Jari-jemari Airina mulai membuka perlahan berkas yang ada di atas meja.
Dia mencoba menguatkan diri.Namun, begitu membaca kalimat demi kalimat, mata Airina membelalak.“Surat pernikahan kontrak?” ujarnya–memastikan iris matanya tidak salah mengeja kata. “Tuan, apa aku tidak salah baca?”Pria di hadapannya hanya tersenyum. “Anda sama sekali tidak salah baca. Silakan ambil keputusan secara cepat.”Tuan muda Pinault lalu beranjak dari kursi kerjanya dan bersedekap dada menatap lekat ke arah Airina.Di bawah tekanan, Airina memberanikan diri membaca isi kontrak.Beberapa kali matanya memicing membaca deretan persyaratan yang harus ia patuhi. Namun, intinya hanya dua:1. Pernikahan kontrak hanya berlaku satu tahun. Jadi, tidak boleh ada hubungan badan ataupun kontak fisik jika tidak diperlukan.2. Pihak kedua harus patuh pada Tuan Pinault, tanpa terkecuali demi kepentingan citra perusahaan.Lalu untuk bayaran sebagai istri kontak Tuan muda Pinault….“1.000.000 Dolar?” pekiknya tertahan. Matanya memicing menatap nominal yang tertera.‘Apa aku tidak salah baca? Jika demikian, biaya rumah sakit ibu dan sekolah adik akan tercukupi,’ gumam Airina dalam benaknya.“Bagaimana, Nona?” tanya lelaki di hadapannya dengan menatap Airina intens.Airina sempat terhenyak. Ingin sekali ia menolak tawaran ini dan memilih mencari pekerjaan yang jelas saja.Airina juga tidak ingin dicap seperti wanita murahan yang bisa dibeli menggunakan uang.Tapi masalahnya … dia tidak punya uang untuk ganti rugi. Dengan menjadi istri kontrak Tuan muda Pinault, perawatan ibunya tidak akan ditunda lagi.Lalu, ada desas-desus mengatakan Tuan muda Pinault sudah memiliki tunangan. Lantas, kenapa memintanya untuk jadi istri kontrak?! Bukankah aneh jika seorang Pinault menikahi gadis pinggiran dari Lyon?Kepala Airina seperti akan pecah saat itu juga.Telebih, tatapan intens dari Tuan muda Pinault semakin membuatnya gugup.“Airina Lyon,” panggil lelaki bertubuh jangkung itu menyadarkan Ariana dari lamunan.Seketika ia menyadari jaraknya dengan pria tampan itu sangatlah tipis–membuat Airina semakin canggung.Tapi, tunggu! Bagaimana pria ini tahu nama lengkapnya?“Tuan, bagaimana Anda tahu nama lengkap saya?” tanya Airina dengan tatapan nyalang.Pria itu mendadak duduk di sudut meja. Ia melipat lengan kemejanya sediki dan menatap Airina dengan tegas. “Kamu benar-benar tidak mengenaliku, Airina?”“Bukankah ini pertemuan pertama kita, Tuan?” Airina balik bertanya.“Arsen Pinault. Lulusan ESMOD Internasionale program studi Arsitektur. Dua tahun di atasmu,” jelas laki-laki itu dengan terang-terangan, “sampai di sini, apakah kamu belum mengenalku?”Deg!Airina membelalak mendengar nama tersebut.Saat menjadi mahasiswa baru, Airina pernah dekat dengan pria culun bernama Arsen. Dia menyukai pria tersebut diam-diam. Mereka bahkan sering menonton bersamanya menonton festival seni bersama di akhir pekan.Hanya saja, sudah lama keduanya lost contact. Airina bahkan melupakan rupa pria itu, kecuali kebiasaan Arsen yang selalu memakai kacamata tebal dan celana menggantung di perut.Hal ini sangat berbeda dengan pria di hadapannya yang memakai gaya rambut trendi dan sungguh tampan, bagaikan pahatan patung Yunani terkenal di museum Louvre!“Maaf, tapi sepertinya Anda salah. Saya memang kenal Arsen. Hanya saja, dia … adalah pria polos yang tidak berpenampilan seperti Anda!” ucap Airina kembali.Mendadak ruangan itu berubah menjadi hening dan canggung.“Airina Lyon, ingatan Anda benar-benar setipis tisu ternyata!” ledek Arsen.“Aku Arsen yang pernah menonton festival seni di Macherie dengan Anda beberapa tahun lalu.” Arsen mengetuk ujung hidungnya terlihat berpikir. “Dulu, aku bahkan mengantarmu ke rumahmu di kawasan Mittleburg.”Seketika, Airina seperti kekurangan pasokan oksigen.Jadi, Arsen di hadapannya adalah Arsen yang culun itu?“Ta–tapi ….”Pria itu tersenyum miring. “Jika masih ragu, aku bisa menunjukkan sesuatu yang membuatmu yakin.”Setelah berkata demikian, Arsen mulai merubah penampilannya.Ia menyugar rambut menjadi dua sisi seperti dulu saat masih menjadi mahasiswa program studi arsitektur.Dengan kacamata bulat yang tebal menggantung di wajahnya.Celananya yang awalnya rapi itu, ia naikkan sampai di batas perut.