"Bangun! Jangan pernah datang lagi ke sini! Adikku sudah kamu talak saat dia hamil bukan? Mau sah atau tidak, kamu sudah mencampakkan adikku. Sadar atau tidak sadar, ucapan kasar yang keluar dari bibir kamu, adalah kalimat talak untuk adikku. Berhenti mencari Hani, kalau kamu masih tidak ingin memiliki wajah yang cacat. Pergi, pergi!" Teriak Jadi sembari mendorong Arif hingga jatuh kembali ke dekat motornya. Hadi masuk ke dalam rumah, tanpa memedulikan tatapan heran tetangga yang sudah berkumpul di depan rumahnya. Tidak ada yang menolong Arif atau melerai mereka. Hadi dengan puas memukuli Arif hingga pria itu babak belur. Darah mengalir dari pelipis dan juga sudah bibirnya. Belum lagi tendangan pada perut Arif, membuat pria itu setengah membungkuk menahan sakit di perutnya. Ia tak sanggup membawa motor, sehingga Arif hanya bisa terduduk sembari bersandar di motor sambil mengumpulkan tenaga. "Tidak ada asap, kalau tidak ada api. Hadi gak mungkin mukulin orang, kalau orang itu gak ke
"Oh, begitu ya, Teh, saya ingin sekali bisa membantu, tetapi saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya di klinik, Teh. Mohon maaf, coba Teteh cari pendonor lainnya." Hani menolak dengan halus disertai senyuman. "Wah, sayang sekali, Mbak. Apa Mbak ada alamat klinik tempat Mbak kerja sekarang?" tanya Laila penasaran. "Saya gak tahu alamatnya, Teh, tapi nama kliniknya, klinik Japa. Maaf, Teh, saya buru-buru. Semoga diberikan yang terbaik untuk keponakannya ya, Teh." Hani pun setengah membungkuk, tanda berpamitan. Ia langsung masuk ke dalam bank asi untuk menyerahkan asinya. Lalu ia juga melaksanakan pesan suster Delia untuk memberikan surat pada suster bagian laboratorium. Setelah menyelesaikan administrasi pengambilan asi, Laila masih menoleh ke kanan dan ke kiri, ia berharap bertemu wanita muda yang tadi ia tabrak. Namun, sayang sekali, wanita itu sudah tidak ada dan ia pun lupa menanyakan nama wanita itu. "Sayang, kenapa lama?" tanya Didin yang menunggu istrinya di parkiran. "
Jika Grace ada di klinik ini, maka Arif pun akan datang dan pria itu pasti akan menemukannya. Pria itu akan bertanya di mana anaknya karena Grace keguguran, tentu saja bayinya yang akan menjadi alasan Arif untuk kembali merongrongnya. Tidak, ia tidak akan membiarkan hal itu. Arif dan Grace bisa saja memaksa dirinya nanti untuk menyerahkan bayinya. Ia tidak mau bayinya diurus oleh ayah ibu yang tidak waras. Lekas Hani kembai ke kamar, lalu menuliskan sesuatu di kertas. Beberapa helai pakaiannya ia bawa dengan tas kresek, lalu dengan melewati gerbang belakang, ia melarikan diri. Ia tidak bisa tetap berada di klinik karena ada Grace di sana. Saat pagi, biasanya ia yang mengantarkan makanan pasien. Grace bisa mengenalinya dan ia tidak mau hal itu sampai terjadi. Hani sudah melangkah jauh dari klinik. Setelah merasa cukup aman, gadis itu baru memberhentikan angkutan umum. Tujuannya pun ia tidak tahu harus ke mana. Asalkan bisa segera pergi dari Grace yang bisa membahayakan nyawanya dan j
"Pekerjaan apa yang dikerjakan hanya malam saja? Pelacur?" tanya Hani to the point. Pria itu tertawa, ia mengisap rokoknya dalam, lalu meniupkan asapnya ke atas. "Ya, bisa dibilang begitu. Paling tidak, kamu punya tempat tinggal nyaman. Sesekali menginap di hotel mewah dan dapat uang banyak. Kamu butuh uang kan?" Hani bangun dari duduknya sambil tersenyum. "Terima kasih atas tawarannya, Mas, tapi saya gak bisa jadi pelacur karena saya sakit. Nanti pelanggan saya kena penyakit saya. Mas Duduk di dekat saya juga bisa kena nanti.""Oh,Mbak sakit. Sayang sekali. Ya sudah kalau begitu, saya permisi." Pria bernama Adrian itu pergi dengan langkah amat lebar. Pria itu ketakutan saat mendengar bahwa wanita yang diajak bicara olehnya mengidap penyakit menular. Hani kembali duduk di emperan toko sambil mengusap dadanya. Selamat gue! Lepas dari srigala bernama Grace, Arif, dan Nabila, masa iya harus masuk ke mulut singa? Ya Allah, lindungilah hamba. Berbohong demi kebaikan kayaknya boleh, wak
"Sudah, Sya, jangan nangis terus. Ini sudah mau sampai di pesantren loh. Ummi dan abah nanti pasti bingung kenapa kamu nangis?" Didin berusaha menenangkan Syamil yang masih terus terisak. Pria dewasa itu sekuat tenaga menahan tawanya karena ia teringat akan dirinya di masa lalu yang pernah juga sepeti Syamil. Menangis dari pesantren sampai pulang ke rumah, sampai masuk kamar, sampai besoknya lagi he he... (Kalian bisa baca kisah serunya dalam judul 'Sepuluh Juta Satu Minggu- di aplikasi Fizz0) "Sya, itu lihat, Abah udah nunggu depan pintu. Udahan nangisnya, Sya!" Kata Didin lagi sambil menepikan mobil di garasi rumah. Mesin mobil pun ia matikan. Didin turun lebih awal, bahkan dengan segala rasa sayangnya, ia membawakan tas ransel Syamil. Abah haji terheran-heran melihat putranya sampai dengan wajah merah dan meneteskan air mata. "Ya Allah, kamu kenapa, Sya? Kenapa sampai rumah nangis?" tanya abah bingung. Syamil tidak menjawab, ia hanya mencium punggung tangan abahnya, mengucapkan
"Ke mana Syamil?" tanya Hanum saat semua teman-teman kelompoknya sudah berkumpul di rumahnya, untuk mengerjakan tugas kelompok di hari minggu. "Syamil balik ke Jakarta, Num, katanya ada urusan. Emangnya gak bilang sama lo? Bukannya kalian dekat?" jawab Zizi yang kini tengah membuka laptopnya. Hanum menggeleng. Semangatnya yang menggebu-gebu untuk kerja kelompok l, mendadak sirna karena ketidakhadiran Syamil. Ia sengaja mengusulkan agar kerja kelompok di rumahnya saja, agar Syamil mau masuk ke dalam rumahnya. Pemuda itu memberikan privat les pada adik lelakinya dan hanya mau belajar di saung depan saja. Syamil belum pernah sama sekali masih ke dalam rumahnya. "Syamil mungkin lupa," jawab Hanum tersenyum, menutupi rasa sedihnya. "Tunggu ya, aku ambilkan camilan untuk kalian." Hanum masuk ke dalam rumah. Sejak semalam ia belajar bikin kue dengan pembantunya, agar bisa ia pamerkan pada Syamil, tetapi pemuda itu malah tidak datang. "Ini, silakan cicipi." Hanum membawa dua piring risol
"Siapa, Syamil? Bukannya kamu naksir temen kampus kamu yang namanya Hanum? Ummi masih ingat ucapan kamu waktu itu. Ummi gak suka kalau anak Ummi berbohong." Syamil terdiam. Laila yang ada di belakang tubuh ummi-nya hanya bisa menggelengkan kepala. Ia menyesali ucapan Syamil yang tidak terkontrol saat ada di rumah. "Lalu, ibu-ibu muda siapa yang hampir bikin kamu goyah? Ck, istighfar, Nak. Kamu itu wajibnya kuliah, bukan dekat sama perempuan, apalagi pacaran! Itu tidak ridho lahir dan batin ya, Sya." Pemuda itu hanya mengangguk saja. "Iya, Mi, Syamil janji akan belajar dengan baik." Syamil menunduk, tidak berani menatap wajah ummi-nya. Bu Umi tahu, putranya tidak mau menjawab karena tidak mau membuatnya kembali jatuh sakit. Lagi pula, anak muda seperti Syamil memang sedang dalam masanya seperti itu. Ia tidak mau terlalu memaksa karena khawatir malah Syamil main belakang. "Yah, Mi, namanya juga bocah. Udah sana ngapain kek, Sya. Dari tadi ngelonin Syam terus! Isiin bensin motor deh,
"Saya gak ada niat untuk menjalin hubungan dengan siapapun, Pak Hadi. Mohon maaf. Kita masih bisa berteman kok, jangan khawatir. Saya udah tua juga, gak mikirin yang begitu. Anak saya juga udah gede. Malu kalau cinta-cintaan. Maaf ya, Pak Hadi." Pria itu tersenyum sambil mengangguk. "Saya mengerti, Mbak. Saya terlalu dadakan kali ya, kayak tahu bulat." Ratih yang tadinya begitu tegang, menjadi rileks karena guyonan Hadi.Mereka pun berbincang ringan, Rafli pun ikut bergabung bersama ibunya dan juga Hadi. Remaja itu sesekali menimpali percakapan dua orang dewasa yang bisa dibilang pembicaraan ringan seputar harga sembako dan kebijakan pemerintah. Rafli pun sesekali ikut membicarakan teman-teman di sekolahnya. Tidak terasa sudah pukul sembilan lebih lima belas menit. Besok adalah hari senin, Rafli sekolah, ia pun harus bekerja. "Saya pamit pulang kalau begitu ya, Mbak Ratih. Terima kasih sudah mau menerima saya bertamu malam-malam." Hadi berdiri hendak menyalami Ratih, tetapi wanita
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki