskan kami berdua."Jennifer tertawa, "Dasar billionaire. Itu adalah hal klasik yang kalian tawarkan saat kalian dalam keadaan terdesak. Menawarkan uang berpuluh-puluh kali lipat. Tapi, apa kau tahu Aiden Malik yang terhormat, kenapa aku menerima tawaran ini? Karena selain uang aku bisa mendapatkan kesempatan untuk membalas orang-orang dari kalangan borjuis sepertimu dan juga Eva. Aiden Malik, semudah itu kau menghancurkan hidup seseorang seperti diriku ini?""Aku tidak akan melakukan itu kalau bukan kau sendiri yang memulai terlebih dahulu menyakiti istriku. Apa menurutmu seorang suami akan diam saja saat istrinya dipermalukan dan disakiti oleh orang lain? Dalam hal ini dirimu, Jennifer."Jennifer memaki sambil melihat ke dinding, seolah Eva tidak ada di sana. "Brengsek, Eva.
"Ap ... appa yhang khau lhakukan, Thuan Ai ... Aidhen?" ucap Jennifer, dia kesulitan bicara dengan jelas karena tali Aiden yang melilit lehernya, "Appa khau lupha khalau akhulah yang thelah menyelamhatkhanmhu dhari thabrakan ithu dhan mengobatimuu.""Aku tidak minta diobati lagipula kaulah penyebab kecelakaan itu. Jadi, kurasa aku tidak perlu repot-repot berterima kasih. Sekarang suruh anak buahmu untuk meletakkan senjata dan alat komunikasi mereka lalu minggir ke sana. Atau kalau tidak aku akan mematahkan lehermu ini," tegas Aiden sembari mengencangkan tali di leher Jennifer.Jennifer yang merasakan cekikan tali di lehernya mengencang lantas memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan senjata mereka."Minggir ke sana," ucap Aiden sambil mengencangkan tali saat dilihatnya ketiga pria itu tidak bergerak. Sebagai gantinya, Jennifer memerintahkan lewat mata membuat ketiga anak buahnya kembali menurut dan menepi ke samping hingga mereka bisa lewat."Eva, apa kau bisa berdiri?" tanya Aiden.
"Apa kalian tahu kabar terpanas saat ini?" Leslie berkata pada kedua temannya yang kini sedang berkumpul di gazebo halaman belakang rumah Leslie."Tidak. Memangnya ada apa?" tanya Cassie sembari mengaduk-aduk potongan es batu yang ada di dalam gelas jus strawberry miliknya."Sebenarnya hal ini tidak terekspos di publik tapi, aku mendengarnya dari sumber terpercaya. Ini tentang Aiden Malik."Mendengar nama Aiden Malik, Cassie dan Lily menjadi sangat tertarik dengan kabar itu. "Ada apa dengan dia?" tanya keduanya. Seperti yang diketahui, sebelumnya Aiden sempat menguras rekening ketiga wanita itu secara tidak langsung saat di restoran."Aiden Malik dan istrinya sempat diculik," ucap Leslie yang membuat Cassie terperangah sedangkan Lily menjadi cemas."Astaga, lalu bagaimana keadaan mereka sekarang?" tanya Cassie, "Apa mereka baik-baik saja?""Ya. Keduanya baik-baik saja sekarang. Kasus ini sedang dalam tahap penyelidikan lebih lanjut secara tertutup. Tapi, coba tebak siapa yang yang men