“Kalau seperti ini, apakah kamu mengingatnya?” tanya Arsen dengan memainkan tangannya di depan dada.‘A–Arsen?’ batin Airina terkejut setengah mati.“Bagaimana, Nona? Apakah sudah mengingat saya?” goda Arsen sambil tersenyum. “Gila!” seru Airina tanpa sadar. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jika dulu, Arsen terlihat sama saja secara ekonomi dengan Airina. Saat ini, perempuan itu merasa bagaikan langit dan bumi. Dia merasa tidak layak berhadapan dengan temannya itu. Bahkan, diam-diam Airina merutuki dirinya yang sebenarnya pernah menyukai Arsen semasa mahasiswa. “Airina,” panggil Arsen menyadarkannya dari lamunan. “Ma–maaf,” gugup Airina, “aku masih tidak percaya seorang Arsen yang culun itu sudah berubah 180 derajat. Senang bertemu lagi denganmu.” Menyadari Airina terlihat sangat canggung, pria itu menghela napas. “Relaks Airina. Aku masih Arsen yang kau kenal dulu.” “Oh, iya. Bagaimana kabarmu, Airina? Apakah laki-laki tadi kekasihmu?” tambahnya. Airina sontak mengangguk. “Ya, dia kekasihku. Tapi, aku akan memutuskannya karena telah berselingkuh dengan sahabatku.” “Tadinya, aku akan memutuskannya. Tapi
“Deal!” tanpa berpikir panjang Airina menjabat tangan Arsen. Keduanya resmi saling menyetujui syarat yang diberikan dalam kontrak yang dibuat dua rangkap itu. Masing-masing mendapat satu salinan. “Terima kasih, Airina. Kamu bisa menghubungiku sewaktu-waktu di nomor yang tertera di surat kontrak.” “Kembali kasih, Arsen. Aku pamit dulu,” pamit Airina dengan senyum di wajahnya membuat Arsen tak sadar telah mulai merencanakan pertemuan kedua orang tuanya. Dia benar-benar tak akan melepas Airina selamanya. ‘Andai kamu tahu sudah sejak lama aku mencarimu, Airina. Bahkan, aku selalu menolak menikah karena aku masih mencintaimu!’ batin Arsen menatap kepergian Airina. **** Drrt! Setelah hari melelahkan tersebut, Airina memang langsung memilih berisitirahat. Namun, pagi-pagi sekali, sudah ada puluhan panggilan masuk dalam ponselnya dari nomor asing. Tak hanya itu, ada satu pesan baru juga. [ Jam 8 pagi akan ada sopir yang menjemputmu. Tolong siapkan dirimu dengan baik. Kita akan bert
Airina terdiam. Dia jelas menyadari itu. Namun, Airina menahan diri dengan terus mengulas senyum. Hanya saja, mengapa Arsen terus menggenggam tangan Airina? Airina berusaha tenang dan tidak memedulikan banyak orang yang menatap aneh ke arahnya. Tak lama, mereka pun tiba di sebuah ruangan. Ada seorang laki-laki paruh baya itu duduk membelakangi pintu. “Selamat pagi, Ayah,” sapa Arsen akhirnya. Setelahnya, laki-laki itu membalikkan kursinya, menghadap Arsen yang baru saja datang dengan seorang wanita. Hanya saja, matanya menyelidik Airina dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Siapa dia, Arsen?” tanya Yohan dengan tatapan aneh. “Dia wanita yang akan menikah denganku besok, Ayah. Aku datang ke mari hanya meminta restu dan meminta dukungan ayah dan ibu datang,” jelas Arsen dengan tegas. Mendengar itu, raut wajah Yohan terlihat sangat murka. Tangan kanannya sampai mengepal di atas meja. Namun, dia berusaha mengendalikan ekspresinya. “Jika demikian, ayah akan adakan makan malam dad
Airina mengerutkan kening. “Maaf, Nona. Siapa yang Anda maksud pelacur itu?” balasnya kesal. Seketika Gamma menarik tubuh Airina. Tangannya bahkan menarik rambut Airina dengan kuat. “Bodoh, pelacur itu kau!” tunjuk Gemma pada Airina, “perebut tunangan orang sama saja dengan pelacur murahan! Dengan penampilanmu yang seperti gelandangan, Arsen pasti tak tertarik denganmu jika kamu tidak melemparkan tubuhmu, kan?!” “Hei, wanita murahan!" tambahnya lagi, "akan kupastikan kau menjauh dari sisi Arsen karena--" "Arrgh," pekik Airina menahan sakit. Namun, baru saja ia ingin membalas, Arsen tiba-tiba datang. "Gemma, hentikan!” teriaknya. Kedatangan Arsen sontak membuat Gemma melepaskan cengkramannya dari rambut Airina. Secepat kilat, wajah Gemma berubah sangat memelas dan seolah sangat tidak berdosa. “Darl, pelacurmu itu yang memulai dulu, A-aku hanya memberinya pelajaran,” jelas Gemma dengan suara yang dibuat-buat. ‘Huek,’ gumam Airina dalam hati. Rasanya, dia ingin membalas jambaka
