Setelah pembicaraan dengan pelayan dari Bumi, Lunar bersiap untuk berangkat ke kantor. Hari ini dia akan mengunjungi pabrik setelah sekian lama tidak datang ke sana. Saat ini dia masih berada di dalam mobil yang melaju menuju ke kantor. Pembicaraan dengan Bibi masih bisa Lunar ingat dengan jelas. Walaupun Bibi tidak mengatakan dengan jelas apakah istri pertama suaminya tinggal dengan keluarga Mahendra. Secara tersirat Bibi menunjukkan bahwa hubungan mereka dengan Clara kurang baik. "Kita sudah sampai di kantor, Nyonya," seru Pak Sopir pada majikannya. Lunar tersadar dari lamunannya. "Ah, oke."Dia pun turun dari mobil dengan membawa bekal untuk suaminya. Seperti biasa beberapa orang tidak bosan dan jegah melihatnya turun dari mobil. Mereka semua sudah tahu bahwa dirinya sudah menikah. Pandangan mereka jadi berubah dengan kabar yang mulai beredar bahwa dirinya simpanan om-om. "Aku jadi penasaran, Om-om macam apa yang jadi suaminya," kata karyawan yang melewatinya. "Mungkin saja Om
"Di sini kami mendatangkan kayu-kayu berkualitas dan harganya mahal. Apalagi kayu-kayu itu cukup langka," jelas Satria pada kedua orang yang berkunjung di pabriknya. Lunar yang paham jenis-jenis kayu berkualitas melihat dari dekat pohon yang baru saja diturunkan dari truk. "Aku pikir jenis kayu eboni atau gaharu, ternyata bukan ya," kata Lunar dengan senyum manis yang secara tidak langsung menyiratkan ejekan. "Kalau dilihat memang bukan, Mbak. Mungkin karena jenis kayu ini mulai langka," timpal Septian. "Tidak juga," balas Lunar melihat pada pemimpin pabrik itu. "Di Indonesia banyak sekali jenis kayu yang bisa kita gunakan, tergantung bagaimana kita mau mengajak pemilik lahan pohon itu kerja sama.""Dan mereka biasanya mau kerja sama jika harganya mahal!" sambung Satria. Pria itu tahu bahwa mantan istrinya pasti sengaja mengatakan hal itu untuk menjelekkannya. Tidak akan dia biarkan perempuan yang sudah mulai berani padanya melakukan hal itu. "Jika menawarkan dengan harga pas-pa
Pipi Lunar terasa panas mendapatkan cap lima jari dari wanita di depannya. Mereka tidak saling kenal, tetapi wanita itu seenaknya menampar begitu saja. "Apa yang anda lakukan?!" kata Lunar memegang pipinya. "Kamu itu memang perempuan tidak benar ya! Kamu tahu, Tian ini adalah tunanganku dan kamu malah menggodanya! Dasar perempuan murahan!" hina wanita tidak dikenal pada perempuan di depannya. "Anya, hentikan!" sentak Septian membuat wanita yang dipanggilnya menoleh. "Kamu apa-apaan datang ke sini, seenaknya berbuat onar!""Siapa yang berbuat onar? Aku hanya memberikan perempuan murahan ini pelajaran agar tidak suka menggoda pasangan orang!" sentak Anya melirik sinis pada Lunar. Lunar tidak mengerti kenapa wanita tersebut mengatakan hal seperti itu padanya. Dia pun berpikir bahwa bisa saja Anya sudah dihasut oleh orang-orang yang tidak suka dengannya. "Jangan sembarang bicara! Mbak Lunar bukan perempuan seperti itu!" seru Septian dengan wajah dingin. "Oh, begitu? Semua orang tahu
