“Tunggu di luar, atau jangan kerja lagi denganku!” ancam Ron tidak main-main.
Melihat ekspresi wajah Ron saat berbicara barusan, Lukas pun hanya bisa menghela nafasnya pasrah. “Ck! Dasar pelit!” Sebalnya. Tidak menanggapi ucapan Lukas, berdebat Ron menutup pintu rumahnya. Menatap Aruna yang kini tengah membersihkan sofa dan mengelap meja, Ron merasa kesal sendiri. “Apa kau sengaja keluar saat Lukas datang supaya kau bisa tebar pesona?” Mendengar ucapan Ron yang tidak masuk akal tentangnya, Aruna pun hanya bisa tersenyum kesal. “Kalau kau ingin mencari perhatian seorang pria, kok bisa katakan saja padaku! Aku akan dengan murah hati menyewakan beberapa pria untukmu,” Ron menatap Aruna dengan sinis. Menahan kesal rasanya Aruna juga mulai lelah, dia pun sedang tidak ada energi untuk terus memaklumi segala perbuatan Ron padanya.“Sepertinya menyenangkan sekali mencurahkan isi hatimu, ya.” ujar Ron setelah merebut ponsel dan memutuskan sambungan teleponnya. Aruna menelan salivanya sendiri, tidak menyadari keberadaan Ron yang entah sejak kapan, dan seberapa banyak yang sudah dia dengar. Ron meletakkan ponsel di atas tempat tidurnya Aruna, lalu menatap Aruna dengan tatapan yang tajam. “Bagaimana bisa kau memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan mu dengan begitu gamblang, Aruna?” Glek! Aruna menelan salivanya sendiri. Tatapan matanya dia arahkan ke lain sisi, sekejap saja melihat sudah jelas Aruna bisa merasakan kemarahan yang dirasakan oleh Ron. “Memprovokasi adikmu untuk lari, menghakimi kami dengan mengatakan bahwa kami picik, apakah kau merasa sudah menjadi orang yang paling benar, Aruna?” Ron mencengkram dagu Aruna, menyalurkan kemarahannya.
“Siapa yang memintamu untuk meminum pil penunda kehamilan, Violet?” tanya Reiner, matanya menyalak marah. Violet terdiam, tidak menyangka kalau Reiner akan melihat isi tasnya. Reiner adalah pria yang sangat tidak suka ikut campur, itulah kenapa Violet merasa tidak perlu menyembunyikan keberadaan pil penunda kehamilan itu. “Apa kau sengaja melakukan ini untuk memancing emosiku, Violet?” Reiner semakin terlihat kesal. Tidak tahu harus bagaimana menanggapinya, Violet hanya semakin menundukkan kepalanya. Melihat Violet tidak memiliki niat untuk menjawab pertanyaan darinya, Reiner pun semakin tidak bisa menahan diri. Tangannya meraih lengan Violet, mencengkram erat hingga Violet nampak meringis menahan sakit. “Jangan bertindak di luar izinku, Violet. Asal kau tahu, Beberapa waktu belakangan ini, kau benar-benar melakukan banyak tindakan
“Siapa yang memberimu izin keluar dari kantor, bahkan sampai berjam-jam, Violet?!” Reiner melotot marah, jelas dia sangat kesal sekarang. Violet tidak memilki keinginan untuk menjawab, dia tahu apapun yang dia katakan hanya akan berakhir memicu kekesalan Reiner saja. “Mau sampai kapan kau diam, Violet? Kau pikir, diam akan menyelesaikan masalah, menjawab pertanyaan ku?!” Reiner mulai bangkit dari duduknya untuk mendekati Violet yang masih diam. “Katakan, dari mana saja kau ini, Violet!” Violet menyadari, apapun keputusannya jelas Reiner hanya akan marah. Diam salah, bicara juga salah. Hanya bisa menghela nafas dan menjawab saja pertanyaan itu, Violet tidak mampu lagi berpikir dengan tenang sekarang. “Pergi untuk menemui Kak Aruna, Presdir Reiner. Maaf k
Reiner datang ke kantor dengan perasaan kesal. Tidak ada violet di belakangnya seperti biasanya, itu menjadikan suasananya sangat berbeda. Mengacuhkan para pegawai yang menyapa dengan sopan dan hormat, Reiner sampai di ruangan tanpa mendapati Violet di sana. Menoleh ke kanan dan ke kiri, memang benar tidak ada! Reiner mencoba menghubungi Violet, tapi tidak mendapat jawaban apapun. “Kemana sih betina itu pergi?” tanya Reiner kesal. Sudah bersiap mengeluarkan ponselnya, Reiner baru menyadari jika ada sebuah amplop yang tergeletak di meja kerjanya. Bergegas melihat amplop tersebut, nyatanya adalah yang bertuliskan surat permohonan untuk mengundurkan diri. Reiner d
“Violet cuma asisten sekretaris, mungkin Itu alasanmu meremehkannya. Marah, seharusnya kau tidak melakukan itu padanya, ia bukan Aruna.” Alenta menatap Reiner dengan tatapan yang tajam, melanjutkan apa yang ingin diucapkan. “Ibu mengalami benar bagaimana perlakuan buruk dari Ayahmu saat awal menikah, itu benar-benar sangat menyesakkan. Apa kau lupa bagaimana Ibu berpesan padamu, Reiner? Jangan sakiti perempuan. Jauhi dia kalau kau tidak suka, pertahankan, dan perlakukan dengan baik saat kau menyukai wanita itu.” Reiner tertunduk lesu, paham jika saat ini perasaan ibunya tengah kecewa berat. Tidak bisa menahan diri, ada perasaan campur aduk mendorong Reiner melakukan hal-hal tidak masuk akal terhadap Violet. “Violet tidak bisa kau salahkan, seharusnya kau tahu itu sejak awal kan, Reiner? Biarkan dia bebas, pantas juga dia memiliki kehidupan seperti ya
“Aruna akan kembali ke rumah orang tuanya, kau tidak boleh mempermainkan dia lagi. Tapi, jika terjadi sesuatu dengan Aruna, apalagi kalau sampai di hamil, tanggung jawab sepenuhnya ada padamu. Namun, jika Aruna menolak untuk menikah denganmu, kebutuhan Aruna dan anak itu akan kau tanggung seumur hidup mu!” Ucapan Alenta barusan membuat Ron seperti tercekik sangat erat. Alenta sudah tahu sebanyak itu, Ron curiga Aruna lah yang telah mengungkapkannya. Ron mengeraskan rahangnya, menatap sejenak kepada Aruna, ingin menyalurkan kekesalannya. Berbeda dengan Aruna, gadis itu memilih menunduk karena tidak mampu menatap Ron maupun Alenta. Perasaan sesak, gugup, dan takut terlalu membungkus tanpa celah. “Ibu, tentang ini bisakah Ibu tidak memberikan komentar?” Ron menatap Ibunya dengan tatapan memohon, meski nada bicaranya terdengar sedikit tegas. Mendengar ucapan Ron barusan, senyum kesal seketika muncul di bibir Alenta. Matanya menelisik dalam, mencoba mengartikan makna di balik k
“Violet, kau benar-benar semakin hebat dalam bertingkah, ya.” ujar Reiner, menunjukkan dengan jelas ekspresi wajahnya yang kesal. Merasa kurang puas hanya dengan mengatakan kalimat itu dengan ekspresi wajahnya yang dingin, Reiner segera mencengkram pergelangan tangan Violet. “Akh!” Violet meringis kesakitan. Melihat itu, pria yang mengantarkan violet pulang ke villa merasa sangat kesal. Reflek dia menepis tangan Reiner, menatapnya dengan sorot yang tegas. “Anda benar-benar sangat kasar, Reiner mulai tidak bisa menahan emosinya, ini adalah kali pertama ada orang yang berani menepis tangannya dengan berani. Sementara itu, Violet hanya memilih untuk diam dan tidak mengatakan apapun. “Apa kau tahu siapa aku, hah?” Reiner bertanya dengan nada bicaranya yang angkuh. “Ketika aku memutuskan untuk menginjak seseorang, maka aku tidak akan pernah berhenti sampai aku bisa melakukan.” Menden
“Ugh!” Violet memekik dalam bibir yang rapat, Reiner menyentuh tubuhnya dengan kasar. Mereka sudah tidak lagi di teras vila, terpaksa Violet membuka pintu, masuk ke dalam sana karena Reiner semakin hilang kendali. Akan sangat memalukan kalau sampai ada yang melihat mereka. Bruk! Reiner menjatuhkan tubuh violet, sofa di ruang tamu utama vila menjadi saksi betapa brutalnya Reiner dalam mencium Violet. Violet kehabisan energi, dia sudah tidak bisa lagi menghentikan Reiner yang semakin tidak kenal ampun. Untung saja hanya Violet seorang di vila itu, tidak akan ada yang bisa melihat kegiatan itu. Pakaian Violet berantakan, berjatuhan di lantai. Reiner dengan kasar membuka kain tersebut hingga robek, entah sudah seperti apa bentuknya sekarang. “Ahhhhh” Reiner memejamkan matanya, menikmati keindahan dari kegiatannya s
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y