"Hah?" beo Airina tanpa sadar.Belum sempat memproses maksud ucapan tersebut, Arsen sudah kembali berbicara, "Tak usah dipikirkan. Yang jelas, lakukan perintahku sebelum aku berubah pikiran, Nona Airina.”Pria itu pun duduk di hadapan Airina sambil bersedekap dada. Matanya intens melihat wanita dengan rambut yang tergerai.Hanya saja, Airina fokus pada berkas yang ia berikan.Begitu selesai, Airina tiba-tiba mendongak.Dua pasang mata itu kembali bertemu tanpa sengaja.“Su-sudah.” Gemetar tangan Airina menyerahkan selembar kertas pada Arsen yang entah mengapa seperti ingin ... melahapnya?“Hanya ini?” tanya Arsen sembari menyunggingkan senyumnya sebelah.Airina sempat mengerutkan kening sebelum mengangguk. “Ya, aku hanya ingin meminta dukungan biaya untuk merintis bisnis bridal,” yakinnya.Pria itu lantas mengangguk. “Jika hanya itu biar aku atur, kembalilah ke kamarmu!” titahnya.“Terima kasih, Arsen.”Setelah berkata demikian, Airina bangun dari duduknya.Hanya saja, langkahnya terh
Mendengar itu, Airina menaikkan sebelah alisnya. “Ada urusan apa Anda di sini, Nona Gemma?” tanyanya singkat."Urusanku?" Tiba-tiba saja, Gemma berlari masuk ke ruangan Monsieur Pinault. Tangannya menarik Arsen dalam pelukannya. Siapapun yang melihat pasti menyadari bahwa pria itu sangat tak suka dengan kelakuan Gemma. Namun, wanita itu tak peduli dan justru berkata, "Aku ingin mengambil priaku."Mata Arsen membelalak. Dia membiarkan Gemma karena hubungan baik antarkeluarga mereka.Tapi, sepertinya wanita itu malah menjadi-jadi. Didorongnya Gemma agar menjauh darinya. “Apa yang kau lakukan, hah?!” bentak Arsen keras, "kau ingin kerjasama keluargamu diputus?" Alih-alih takut atas ancaman itu, Gemma malah semakin erat memeluk Arsen. “Jangan pura-pura tak suka, Darl. Apa kau membentakku agar jalang lusuh dan menjijikan itu tak marah padamu?” "Hei, pergilah! Arsen tak benar-benar menyukaimu," makinya pada Airina. Mendengar itu, Airina hanya tersenyum. Namun, itu justru membangkitk
Seorang pria baruh baya tampak berdiri dan menunduk hormat begitu Arsen dan Airina tiab di hadapannya.“Silakan duduk!” ucap Arsen pada tamunya itu.“Terima kasih, Tuan.”Setelahnya, Arsen membicarakan tentang konsep dekorasi ulang apartemen. Airina sebenarnya mendengarkan hal tersebut. Sesekali, ia ingin menimpali. Tapi, ia tersadar, apa haknya atas apartemen Arsen?Jadi, Airina memutuskan menatap sekeliling interior ruangan Arsen. Cukup lama percakapan itu terjadi, Airina pun teringat butiknya. “Arsen, maaf aku harus kembali ke butik,” bisiknya lirih.Arsen sontak menatap wanita itu, lalu mengangguk pelan. Melihat itu, Airina beranjak meninggalkan ruang tamu. Hanya saja, ia tak menyadari kakinya akan tersandung kaki kanan Arsen, hingga membuatnya hampir.Untungnya, Arsen berhasil merengkuh Airina dan mendudukkannya di atas paha pria itu. Deg!Degup jantung keduanya menjaadi tidak beraturan. Keduanya saling menatap intens.“Ekhm!” Pria paruh baya itu berdeham menyadarkan kedua
"Musuh?" ulang Ariana Ia sontak teringat mantan kekasih dan sahabatnya, Namun, ia segera menggelengkan kepala. Rasanya, tak mungkin mantan kekasih dan sahabatnya itu memiliki uang untuk melakukan ini semua. Toh, Airina tak pernah menghubungi keduanya lagi sejak hari pengkhianatan itu.“Aku tak tahu. Apa mungkin ini ulah iseng yang iri dengan pencapaian butik ini?" ucap Airina kembali, lalu hanya bisa duduk menatap ke luar. Namun, tiba-tiba, ia teringat sebuah nama. Pemberitaan ini seolah menyudutkan Airina dan membuat masyarakat bersimpati pada.... “Apa ini perbuatan Nona Gemma?” ucapnya mendadak. Arsen menaikkan sebelah alisnya dan mengingat kejadian akhir-akhir ini. “Sepertinya begitu, tetapi kita perlu bukti untuk mencengkramnya. Untuk mengendalikan situasi, aku akan mengadakan konferensi pers segera." Aura kemarahan terlihat dari pria yang biasanya sabar itu. Airina sontak bergidik ngeri. Seketika, ia merasa khawatir dengan nasib para wartawan yang mungkin hanya bekerja
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya