Happy Reading.Damara telah menerima elang yang kirim bersama pesan yang dimaksud, dan tanpa pikir panjang. Damara melesat keluar dari kediaman—dan hal itu Mikael harus mengejar.DUAR!Yap. Damara menghancurkan tembok kamarnya sendiri, membuat lubang yang besar disana. Meski mereka tak tahu asal kekuatan yang Damara punya—pasalnya, bagaimana bisa seorang putri yang hanya tinggal dirumah, yang tidak menjalani pelatihan tingkat apapun. Mampu mengeluarkan kemampuan yang begitu stabil."Sial!" gumam Damara, ia berlari menuju kereta kuda yang akan datang memasuki Arcahe.Namun saat ia sampai.Hosh!Hosh!Hosh!Ia berhadapan dengan Arron, tapi Arron tidak memiliki surat itu. Tapi Demuslah yang memilikinya—sebab Damara dan Arron baru saja sampai.Diikuti Mikael. Damara tiba-tiba saja berlutut. "Tuan Demus yang terhormat, itu milik saya. Bisakah saya mendapatkannya kembali?"Deg!Semua mata kini tertuju pada Damara yang sedikit berbeda. Memohon? Padahal beberapa waktu yang lalu, Damara melih
Happy Reading.Kota Archae. Kediaman Thalesacena. Terdengar suara penuh amarah menggelegar di setiap sudut ruangan."Damara cukup, jangan seperti ini. Ayah tidak senang melihatmu begini?"Tapi Damara hanya tersenyum sinis menatap ayahnya, dengan nafas yang tersegel-segel.Bagaimana tidak. "Latihanmu sudah berakhir!""Belum!" "Damara ayolah.""Aku harus bisa menguasai teknik agar semuanya cepat berakhir.""Ini membunuhmu Damara.""Harusnya pikirkan itu sebelum memasukan ku ke tempat yang tidak aku inginkan."Sang ayah—tuan Arastos mengusap wajahnya gusar, ia tidak menyangka kalau Damara akan melewatkan makan malam dan jam tidur untuk melakukan pelatihan."Ayah ingin aku kesatria, maka aku akan akan mendapatkan gelar itu dan membuat ayah bangga memiliki putri yang menyukai perempuan!" ***Esok harinya, rasa lelah, sakit kepala, menghampiri Damara seperti serangan yang menyakitkan.Lycus mendapatkan laporan itu. "Bukankah kita harus latihan sekarang?" tanya Damara bersikap seolah ia se
Happy reading.Kehadiran Mikael membuat Damara dan Arron menghentikan ucapan mereka. Damara tersenyum. Arron menatap tak senang ke arah Mikael yang datang di saat yang sangat tidak tepat."Kau belum pulang, ja—jadi aku hanya khawatir. Ayah dan ibu juga khawatir Damara.""Haruskah aku melanjutkan pelatihan ini? Aku tidak menyukai setiap detik di tempat ini."Arron melirik ke arah Damara yang tampaknya sangat tidak menyukainya, meski mereka sudah bicara cukup lama bicara tapi.Esok adalah hari ulang tahun pernikahan ibu dan ayah, kau bisa istirahat.Damara tersenyum. "Benar ya istirahat.""Ya."***Esok harinya, Damara menatap nyalang ke arah cermin yang menampakan wajah cantiknya kini sedang di rias dengan begitu elegannya.Matanya berkedut karena kesal. "Keluar!"Para pelayan yang gemetaran saat mendapatkan tatapan membunuh dari Damara memilih untuk keluar, dan ini menjadi masalah."Nak, kalau kau menatap mereka begitu. Bagaimana kau bisa selesai merapikan diri sebelum pesta datang?"
Selamat membaca.Berulang kali menyesal, dan berulang kali percaya pada orang lain. Seharusnya hal itu tidak harus ia lakukan. "Aku tidak menyukai kesempatan ini." Pikir Damara.Dalam sel penjara, ia menatap telapak tangannya sendiri. Ramping dan sangat lemah, tidak ada kuku panjang dan bekas luka permanen disana."Hah!"Draxan menatap Damara menyesal dari sel penjara sebelah, mereka ditempatkan terpisah. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa saling bicara dan bersentuhan."Maafkan aku.""Untuk apa minta maaf, kau sama sekali tidak berguna."Draxan terkejut. Ia mengambil wajah serius, "kau ingin membuangku?" Draxan bertanya dengan nada dingin dan tajam.Memijit dahinya, Damara mendengus. "Tidak." Jawab Damara.Draxan pun memperlihatkan senyuman tulusnya. Matanya sampai tertutup dibuatnya. Tapi alis Damara mengerut. Pasalnya, setelah hari itu. Ia tak pernah bicara lagi dengan sang Dewi pemilik tubuh yang asli."Jangan bilang ia menghilang," gumam Damara. Tangannya mengepal karena geram
Happy Reading.Hari pertama bekerja, Damara dan Draxan ditempatkan di lokasi yang berbeda. Meski agak kesal, tapi Damara tidak marah secara berlebihan dia hanya. Diam."Kalau kau diam saja, mungkin orang lain akan berpikiran buruk."Damara tersenyum sinis. Masih mengabaikan Arron—padahal mereka pernah bersama-sama dulu.Dia murung lagi. Arron menghembuskan nafasnya kasar, entahlah tapi saat melihat wanita itu murung ia tidak senang. Mengawasi area perbatasan. "Tidak ada apapun disini!" "Ya." "Bagaimana kalau kita masuk sedikit lebih dalam?" saran Arron."Em." Meski setuju tapi cara Damara mengabaikannya benar-benar terlihat sangat jelas.Mengbaikan, Arron berjalan duluan untuk menuntun langkah Damara agar tak tersesat di hutan—meski ia tahu kalau Damara tak membutuhkan hal tersebut, karena pastinya tempat ini harusnya tak asing baginya.Menyusuri hutan, Damara membuat jarak di antara keduanya. Arron hanya menghembuskan nafasnya kasar, tak bisa berbuat apa-apa karena hubungan mere
Happy Reading.Kabur dari Mention sendirian adalah pilihan yang ingin Damara ambil sekarang, matanya berkaca-kaca. Tangannya mengepal dengan kuatnya, bahkan urat-urat di sekitaran kepalanya seakan menimpul keluar.Padahal hari ini ada jadwal untuk pertemuan para prajurut pertahanan, bersama dengan Damara dan Draxan. Tapi Damara malah pergi pada saat bulan sudah menunjukan wajahnya.Di tepi pantai Delmare Damara meringkuk, ia menangis meski ia tetap kebingungan dengan arti air matanya yang jatuh."Aku benci perasaan ini." Dia mencengkram pakaian disekitaran dadanya yang terasa sangat sesak—sebelum ia bangkit berdiri, bahkan ia keluar tanpa menggunakan alas kaki.Ini karena masalah tadi siang.Lalu tangan kanannya terangkat ke depan pantai Delmare, seolah sedang membuat portal. Matanya berubah menjadi hijau, dan aura di sekitaran menjadi sangat kelam. Angin berhembus tak beraturan, ombak terasa berantakan. Apa yang ingin Damara lakukan.Kekuataan ini adalah kekuataan Faycon."Aku bilang
Happy Reading.Rasa sakit yang sempat memenuhi dada, penyesalan, amarah dan kesedihan tiba-tiba saja hilang. Seperti kembang api yang meledak-ledak, kini hancur dan menghilang.Tubuhnya terasa lebih ringan, dan air matanya tak menetes lagi."Apakah tidak apa-apa. Membuat ruangan pribadi ini?" tanya Damara, yang sedang memakan apilnya sambil tiduran di atas paha Arron di sebuah sofa panjang.Yap—dalam ruangan mewah, di kediaman Arron. Sang Ayah, Arron membuat ruangan di atas menara yang hanya Mikael, Demus, Lycus, Draxan dan juga Damara yang tahu. Dan kepala pelayan.Di tempat itu mereka bebas membahas masalah Faycon."Makanan sudah siap." Demus benar-benar pandai memasak, nea dari Mikael yang hanya bisa mengajncurkan dapur. Padahal ia hanya di suruh untuk memotong sayuran.Lihatlah betapa marahnya kepala pelayan saat kerepotan membersihkan dapur mini, dalam ruangan tersebut sendirian.Seperti apartemen tapi bukan apartemen, hanya ruangan bernuansa klasik di atas menara tak terpakai.
