Hani berjalan lebih cepat sambil menundukkan pandangan. Ia tidak cukup berani mengangkat wajahnya, meskipun saat ini ia memakai niqob-nya. Ia tidak mau sosoknya dikenali oleh penghuni pesantren yang lain karena tujuan utamanya adalah untuk melihat keadaan putranya. Namun, ia sama sekali tidak dapat menemui Syam. Entah di mana putranya itu berada. Hani berjanji di dalam hatinya akan kembali lagi untuk mencari Syam. Pemuda bernama Syamil yang masih berada di dalam mobil, terus memperhatikan wanita bercadar tengah berjalan menuju gerbang keluar pesantren. Posisi mereka jauh, sehingga Syamil tidak dapat melihat dengan jelas, wanita itu. Hani sudah terlanjur naik ke atas motor ojek online, saat Syamil turun dari mobil. Pemuda itu masih memperhatikan tamu wanita bercadar tersebut. "Lihat apa, Sya?" tanya Laila pada adiknya. "Itu, Teh, cewek bercadar yang baru keluar dari pesantren. Kayak kenal, tapi lupa." "Kamu mah, gak bisa lihat cewek pakai gamis hitam, langsung saja bawaannya kena
"Zahra, temen kampus kamu kan banyak, masa gak ada yang bisa kamu kenalin ke Mas Raka?" tanya seorang lelaki muda tampan yang baru saja ikut duduk di sofa ruang TV. Ia adalah Raka, kakak dari Zahra yang bekerja di salah satu TV swasta nasional."Udah pada nikah juga, Mas, he he he ... lagian kerjanya pada mencar. Ada yang pulang kampung. Lost contact gitu deh. Emangnya artis TV gak ada yang mau sama Mas Raka?" Zahra menertawakan kakaknya. Begitu banyak kru TV, tetapi sampai saat ini kakaknya betah menjomlo."Yah, payah kamu. Masa kamu mau nikah, Mas belom juga punya pacar." Raka cemberut. Zahra diam sejenak sambil memikirkan sesuatu."Ada teman baik Zahra saat di kosan, Mas, tapi ... ""Tapi apa?" Raka tak sabar menunggu lanjutan perkataan Zahra."Terlalu cantik? Terlalu kaya?" Zahra memutar bola mata malasnya."Bukan, Mas. Kalau cantik, bisa Zahra pastikan memang cantik, tetapi teman Zahra itu janda, Mas. Mas emangnya mau sama janda?""Jangan-jangan teman dekat kamu yang namanya Hani
"Oh, jadi sekarang sibuk jualan saja ya?" tanya Raka pada Hani. Gadis itu mengangguk dengan canggung. Pengalamannya bertemu dan berkenalan dengan pria, tidaklah banyak, sehingga Hani merasa rendah diri dan juga amat sangat canggung. Padahal jika sudah kenal baik, maka ia bisa begitu manis, mengesalkan, sekaligus mengesalkan. "Ada toko offline atau hanya toko online saja?" tanya Raka lagi. "Dih, Mas Raka gimana sih? Masa jadi wawancara tukang jualan, ha ha ha..." Zahra menertawakan kakaknya. Raka pun ikut menyeringai sambil menggaruk rambutnya. "Hani, kamu kan masih jomlo. Nah Mas Raka ini pengen punya temen cewek karena sebentar lagi aku mau jadi istri orang. Dia khawatir gak ada yang bisa digangguin lagi kalau dia gak cari cewek pengganti adiknya ini dari sekarang.""Memangnya bisa proses adik angkat udah setia aku?" tanya Hani dengan polosnya. Raka dan Zahra malah tertawa kencang. "Aduh, Hani, kamu lucu banget sih. Kamu bukan mau diangkat jadi adik angkat Mas Raka. Ketuaan atuh
"Kamu yakin ini pesantrennya?" tanya Raka saat lelaki itu mengendarai mobilnya perlahan, begitu memasuki jalan besar menuju pesantren. "Iya, Mas, InsyaAllah saya masih ingat sekali nama pesantrennya. Plang depan jalan masuk tadi juga masih sama. Saya yakin gak akan salah, tapi kalau saya masuk lagi dan berpura-pura mengantar adik saya yang mau mendaftar pesantren, pasti tidak masuk akal, karena yang saya bawa bukan remaja, tetapi om-om." Raka tertawa. Tawa lebar yang memperlihatkan betapa rapi susunan gigi pria itu yang berwarna putih bersih. Bibirnya juga merah merekah, tanda Raka tidak pernah bersentuhan dengan rokok. "Kita tidak perlu mampir, kita bisa memantau dari luar pesantren saja. Memangnya putra kamu mau dijemput sekarang? Bukannya mau memastikan dulu apakah putra kamu masih diasuh oleh pemilik pesantren?" tanya Raka lagi sambil memperhatikan wajah Hani yang nampak bingung. "Belum sekarang, Mas, kasurnya saya belum beli." Hani menyeringai. "Kamu punya uang berapa? Nanti