Lunar tidak menyangka dengan keputusan yang dibuat oleh suaminya. Lelaki itu menyuruhnya menampar Anya sebagai balasan atas perbuatannya. "Tu-tuan, saya rasa tidak perlu sampai melakukan hal itu. Anya sudah mengakui kesalahannya dan secara tidak langsung dia hanya korban kelicikan Mia. Saya mohon, agar Tuan mencabut kembali hukuman padanya dan Tian," serunya berharap sang atasan mau berbaik hati. "Mbak Lunar, tidak apa Mbak tampar aku. Pipi Mbak pasti panas bahkan masih ada bekasnya. Silakan, Mbak." Anya menyodorkan pipinya sambil memejamkan mata. Sungguh Lunar tidak tega melakukan hal itu pada wanita di depannya. Memang benar bahwa pipinya masih terasa sakit, tetapi dia sudah melupakan karena tahu tidak sepenuhnya salah Anya. Ditatap Bumi yang masih diam, hingga tatapan mereka beradu. "Aku tidak biasa membatalkan keputusanku! Karena Lunar sudah bekerja cukup baik, maka aku kabulkan permintaannya! Dengan syarat, lain kali jangan lagi buat onar di sini atau aku sendiri yang akan me
Suasana sore menjelang malam masih diselimuti rintik hujan yang penuh syahdu. Beberapa orang berteduh di tempat yang cukup nyaman, seperti di kafe. Begitu pula dengan Lunar yang duduk sambil menyesap minuman hangatnya. Di depan perempuan itu ada seorang pria yang tadi mengajaknya bicara. Orang itu adalah Bian, salah satu karyawan yang dulunya satu divisi dengan Lunar. "Em, ada apa, Bi? Apakah kamu ada masalah?"Sedari sampai di sana, Bian tidak kunjung bicara. Hanya menghela nafas berat seolah sedang memikulnya beban yang tidak biasa. Padahal, tanpa lelaki itu tahu. Lunar ingin sekali cepat pulang. Dia khawatir jika Bumi marah padanya. Tadi, dia sudah memberikan pesan pada suaminya bahwa akan bertemu dengan Bian dan belum ada pesan balasan dari lelaki itu. "Aku hanya mau jujur padamu, Lunar," kata Bian sambil menatap perempuan di depannya. "Jujur? Jujur apa?"Perasaan Lunar jadi tidak enak mendengar kata jujur. Bukannya geer, kadang dia melihat Bian yang perhatian padanya dan beg
Malam yang panas membuat Lunar kelelahan. Untung saja dia tidak sampai bangun kesiangan. Bahkan perempuan itu masih berbaring seraya melihat pada lelaki yang ada di sampingnya. 'Tampan,' serunya dalam hati. Suaminya masih tertidur dengan lelap setelah tiga jam menyelesaikan ronde malamnya. Dia pun bisa melihat banyaknya tanda merah pada tubuh suaminya. Tidak menyangka ternyata dia cukup ganas juga dalam bermain. "Kamu sudah bangun?" tanya Bumi yang mengerjapkan matanya. "Baru bangun, Mas," balasnya sambil mengubah posisi menjadi bersandar pada kepala ranjang. "Kalau kamu capek atau kesakitan, tidak perlu masuk kantor."Bumi ikut duduk di samping istrinya. Pandangan lelaki itu tertuju pada tubuh istrinya yang tidak tertutup baju tidur. Puas rasanya melihat tanda merah yang semalam dia lukis pada tubuh mulus itu. "Mas Bumi," panggil Lunar menepuk pelan pipi suaminya karena terdiam. "Hm? Kamu mau libur?"Lunar menggeleng dan berkata, "Aku mau ke kantor saja, Mas. Selain banyak pek
Andai saja bisa memutar waktu, Septian tidak akan masuk begitu saja ke dalam ruangan sang atasan yang juga ruangannya. Namun, semua sudah terlambat. Dia terlanjur melihat adegan dewasa yang di peragakan oleh Bumi dan Lunar. "Ehem, ma-maafkan saya, Tuan. Lain kali saya akan ketuk pintu setiap masuk," seru Tian merasa kikuk. "Tidak perlu!" sahut Bumi yang masih duduk di singgasananya. "Mulai sekarang, tempat kerjamu akan di luar dan Lunar akan berada di sini!"Lunar yang berada di samping lelaki ity segera menatap dengan tidak percaya. Mana ada sekretaris yang satu ruangan dengan atasannya? Jika berita itu sampai di telinga karyawan lain, pasti mereka akan semakin curiga padanya yang punya hubungan dengan Bumi. "Em, Tuan. Apakah tidak sebaiknya Septian di luar bersama saya saja? Setahu saya, yang namanya sekretaris selalu berada di depan ruangan atasannya. Kalau saya di dalam, yang ada karyawan lain akan menilai kita kurang baik," ucapnya berharap sang atasan mau mengerti. "Kamu pik
Lunar sungguh tidak menyangka bahwa wanita yang sangat membencinya akan membalik keadaan. Dia tidak tahu saja bahwa Bumi selalu tahu apa yang terjadi di kantornya. Sara itu pintar tapi juga bodoh. "Kenapa diam? Aku tanya sekali lagi, benar atau tidak?!" Bumi bicara lebih keras dengan wajah dingin dan datar. Tidak ada sahutan dari pada karyawan itu. Mereka seolah ragu untuk menjawab pertanyaan atasan mereka. "Kalian masih diam? Fine, aku akan cek CCTV! Jika wanita itu berbohong, maka bukan hanya dia yang akan aku pecat, kalian semua juga akan merasakan!" ancam Bumi menunjukkan senyum miringnya. "Masih banyak orang yang mau bekerja di perusahaanku!"Lunar menatap kagum pada suaminya, lalu dia melihat pada semua karyawan dengan angkuh. Biarlah mereka berkata apa pun tentangnya. Dengan kejadian ini setidaknya mereka akan berpikir dia kali untuk bersikap tidak sopan padanya. "Ja-jangan pecat kami, Tuan.""Iya, Tuan. Tolong jangan pecat kami."Bumi tersenyum sinis. "Kalian minta tidak di
Gundukan tanah basah masih ramai pelayat yang datang untuk melihat pemakaman Satria. Begitupun dengan Lunar yang datang bersama keluarga suaminya. Mereka datang sebagai bentuk rasa terima kasih karena Satria sudah memberikan mereka informasi serta secara tidak langsung merenggang nyawa demi menyelamatkan Lunar. "Semua ini pasti rencanamu 'kan Lunar?! Kamu sengaja menyuruh Satria naik mobilmu agar bisa kamu celakai! Kamu licik, Lunar!" sentak Mella yang hendak melayangkan tangannya pada Lunar, akan tetapi dia orang pengawal langsung mencegah bahkan mendorongnya dengan kasar. "Sialan kamu Lunar! Tidak cukup mengambil harta kami, kamu juga mengambil nyawa menantuku! Kamu sengaja melakukannya, iya 'kan?!" ucap Tuan Andre seraya membantu anaknya untuk berdiri tegak. Lunar yang mendengarkannya merasa jegah, bahkan sang suami sudah tampak kesal dengan wajah mengeratnya. Dia tahu, pasti keluarga benalu itu sengaja mengatakan hal tersebut karena banyak orang di sana dengan harapan dapat men
Seminggu berlalu setelah konferensi pers yang Bumi lakukan. Hal itu membuat sedikit perubahan, di antaranya adalah pandangan orang tentang Lunar yang tidak lagi negatif, meskipun masih ada yang membela Clara dan menyalahkan perempuan tersebut. Saat ini Lunar sudah berada di pabrik bersama mertuanya. Nyonya Mahendra tidak mau terjadi apa pun pada menantunya, sehingga dia memilih untuk ikut menantunya bekerja sekaligus untuk mengawasi perempuan itu agar tidak lelah bekerja. "Jangan capek-capek, Lunar. Kamu harus istirahat," ujar Mama Bumi pada menantunya yang mengecek berkas dari Anya yang selama ini meng-handle pabrik. "Baru beberapa menit, Ma. Kalau capek aku akan istirahat," sahut Lunar sambil tersenyum. Nyonya Mahendra tidak lagi berkata apa pun dan membiarkan menantunya untuk kembali bekerja dan membahas masalah pabrik.Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan di depan pintu membuat ketiga wanita yang ada di sana menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan seragam khas pab
Beberapa jam setelah ucapan yang dikatakan oleh Bumi, konferensi pers segera diadakan. Seluruh keluarga Mahendra, termasuk Lunar ada di sana seraya menatap pada wartawan yang berada di pihak mereka. "Tujuanku mengadakan konferensi pers ini adalah untuk memberitahu semua orang bahwa aku sudah menikah dengan perempuan di sampingku dan kami akan segera memiliki anak!" ujar Bumi sebagai pembuka. "Berita yang mengatakan bahwa istriku adalah pelakor, sangat salah besar. Akulah yang memintanya menikah denganku karena memang dialah yang layak untuk menjadi istriku!"Semua yang ada di sana memotret serta merekam perkataan pewaris Mahendra Corp itu. "Maksud anda apa dengan mengatakan bahwa perempuan di samping anda yang layak berada di posisi Nyonya Clara?" tanya seorang wartawan wanita dengan kacamata tebal. Lunar yang bersebelahan dengan suaminya menatap lelaki itu dengan perasaan yang tidak menentu. Namun, Bumi tersenyum seolah semua akan baik-baik saja. "Aku mengatakan hal itu karena ak
Lunar tidak menyangka bahwa apa yang dikatakan oleh kepala pelayan ada benarnya bahwa jika tidak ada yang mengaku siapa yang sudah melukainya, maka semua pelayan serta penjaga yang bersamanya akan kena hukuman. "Jadi ... belum ada yang mau mengaku? Ah, kalian lebih suka dipotong gaji rupanya!" ucap Nyonya Mahendra seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Yang melakukannya Suci, Nyonya," jawab kepala pelayan yang tidak mau semua temannya kena imbas hanya karena seorang pelayan yang tidak kompeten. "Benarkah?" seru Langit yang sedari tadi menyaksikan apa yang ibunya lakukan. "Ah, bukannya di dapur ada CCTV, kalau begitu kita lihat saja di sana. Dia sengaja atau tidak mencelakai Kakak Ipar."Sebenarnya Lunar kurang setuju dengan ide Langit karena dia yakin kalau pelayan itu tidak sengaja. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti apa yang hendak keluarga Mahendra lakukan. "Aku punya salinan CCTV di sini!" seru Bumi yang duduk di samping perempuan itu sambil memega
Tidak terasa sudah seminggu Lunar tinggal di rumah utama bersama suaminya. Tak ada hal cukup mengkhawatirkan, tetapi tetap saja semua yang ada di sana sangat protektif dan posesif padanya. Sama seperti saat ini, di mana Lunar tidak diperbolehkan untuk masak atau membuat kue. Akan tetapi, sang ibu mertua melarangnya seperti biasa. "Ayolah, Ma. Aku mau buat kue brownies keju buat Mas Bumi. Sekali ini saja, oke?" kekeuh Lunar dengan wajah memelasnya. Tidak tega melihat menantunya seperti itu, Nyonya Mahendra terpaksa mengijinkan perempuan itu untuk melakukan apa yang diinginkan. "Terima kasih, Mama," seru Lunar dengan girang seraya memeluk ibu mertuanya. "Asal Mama ada di sana! Kamu tidak boleh di sana sendiri dan cukup mengadonnya saja! Kalau butuh apa-apa, biar pelayan yang ambilkan. Oke nggak oke, harus oke!"Pasrah, itulah yang Lunar lakukan. Yang penting dia sudah diijinkan untuk membuat kue. Dari pada nanti anaknya ileran dan dia yang sebenarnya merasa bosan. Hingga kedua per
Setelah pembicaraan dengan papa mertuanya sudah selesai, Bumi, Langit, dan Nyonya Mahendra diperbolehkan masuk kembali ke ruangan itu. Langsung saja Bumi duduk di samping Lunar dan memeriksa keadaan istrinya yang memang tidak kenapa-napa. "Aku tidak apa-apa, Mas. Tadi hanya bicara biasa tentang apa yang harus aku lakukan selama menjadi menantu di sini," sahut Lunar sambil tersenyum pada sang suami. "Ck, kamu akan selamanya menjadi istriku!" balas Bumi dengan penuh keyakinan. "Baguslah kalau begitu! Tapi Mas harus selesaikan masalah dengan Mbak Clara dulu! Aku yakin bahwa dia tidak akan baik- baik saja setelah tahu apa yang terjadi dengan kita! Bisa saja dia akan ... ."Lunar menghentikan kalimatnya karena tidak sanggup membayangkan jika apa yang ada dalam benaknya sungguh-sungguh terjadi. "Kamu takut kalau Clara mencelakai kamu dan anak kita?" seru Bumi seraya memegang sebelah wajah istrinya. Anggukan dilakukan oleh Lunar karena dia sudah tahu betapa terobsesinya wanita itu ingi
