"Kamu yakin ini pesantrennya?" tanya Raka saat lelaki itu mengendarai mobilnya perlahan, begitu memasuki jalan besar menuju pesantren. "Iya, Mas, InsyaAllah saya masih ingat sekali nama pesantrennya. Plang depan jalan masuk tadi juga masih sama. Saya yakin gak akan salah, tapi kalau saya masuk lagi dan berpura-pura mengantar adik saya yang mau mendaftar pesantren, pasti tidak masuk akal, karena yang saya bawa bukan remaja, tetapi om-om." Raka tertawa. Tawa lebar yang memperlihatkan betapa rapi susunan gigi pria itu yang berwarna putih bersih. Bibirnya juga merah merekah, tanda Raka tidak pernah bersentuhan dengan rokok. "Kita tidak perlu mampir, kita bisa memantau dari luar pesantren saja. Memangnya putra kamu mau dijemput sekarang? Bukannya mau memastikan dulu apakah putra kamu masih diasuh oleh pemilik pesantren?" tanya Raka lagi sambil memperhatikan wajah Hani yang nampak bingung. "Belum sekarang, Mas, kasurnya saya belum beli." Hani menyeringai. "Kamu punya uang berapa? Nanti
Setelah mengantar Hani pulang ke kontrakan, Raka pun pamit pulang. Sebelum tiba di rumah, ia membelikan dulu buah untuk ibu dan dua adiknya. Lika dan Janu. Mobil yang ia kendarai kini sudah parkir di garasi rumah. Cukup jauh juga jarak antara kontrakan Hani dan rumah orang tuanya, tetapi Raka tidak masalah sama sekali, apalagi memang ia sedang mendekati Hani. "Assalamu'alaikum, Ma.""Wa'alaykumussalam. Buah pesenan Mama dibeli gak?" tanya wanita setengah baya bernama Sintya itu. Anak-anak biasa memanggilnya Mama Tia. Raka mengangkat plastik putih susu sejajar dengan wajah mamanya. "Lengkap sesuai pesanan." Raka menaruh buah di atas meja dapur, lalu kembali lagi ke ruang tengah, tempat mamanya tengah menempelkan label nama yang sudah siap tempel di kertas undangan. Bu Tia duduk bersila di atas karpet, maka Raka pun ikut melakukan hal yang sama. Kepala pria itu berputar mencari dua adiknya. "Kenapa? Cari siapa?" tanya Bu Tia. "Zahra dan Janu kemana, Ma?" "Janu belum balik sekolah,
"Kenapa kalian diam? Mama cuma dengar tadi, kalian berbincang dan menyebut nama Hani beberapa kali. Jadi Mama penasaran? Apa Hani pacar kamu, Raka?" tanya Bu Tia sambil memperhatikan putranya. "Teman Zahra, Ma," jawab Raka sambil melirik Zahra. "Oh, makanya namanya seperti tidak asing. Teman kamu yang di kontrakan itu ya? Yang janda bukan?" tanya Bu Tia memastikan. Zahra tersenyum samar sambil mengangguk. "Mau kamu kenalin sama kakak kamu?" kali ini intonasi mamanya sedikit penuh penekanan. Zahra kembali mengangguk. Bu Tia kini menoleh pada putranya. "Kamu bujangan, kerja di stasiun TV. Kerja bareng sama artis dan kru TV yang juga banyak gadis dan pastinya lebih glowing. Lalu kamu malah berkenalan dengan teman Zahra yang janda?" mata Bu Tia berpindah pada Zahra. "Mama tidak setuju," tukasnya sambil tersenyum. Bahu Raka turun, begitu juga dengan Zahra yang menjadi salah tingkah. Mamanya pasti kecewa dengan dirinya karena telah mengenalkan Raka pada Hani. "Ma, kenalan belum tentu
"Ummi, Ummi!" Laila berseru dengan panik. Ia setengah berlari ke kamar ummi-nya untuk memberitahukan bahwa jam mendapat telepon dari wanita yang mengaku ibu kandung Syam. Syamil pun terkejut melihat kepanikan Laila. Ia setengah berlari menyusul tetehnya ke kamar ummi-nya.Syam yang sejak tadi bergelayut pada Syamil, memilih tidak ikut berlari bersama Syamil, karena ia sibuk dengan kertas label kosong yang ia tempelkan di tangan, kaki, dan juga wajahnya. "Ada apa, Laila? Kamu ngagetin Ummi aja," tanya Bu Umi yang tengah mengaji. Wanita itu langsung menaruh mushaf kecilnya di atas bantal. "Mi, barusan ada wanita yang menelepon. Ia mengatakan bahwa ia adalah ibu dari Syam dan berniat untuk mengambil Syam." Laila begitu panik, hingga ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Apa?" Syamil dan Bu Umi memekik bersamaan. "Aduh, Teh, jangan panik gitu. Bisa saja orang yang hendak menipu kita. Orang yang ngaku-ngaku orang tua Syam, padahal bukan." Syamil mencoba menenangkan Laila. Wanita i
Memikirkan perkataan Raka tadi, Hani menjadi tidak bisa tidur. Apa yang dikatakan Raka benar. Ia tidak bisa datang begitu saja, lalu menjemput Syam. Pasti anaknya kaget dan menangis histeris.. Bisa pula Syam menjadi sakit karena tertekan dipisahkan dari orang tuanya. Haruskah ia datang ke sana untuk melakukan pendekatan dengan Syam? Tapi apa yang harus ia lakukan? Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Hani. Wanita itu memakai cepat kerudungnya, lalu berjalan tergesa untuk melihat siapa tamunya. Kosan sedang sepi dan ia tidak boleh sembarangan membukakan pintu untuk orang yang tidak ia kenal. Ya ampun, Bu Happy. Batin Hani saat mengenal tamu tersebut adalah sang Pemilik rumah. Lekas Hani membukakan pintu, kemudian tersenyum ramah pada wanita itu. "Ya Allah, Bu Happy, maafin lama ya. Mari, Bu, silakan masuk." Hani menyambut pemilik rumah dengan dengan senyuman ramah. "Yang lain ke mana?" wanita dewasa bernama Happy itu melihat ke sekeliling rumah. Mengecek satu per sat
Hani menceritakan rencananya untuk mencari tempat tinggal di dekat pesantren pada teman kontrakannya, tetapi yang lainnya tidak setuju karena letaknya sangat jauh dari tempat mereka bekerja. Hani tidak punya pilihan lain, selain berpencar sendiri, sedangkan yang lainnya mencari tempat yang lain. Keesokan harinya, Hani kembali mengunjungi daerah pesantren. Ia menaiki ojek dari depan jalan besar itu, sampai ke dalam. Saat melewati pintu gerbang pesantren, Hani mendengar suara ceramah yang cukup nyaring dari pengeras suara. "Kalau anak yang punya pesantenau nikah, pasti pengajian ya tiga hari berturut-turut," komentar tukang ojek pangkalan itu. "Oh, iya, Bang. Mau ada pesta ya?" balas Hani menanggapi "Pestanya gak di sini, Mbak, tapi di tempat perempuan. Di sini mungkin nanti ngunduh mantu," jawab ojek itu dengan semangat. "Ini kita mau ke rumah Pak RT'kan?" tanya pengemudi ojek itu lagi pada Hani. "Iya, Bang, saya mau cari kontrakan dekat pesantren.""Oh, kalau kontrakan mah, ada,
"Apa Mas Raka yakin?""Iya Hani, masa saya bohong? Itu pesantren calon suami Zahra. Nanti, setelah Zahra resmi menikah, mungkin kamu bisa membujuk Zahra untuk merayu keluarga suaminya nanti untuk mengembalikan Syam sama kamu. Tapi, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Zahra ya. Dia lagi fokus sama pernikahan minggu depan. Kamu datangkan? Temani saya ya?" "Iya, Mas, saya pasti datang. Bisa disentil Zahra sampe Aceh kalau saya gak datang, he he he... ya ampun, saya senang banget dengar kabar ini, Mas. Allah benar-benar memudahkan urusan saya.""Iya, Hani, memang sudah jalan ceritanya begini. Ya sudah, kamu pasti lagi beres-beres. Saya juga mau pulang. Ini masih di kantor. ""Iya, Mas, terima kasih banyak ya. Hati-hati di jalan. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Hani tak sabar menunggu esok. Mumpung langit masih cukup terang, meskipun satu jam lagi masuk waktu magrib. Hani membereskan semua barang yang bisa ia bereskan. Rasa khawatir akan Syam yang susah ia bawa dalam pelukannya ke
Demi untuk memastikan bahwa pandangannya tidak salah, Didin sengaja berbelok ke kanan begitu keluar gerbang. Ia menekan gas pelan untuk memastikan wajah wanita yang ia tebak adalah Hani. Bukan hanya mirip, tetapi wanita itu adalah Hani. Wanita itu benar-benar menutup auratnya seperti yang pernah Syamil katakan. Wajahnya juga nampak beda, lebih manis dan teduh. Jika hanya melihat sekilas, pastilah orang tidak akan mengenalnya sebagai Hani yang dulu. Tunggu! Haruskah ia memberitahu Syamil? Bagaimana kalau tiba-tiba Syamil membatalkan pernikahannya gara-gara bertemu Hani? Bisa diboikot oleh ibu dan ayah mertua jika dia berani nekat memberitahu Syamil. Namun, apakah Hani tahu bahwa ia tinggal di depan rumah Syamil? Mereka bertetangga kembali setelah sekian tahun berpisah. Aduh, kasih tahu gak ya? Didin dilema. Satu sisi ia kasihan dengan Syamil, tetapi satu sisi lagi, ia bisa mempertaruhkan urusan orang hanya jika sampai Syamil membatalkan pernikahannya dengan Zahra. Begitu menemui lah