Benjamin berjalan dengan tergopoh-gopoh. Dia bahkan berjalan setengah berlari sembari memakai jas dokter miliknya. Beberapa pasien yang berada di selasar bahkan sampai menoleh kebingungan melihatnya.Siang tadi saat sedang di toilet, ponsel Benjamin berdering. Oo, ternyata itu dari Aiden. Benjamin kembali melanjutkan kegiatannya, lalu ketika tersadar ...Astaga! Ini kan nomor darurat Aiden Malik! Benjamin buru-buru menarik retsleting celananya lalu menggeser layar ponsel. Dia lantas meletakkan ponsel itu di antara bahu dan lehernya lalu membuka pintu bilik toilet."Ya, halo, Aiden! Kau dimana? Apa kau baik-baik saja? Aku mendengar kabar burung kalau terjadi sesuatu padamu. Sejak beberapa waktu yang lalu ponselmu bahkan tidak bisa dihubungi. Sekarang bagaimana kondisimu?""Tuan Aiden meminta Tuan Benjamin segera ke rumah sakit untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Beliau meminta untuk tidak memberitahu siapapun dan minta disiapkan jalur super VVIP. Saya akan memberitahu detilnya selan
Bandara terlihat ramai, tapi itu tidak membuat seorang gadis dengan tubuh model berjalan dengan angkuh sembari menarik tas kopernya.Di area penjemputan penumpang, mata gadis itu menatap sekeliling dimana ada banyak orang yang berdiri untuk menunggu kerabat, teman atapun rekan. Sampai akhirnya dia mendengar teriakan itu disertai lambaian tangan dari seorang yang ia kenali."Rebecca!" panggil Rachel sembari mengangkat selembar karton bertuliskan namanya.Rebecca segera menghampiri Rachel, keduanya saling berpelukan, "Apa kabar?" tanya Rachel pada Rebecca, "Lama kita tidak bertemu, kau semakin cantik saja adikku.""Kakak," seru Rebecca rasanya ia ingin menangis karena sudah lama tidak bertemu dengan saudarinya itu, "Aku merindukanmu.""Sama. Ayo, kita ke apartemenku. Kau bisa menginap di sana.""Ngomong-ngomong, mana pacarmu katanya kau sudah punya pacar," tukas Rebecca sembari melihat kesana kemari."Ah, dia sedang bekerja dan tidak bisa ikut menjemputmu. Aku akan mengenalkanmu padanya
"Aduh, sudah-sudah. Cucu kita hanya ingin berbulan madu saja. Biarkan saja." Alaric menengahi, "Minum saja tehmu, Victoria."Aiden bergerak sigap mengambil cangkir teh Victoria lalu menyodorkannya ke wanita tua itu. Wanita tua itu mau tak mau tersenyum, "Kau ini, cucu nakal, mana ada bulan madu selama ini. Bilang saja kalau ini hanya akal-akalanmu untuk menolak kembali. Ya, kan?"Mendengar itu Aiden hanya tertawa saja.Beberapa waktu kemudian, keduanya lantas pulang dengan membawa banyak buah tangan. Alaric melambaikan tangan sedangkan Victoria berbalik masuk ke dalam mansion.---Alfred melihat adiknya yang sedang melakukan terapi. Sudah beberapa lama ini dia mengambil cuti karena hendak menemani adiknya menjalani terapi dan proses kesembuhan.Aiden telah memiliki bisnisnya sendiri dalam bidang pengiriman, meski tidak sebesar Malik Group tapi, meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi Aiden dalam membiayai semua perawatan adik Alfred hingga hampir sembuh seperti ini.Alfred hany
"Halo!" ucap Aiden ketika menerima panggilan masuk tersebut. Dia sekarang berada di balkon dimana langit malam menjadi panoramanya..Terdengar deheman dari seberang sana sebelum kemudian suara familiar orang tua itu menyapa telinganya."Aiden ... ""Ya, kakek ...""Kapan kau kembali ke mansion Malik?" Pertanyaan itu membuat Aiden terdiam. Ini bukan kali pertama Alaric Malik menghubunginya dan memintanya kembali, "Bagaimana mungkin kau pergi di saat aku menyuruhmu pergi. Aku ini orang tua, sesekali marah adalah hal yang wajar. Kenapa kau harus mengambil hati hal tersebut. Kembalilah ke Mansion Malik. Nenekmu sangat merindukanmu. Sudah berapa lama kau tidak pulang?"Aiden menyandar ke dinding balkon sembari mendongak ke langit, "Maafkan aku, Kek. Bukan aku durhaka dan tidak peduli dengan kerinduanmu. Tapi, yang kalian inginkan untuk kembali ke mansion Malik hanyalah Aiden. Eva adalah istriku. Aku dan dia adalah satu kesatuan."Alaric terdiam beberapa saat, "Jika memang itu yang kau ingin
Eva membuka pintu dan mendapati Sebastian Lewis berdiri di sana."Siapa, sayang?" tanya Aiden sembari menghampiri Eva yang terpaku di depan pintu."Halo, Eva, Aiden!" sapa Sebastian ramah seolah sebelumnya mereka tidak pernah berselisih dan tanpa masalah, "Boleh aku masuk?"Eva yang tersadar bermaksud untuk mempersilahkan Sebastian masuk namun, belum sempat Eva melakukannya Aiden telah lebih dulu mengambil alih dengan melangkah maju dan menjawab, "Tidak!" sembari tersenyum.Sebastian yang telah menduga itu balas tersenyum, "Baiklah kalau begitu," katanya. Dia pura-pura hendak membalikkan tubuh lalu tanpa disangka ketika Aiden lengah dia bergerak maju dengan melewati bawah lengan Aiden yang terentang di pintu."Terima kasih telah mempersilahkan aku masuk, Malik!" ucap Sebastian kalem, dia lantas beralih duduk di sofa.Aiden yang melihat itu menghampiri Sebastian sembari mendesis, "Tidak ada yang mempersilahkanmu masuk, lalu siapa juga yang menyuruhmu duduk di sofa itu," sergah Aiden.Ev
Tanpa sadar, Eva tersentak saat Aiden berdiri lalu dengan lembut menggigit puting payudaranya dengan gemas."Aiden ... aku ..." Namun, seolah teringat sesuatu, setelah itu Aiden tidak melakukan apapun. Dia diam membuat Eva bertanya-tanya ada apa gerangan."Aiden, ada apa?" tanya Eva, dia beralih duduk di hadapan pria itu. Aiden menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh Eva yang terbuka dan tubuhnya sendiri. Ada apa ini? "Aku teringat kalau aku belum mendapatkan maaf yang semestinya darimu atas pemaksaan yang kulakukan padamu waktu itu, Eva." Terakhir kali Aiden mengatakannya, Eva sedang mabuk dan Aiden merasa permasalahan itu belum tuntas. Itu terasa mengganjal di hatinya. Aiden kini beralih duduk di tepi ranjang dengan kaki menyentuh lantai. "Aku memang suamimu, tapi, saat itu, aku sudah berlaku kasar dengan melakukannnya tanpa persetujuan darimu. Aku merasa telah melakukan kesalahan yang membuatmu ...""Aiden," Eva meraih bahu Aiden. Membuat tatapan mereka kembali bertemu, "Janga
Sepanjang jalan dari ruangan duduk sampai ke kamar kedua pakaian mereka berserakan. Eva meremas rambut Aiden saat pria itu menciumnya dengan penuh gairah.Hasrat keduanya begitu menggebu-gebu hingga terasa seolah akan meledak. Dengan bunyi gedebuk, pintu kamar tertutup di belakang mereka. Bibir mereka beradu dalam pelukan penuh gairah. Tangan Aiden dengan lembut memeluk leher Eva saat mulut mereka bertemu, keduanya mendambakan momen ini. Jarak ke tempat tidur mungkin tidak terlalu jauh, namun cobaan yang mereka alami sejak kecelakaan itu membuat ciuman ini terasa seperti hadiah yang telah lama ditunggu-tunggu.Eva terengah-engah ketika Aiden separuh mengangkat tubuhnya, dia melingkarkan lengannya di leher Aiden. Perbedaan tinggi badan mereka membuat dia harus memiringkan kepalanya sedikit ke atas.Aiden dengan lembut menggigit bibir Eva, lidahnya secara alami menyelinap di antara keduanya. Gesekan basah dan sensual di antara bibir mereka menciptakan suara lembab dan memikat yang memen
Ruangan itu cukup besar meski tidak sebesar ruangan-ruangan di mansion Malik. Sudah beberapa minggu ini, Eva tinggal di penthouse ini bersama Aiden.Sesekali Eva memainkan piano yang berada di salah satu sudut ruangan dimana jendela kaca besar berada. Dari kaca jendela besar itu pemandangan kota dapat terlihat dengan jelas. Intensitas cahayanya di malam hari dan siang hari.Awalnya Eva begitu terkejut ketika saat itu Aiden menggenggam tangannya. Pria itu lebih memilih Eva ketika Alaric yang murka akibat kecelakaan yang menimpa mereka menyuruh keduanya bercerai."Aiden adalah pewarisku. Pewaris Malik. Bisa-bisanya dia membahayakan nyawanya untukmu, Eva. Aku tidak bisa menerima ini. Segera bercerai dengan Aiden. Aku akan memberikan kompensasi yang sesuai untukmu." Itu adalah ultimatum yang diucapkan oleh Alaric.Tepat saat itu Aiden masuk."Eva adalah istriku, Kek. Sudah sepatutnya seorang suami melindungi istri," jawab Aiden, dia meraih tangan Eva lalu menyatukan kedua jemari mereka."B
Mata dan jari Eva perlahan menelusuri kulit Aiden."Bagaimana lukamu, Aiden?" tanya Eva, dia bertanya dengan tulus dan benar-benar mengkhawatirkan suaminya itu.Mendengar pertanyaan yang sarat dengan kekhawatiran itu membuat Aiden berbalik menghadap Eva, sebuah senyum terulas di bibirnya."Apa kau mengkhawatirkanku, Eva?" tanyanya."Ya," jawab Eva dengan mimik wajah serius, membuat Aiden terhenyak sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala."Lama-lama aku bisa terbiasa dengan kekhawatiran dan kepedulianmu kepadaku, Eva," cetus Aiden, "Rasanya kita seperti pasangan suami istri sungguhan."Eva mengalungkan kedua lengannya di leher Aiden, "Kalau begitu biasakanlah, Aiden," Dia menatap kedua bola mata pria itu, "Bukankah itu yang kau dan aku inginkan? Menjadi pasangan suami istri sungguhan? Atau jangan-jangan sekarang kau berubah pikiran lagi, Aiden?"Aiden tak menyangka dengan penuturan Eva, "Sejujurnya aku yang mengira kau yang akan berubah pikiran, Eva. Setelah pertemuanmu dengan Dok
Lalu, tatapan Aiden beralih ke Rebecca yang berdiri di belakang Victoria. Rebecca yang menyadari hal tersebut buru-buru menghampiri Aiden lalu memeluknya tanpa mempertimbangkan perasaan Eva. Aiden meringis ketika merasakan sentuhan Rebecca mengenai luka di punggungnya. Eva yang melihat ringisan Aiden buru-buru menarik lepas lengan Rebecca dari suaminya.Menyadari itu, Aiden merasa takjub. Dia senang Eva peduli padanya tidak seperti dulu yang tidak peduli dan bahkan melemparkan Aiden pada wanita lain. Hatinya menjadi 'sangat ringan'."Aiden, syukurlah kau selamat. Huhu, aku benar-benar takut sewaktu mendengar kabar dari Nyonya Victoria tentang dirimu," Rebecca tebal muka dan mengabaikan tindakan Eva. Dia memberikan efek sedih dengan tangisannya. Tapi, Eva dan Aiden mana percaya lagi."Itu benar, Aiden. Rebecca sangat khawatir padamu. Dia bahkan menangis semalam." Victoria menambahkan, Rebecca di sebelahnya mengangguk mengiyakan."Lihat nih, mataku bengkak karena semalaman menangis meng