Lunar tidak mengerti kenapa ayah mertuanya mau bicara berdua dengan dirinya. Banyak hal yang bercokol dalam benaknya, baik pikiran baik ataupun pikiran buruk yang saling beradu. "Aku tidak akan biarkan Papa berdua saja dengan istriku! Kalau memang Papa memaksa, maka aku akan membawanya pergi dari sini!" seru Bumi menatap tajam ayahnya. Tuan Mahendra mendengus sebal dengan kelakuan anaknya yang begitu posesif pada perempuan yang di samping lelaki itu. "Aku juga tidak akan membiarkan Lunar di sini bersama Papa! Bisa saja nanti Papa menggodanya! Awws, sakit, Ma!" sambung Langit yang seketika meringis karena dicubit oleh sang Mama. "Makanya kamu kalau bicara jangan sembarangan! Papa mau bicara dengan Lunar pasti memang ada hal penting yang mau dibicarakan!" ucap Nyonya Mahendra pada kedua anaknya, lalu melihat pada sang suami. "Kalau Papa mau bicara dengan Lunar, ada baiknya Mama juga di sini agar kedua anak kita tidak perlu khawatir."Dengusan dilakukan oleh Bumi dan Langit setelah
Setelah menyelesaikan masalah di pabrik, Lunar memberikan tugas selanjutnya pada Anya. Sedangkan dia keluar pabrik karena sudah janjian dengan sang suami. "Kita ke rumah utama, Pak," serunya pada sopir di depannya. Tak lupa juga dia mengirimkan pesan pada sang suami yang akhirnya akan dibaca saja tanpa ada niatan untuk membalas. "Ish, Mas Bumi selalu saja begitu! Lihat saja nanti kalau bertemu!" ucapnya dengan sebal. Mobil pun melaju dengan pelan karena sang majikan yang tidak mau jika terjadi apa-apa dengan istrinya. Padahal, Lunar sangat ingin segera lekas sampai. Meski di sisi lain, dia juga khawatir jika nanti ditolak oleh ayah dari suaminya. Hingga beberapa menit berlalu dan Lunar tidak menyangka bahwa mobil yang dia naiki sudah masuk dalam area perumahan yang sangat mewah sampai membuatnya melongo tidak percaya. "Ini rumah apa istana? Bagus dan mewah sekali," pujinya dengan tidak percaya. "Tuan sudah menunggu ada di dalam, Nyonya," kata sopir yang sudah membukakan pintun
Tidak ada rasa gentar dalam diri Lunar melihat wajah pamannya yang mengetat marah. Justru dia tetap duduk santai seraya memandang dengan senyum amat tipis. "Tuan Andre, tolong duduk dengan tenang! Dan jangan kurang ajar pada Nyonya Lunar! Beliau 'lah yang sudah membeli pabrik yang hampir bangkrut ini! Jika bukan beliau sudah pasti pabrik ini akan terbengkalau begitu saja!" seru pengacara yang ikut berdiri karena istri atasannya yang diperlakukan tidak sopan. Merasa tidak mampu untuk melawan, Tuan Andre kembali duduk. Apalagi sang anak dan menantu yang menarik tangannya untuk tidak berbuat gegabah. "Mulai saja, Pak!" kata Anya yang mewakili Lunar. Pengacara itu pun mengangguk seraya memberikan berkas pada perempuan di sampingnya. "Berkas tersebut adalah bukti bahwa pabrik ini dan seluruh isinya sudah menjadi milik Nyonya. Bahkan pekerja di sini ... ."Lunar mengangkat tangannya tanda agar pengacara tersebut berhenti. "Aku ingin data semua pekerja dan mungkin akan ada beberapa yang