Happy Reading.Menerimanya kembali mungkin merupakan sebuah pengkhianatan terhebat, yang telah dilakukan para pemimpin dunia hanya untuk hidup seorang Faycon.Meski berteman, ancaman akan selalu ada. Karena dia adalah Damara—dimana sifat dan perilakunya selalu di pertimbangkan dengan teliti. Karena jika salah menebak perasaannya, maka bukan hanya kota yang hancur. Tetapi juga mereka.***Sekarang yang menjadi masalahnya adalah identitas Damara yang harus kembali ia sembunyikan rapat-rapat, dari seluruh warga Hilikie."Kau masuk duluan!" dorong Damara pada Mikael, yang juga takut kena umukan sang ayah. Mengingat hari sudah sangat malam.Tapi kakaknya juga merupakan prioritas utamanya saat ini. "Kau takut?" tanya Mikael."Tentu saja kakak." jawab Damara melembut-lembutkan kata-katanya—dan bukannya gemas, Mikael malah takut.Sekarang berbeda dari kata ia yang memerintah, mengingat ia tahu siapa orang yang berada dalam tubuh adiknya itu.Mengendap-endap. Sampai di bawah semak bunga-bunga
Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se
Happy Reading.Di ruangan Arron, Damara menatap tajam pria itu. "Kau pikir aku seekor anjing?" tanyanya marah pada Arron, sebab ia menarik tubuh Damara dengan kekuatan aura yang terlihat seperti sedang menjerat seseorang. "Hei, kenapa diam saja?""Damara, kau tidak mematuhiku." Damara mengerutkan keningnya. Lalu tersenyum sinis pada pria itu. "Mematuhi, sejak kapan perintahmu menjadi mutlak bagiku? Aku bukan wargamu, karena dari segi apapun aku berbeda. Tidaka kan pernah sama denganmu, jadi berhentilah mengekang seolah aku adalah milikmu.""Kau memang milikku sekarang."Deg! Damafa terpaku di tempatnya, pikiran dan perasaannya tiba-tiba saja menjadi aneh.Arron kini menatap Damara dalam-dalam. "Aku tidak suka kau bersama dengan orang lain selain aku?""Kau gila?""Ya.""Arron!" "Apa?" tanya Arron dengan suara lembut, tetapi mengapa tatapannya begitu tajam. Ia menatap Damara seperti melihat mangsa yang telah di lepaskan tapi malah mengigitnya diam-diam—perlahan Arron mendekati Damara
Happy Reading."Saat bersama dengan As, aku tidak menyaka kalau akan merasa berbeda. Seolah menjadi orang lain. Apa mungkin, hanya dia saja yang melihatku dengan tatapan penuh waspada dan menerima segala kekuranganku?" pikir Damara membatin.Jika kalian berkata kalau ini adalah cinta, maka jawabannya adalah tidak. Ini bukanlah cinta.***Dan itu adalah masalahnya. "Aku perhatikan, kau tidak betah di dalam istana? Ada apa?" tanya Arron, sibuk membalikan lembaran demi lembaran kertas di tangannya dengan teliti.Sementara Damara hanya menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan menjadi urusanmu?""Kau disini karena aku yang memintanya, jadi kau juga tanggung jawabku.""Aku tidak akan mati semudah itu!""Yang ku lihat tidak begitu."Damara tersenyum sinis. "Aha, apa sekarang Anda sangat cemas denganku? Mengingat aku hampir saja mati di tanganmu. Jangan pikir aku tidak mengingatnya, setiap mata yang menatapku seperti musuh. Naif sekali kalau kau sekarang mengkhawatirkanku!" terang Damara ta
Happy Reading.Melihat Arron dan kemungkinan Damara tidak bisa keluar dari tempat ini, Damara tersenyum sebelum menundukan kepalanya singkat pada Arron.Dan di setiap langkahnya, pegang muncul dari tangan Arron. Pedang yang membinasakan dengan aura, mungkin ini saatnya baginya untuk pergi ke neraka.Darah Mycana memang luar biasa ya. Namun di tengah ketegangan yang terjadi, seorang pria menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh dengan sihir.Deg! Emerald membelalakan matanya saat melihat suaminya muncul di tempat ini, dan terlihat tergesa-gesa."Jangan bunuh, tuan saya mohon!"Dia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya, obat yang taruh dalam botol kecil dalam jumlah yang cukup banyak. "Nona saya berhasil." ujarnya dengan senyuman penuh ketakutan.Yap. Damara sudah merencanakan saat ini, dan untungnya pria menyebalkan yang ingin sekali ia bunuh itu datang tepat pada waktunya."Saya juga membawa surat cerai, jadi saya mohon. Lepas segel sihirnya, ya."Lycus kembali sebotol, lalu ia