Setelah mengantar Hani pulang ke kontrakan, Raka pun pamit pulang. Sebelum tiba di rumah, ia membelikan dulu buah untuk ibu dan dua adiknya. Lika dan Janu. Mobil yang ia kendarai kini sudah parkir di garasi rumah. Cukup jauh juga jarak antara kontrakan Hani dan rumah orang tuanya, tetapi Raka tidak masalah sama sekali, apalagi memang ia sedang mendekati Hani. "Assalamu'alaikum, Ma.""Wa'alaykumussalam. Buah pesenan Mama dibeli gak?" tanya wanita setengah baya bernama Sintya itu. Anak-anak biasa memanggilnya Mama Tia. Raka mengangkat plastik putih susu sejajar dengan wajah mamanya. "Lengkap sesuai pesanan." Raka menaruh buah di atas meja dapur, lalu kembali lagi ke ruang tengah, tempat mamanya tengah menempelkan label nama yang sudah siap tempel di kertas undangan. Bu Tia duduk bersila di atas karpet, maka Raka pun ikut melakukan hal yang sama. Kepala pria itu berputar mencari dua adiknya. "Kenapa? Cari siapa?" tanya Bu Tia. "Zahra dan Janu kemana, Ma?" "Janu belum balik sekolah,
"Kenapa kalian diam? Mama cuma dengar tadi, kalian berbincang dan menyebut nama Hani beberapa kali. Jadi Mama penasaran? Apa Hani pacar kamu, Raka?" tanya Bu Tia sambil memperhatikan putranya. "Teman Zahra, Ma," jawab Raka sambil melirik Zahra. "Oh, makanya namanya seperti tidak asing. Teman kamu yang di kontrakan itu ya? Yang janda bukan?" tanya Bu Tia memastikan. Zahra tersenyum samar sambil mengangguk. "Mau kamu kenalin sama kakak kamu?" kali ini intonasi mamanya sedikit penuh penekanan. Zahra kembali mengangguk. Bu Tia kini menoleh pada putranya. "Kamu bujangan, kerja di stasiun TV. Kerja bareng sama artis dan kru TV yang juga banyak gadis dan pastinya lebih glowing. Lalu kamu malah berkenalan dengan teman Zahra yang janda?" mata Bu Tia berpindah pada Zahra. "Mama tidak setuju," tukasnya sambil tersenyum. Bahu Raka turun, begitu juga dengan Zahra yang menjadi salah tingkah. Mamanya pasti kecewa dengan dirinya karena telah mengenalkan Raka pada Hani. "Ma, kenalan belum tentu
"Ummi, Ummi!" Laila berseru dengan panik. Ia setengah berlari ke kamar ummi-nya untuk memberitahukan bahwa jam mendapat telepon dari wanita yang mengaku ibu kandung Syam. Syamil pun terkejut melihat kepanikan Laila. Ia setengah berlari menyusul tetehnya ke kamar ummi-nya.Syam yang sejak tadi bergelayut pada Syamil, memilih tidak ikut berlari bersama Syamil, karena ia sibuk dengan kertas label kosong yang ia tempelkan di tangan, kaki, dan juga wajahnya. "Ada apa, Laila? Kamu ngagetin Ummi aja," tanya Bu Umi yang tengah mengaji. Wanita itu langsung menaruh mushaf kecilnya di atas bantal. "Mi, barusan ada wanita yang menelepon. Ia mengatakan bahwa ia adalah ibu dari Syam dan berniat untuk mengambil Syam." Laila begitu panik, hingga ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Apa?" Syamil dan Bu Umi memekik bersamaan. "Aduh, Teh, jangan panik gitu. Bisa saja orang yang hendak menipu kita. Orang yang ngaku-ngaku orang tua Syam, padahal bukan." Syamil mencoba menenangkan Laila. Wanita i
Memikirkan perkataan Raka tadi, Hani menjadi tidak bisa tidur. Apa yang dikatakan Raka benar. Ia tidak bisa datang begitu saja, lalu menjemput Syam. Pasti anaknya kaget dan menangis histeris.. Bisa pula Syam menjadi sakit karena tertekan dipisahkan dari orang tuanya. Haruskah ia datang ke sana untuk melakukan pendekatan dengan Syam? Tapi apa yang harus ia lakukan? Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Hani. Wanita itu memakai cepat kerudungnya, lalu berjalan tergesa untuk melihat siapa tamunya. Kosan sedang sepi dan ia tidak boleh sembarangan membukakan pintu untuk orang yang tidak ia kenal. Ya ampun, Bu Happy. Batin Hani saat mengenal tamu tersebut adalah sang Pemilik rumah. Lekas Hani membukakan pintu, kemudian tersenyum ramah pada wanita itu. "Ya Allah, Bu Happy, maafin lama ya. Mari, Bu, silakan masuk." Hani menyambut pemilik rumah dengan dengan senyuman ramah. "Yang lain ke mana?" wanita dewasa bernama Happy itu melihat ke sekeliling rumah. Mengecek satu per sat
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki