“Sialan! Apa yang kau lakukan?!” Rekan Eldhan menggeram kesal.Maniknya memicing tajam, tapi ekspresi Eldhan tak kalah bengis. Bahkan dia semakin mencengkeram kerah pakaian sang rekan seperti akan menghajarnya habis-habisan.“Eldhan, ada apa denganmu? Apa kau mabuk?!” tanya rekan Detektif lainnya yang memiliki postur gempal.Dia berupaya menarik cekalan Eldhan dari temannya, tapi Eldhan seolah tuli karena tak menggubrisnya. Dirinya tak bisa menahan amukan jika menyangkut Anais. Terlebih dia tahu betul bagaimana beratnya masalah yang menimpa wanita tersebut. Mendengar hinaan tentangnya, Eldhan merasa dia sendiri yang sedang mendapat cacian.“Hei, lepaskan aku sekarang. Semua sedang melihat kita, apa kau sudah tidak waras?!” decak Detektif yang masih dicengkeram Eldhan.“Kaulah yang gila, berengsek! Beraninya mulut kotormu itu menyebut Anais sembarang. Kau tahu apa soal dia, hah?!” Eldhan menyentak kasar.“Apa? Anais?!” Manik sang rekan kian melebar.Senyum miring mulai merayapi bibirny
“Sungguh menjijikan!” Nada seorang wanita menyeru lantang di tengah keheningan Dante’s Gallery.Seketika, Eldhan yang semula memeluk Anais, kini langsung melepasnya cepat. Netra mereka membelalak kala menyadari Aretha ada di sana. Ya, bahkan kini putri kesayangan Pineti Devante itu berjalan mendekati keduanya.“Astaga, Aretha sangat merinding melihat tingkah Kak Anais!” decaknya sembari mengusap masing-masing lengan dengan telapak tangan yang berlawanan. “Aretha hampir tidak percaya jika wanita yang tengah berpelukan ini Kak Anais, tapi kenyataannya benar-benar mengejutkan!”Alih-alih menggubris bualan sang adik, Anais pun mengeram tak senang. “Untuk apa kau datang ke sini!?” “Mengapa? Apa Kak Anais takut, jika Aretha membocorkan kelakuan busuk Kak Anais yang sebenarnya? Ya … harusnya masyarakat memang tahu, seberapa rendahnya sifat asli Kakak!” Aretha langsung menyentak. “Bahkan belum lama ini Kak Anais pamer seorang pria ke rumah dan berkoar ingin menikah, tapi mengapa malah memeluk
“A-apa yang Ibu katakan?” Aretha tercengang. Mulutnya menganga seolah rahangnya akan jatuh, tapi ekspresi Leah malah seperti kian menganggapnya sampah. “Gaun itu sangat buruk! Mengapa kau malah memakainya?! Melihatnya saja aku sudah muak, bagaimana mungkin kau akan berjalan di altar menggunakan gaun itu dan dilihat para tamu?” Putri tunggal Hans Herakles itu mencecar keras. “Benar-benar mempermalukan keluarga Herakles!” Komentar pedas Leah, seketika membuat Aretha dan para bridesmaid di belakangnya tertegun kaku. Dia yang sudah lebih dulu melihat Anais mengenakan mermaid dress itu ketika berjumpa dengan Jade, sungguh ingin meledak. “I-ibu … mungkin Ibu salah paham. Ini gaun dari Denise Style, Ibu pasti tahu kualitas mereka karena Ibu pelanggan VVIP di sana. Bahkan Tuan Denise sendiri yang merancangnya, dan hanya ada satu.” Aretha menyahut buncah. Dirinya berpikir bahwa Leah akan mengerti jika dia menjelaskan, tapi balasan yang Arteha terima selanjutnya jauh lebih mengejutkan. “Ti
‘A-apa ini? Jangan bilang dia akan benar-benar menciumku?!’ Manik Anais membesar begitu Jade yang semula berjajar di sampingnya, kini beralih menatapnya lurus. Sang wanita yang menjadi pusat perhatian, tentu tak bisa mengacuhkan pria yang sekarang resmi menjadi suaminya. Terlebih sorakan para tamu juga menggema mengebaki seluruh gedung, meminta mereka untuk lekas memadu ciuman sebagai tanda kasih. Namun, netra Anais yang menyorot tajam seolah menggeram pada Jade. ‘Jangan berani menyentuhku!’ Sial, peringatan tanpa kata itu, rupanya diabaikan oleh sang pria. Anais tak bisa menerka isi pikiran Jade kala suaminya tersebut mendekat. Dadanya bergemuruh begitu wajah Jade semakin menjulur ke arah bibirnya. ‘Berengsek! Apa dia akan melanggar poin pertama, bahkan ketika—’ Sontak, tuturan Anais dalam batin seketika terhenti saat Jade benar-benar melakukannya. Akan tetapi, yang membuat dirinya dan seluruh tamu tercengang, pria itu menempelkan punggung tangannya di dekat bibir Anais dan baru
Anais bergidik ketika mendengar nada seorang pria menyeru dari belakang. Sensasi tegang pun menjalar ke punggung, hingga membuatnya kesulitan menelan saliva.‘Sial! Mengapa dia tiba-tiba datang?’ batin Anais mengumpat.Dia buru-buru menyembunyikan lingerie merah yang semula dia rentangkan. Namun, agaknya Jade sudah melihat pakaian seksi tersebut.Anais menata ekspresi tetap datar dan lantas berpaling, tapi mau sekeras apapun dia memasang topeng, kedua sisi pipinya justru bersemu. Dan Jade amat menyukai paduan raut wajah malu dan tegang itu.“Untuk apa Anda ke sini?! Sangat tidak sopan masuk sembarangan ke kamar tanpa mengetuk pintu!” tukas sang wanita sengit.“Apanya yang sembarangan, Nona? Masuk ke kamar sendiri tidak perlu mengetuk pintu.” Pria tersebut menjawab disertai alisnya yang terangkat.Arah tatapannya jelas menuju ke koper yang terbuka, dan itu membuat Anais kelimpungan menutupnya.Belum sempat Anais memintanya keluar, Jade malah berkata, “bukankah tadi ada seseorang yang m
“Hei, benar kau Anais ‘kan?!” Sosok lelaki yang berada di mobil seberang Jade, berteriak di jalanan seperti orang tak paham etika. “Apa kau mengabaikanku? Anais, lihat aku. Ini aku!” Dia melepas kacamata hitamnya, sembari memekik lebih kencang. Temperamen yang tampaknya sulit dikendalikan, membuat mata si lelaki melotot sebab wanita yang diajaknya bicara tak juga menanggapi. “Aish … dasar wanita sialan!” pungkasnya geram. Sungguh, mendengar cacian menjijikan itu ditujukan pada sang istri, Jade amat terganggu. Wajahnya mengeras seolah tak tahan ingin menghajar mulut busuk lelaki tersebut. Anais yang duduk di samping Jade baru tersadar dari lamunan ketika laki-laki tadi mengumpatinya. Dia menjulurkan tubuh, hendak menilik rupa orang tidak sopan itu. Namun, Jade malah menghalangi pandangan dengan wajahnya. “Apa kau mengenalnya?” tutur Jade dengan nada begitu dingin. “Aku baru akan tahu jika melihatnya.” Sang wanita menyambar dengan sorot tajam. Jade mendapukkan alisnya dan lantas
“Sayang?”Suara Aretha mengandung desahan kala Denver masih terus menjelajahi punggung mulus sang istri dengan tangannya.Wanita itu berniat menarik diri usai melepas ciuman Denver, tapi suaminya itu malah mengincar leher jenjangnya sebagai ganti. Entah apa yang mengisi pikirannya, tetapi nafsu Denver teramat membara. Dia menjajah kulit seputih susu istrinya dengan lidah kasarnya.Sungguh, erangan manja pun lolos dari mulut Aretha. Namun, dirinya sadar benar bahwa kini bukan saat yang tepat untuk melakukan ini.“Ah … Ibu mertua sedang menunggu kita, Sayang,” tutur Aretha berusaha menghentikan aksi suaminya.Baru ketika mendengar kalimat itu, akhirnya Denver pun tersadar. Dia menarik diri dengan senyum licik merayap di mulutnya.“Itu tidak seru, Sayang.” Denver mengeluh frustasi. “Haruskah kita batal menemui Ibu?”Tak langsung menjawab, Aretha malah tersenyum nakal. Dia menyangga dagu dengan sebelah tangan seraya berkata, “rupanya suami Aretha sangat suka bermain.”Telapak tangan lainn
‘Tuan Feanton?’ desis Anais dalam batin.Dirinya terkejut melihat lelaki yang pernah bicara angkuh padanya perkara hutang, kini malah menekuk tubuh dan membungkuk di depan dirinya.“Saya benar-benar tidak menyangka, ternyata kalian berjodoh. Ya, langit memang sangat adil. Tuan Jade yang tampan memang serasi bersanding dengan Nona Anais yang kecantikannya sudah menjadi rahasia umum rakyat San Pedro,” tukas Feanton pelan, tapi kata-katanya terkesan menjilat.Anais masih tetap bungkam, sementara Jade yang tampaknya sudah mengenal siapa itu Feanton, hanya memasang tampang dingin.“Terima kasih, tapi Anda terlalu berlebihan, Tuan Feanton,” sahut Jade menahan muak.Ekspresi sang lawan bincang berubah canggung. Dia mengangkat kedua alisnya seraya berkata, “mari duduk agar kita bisa mengobrol lebih nyaman.”Sebelum situasi menjadi kaku, lelaki itu membimbing Jade dan Anais di salah satu meja. Begitu mendaratkan tubuh di bangku, seorang pelayan pria datang dan meletakkan tiga gelas wine untuk
“Putramu sangat menggemaskan. Lebih baik kau bergabung bersama mereka,” tutur Hans tersenyum saat melihat Jade menggandeng anaknya. “Jade sudah menemaninya, aku akan di sini bersama Kakek.” Anais membalas selaras dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Meski dia bilang seperti itu, tapi Hans tahu benar bahwa cicitnya lebih membutuhkan Anais. “Bukankah Kakek sudah bilang, Jade tidak ingin putranya berakhir seperti dirinya. Jadi, kau harus membantu suamimu agar dia bisa memberikan kasih sayang yang berlimpah pada anaknya.” Mendengar nasihat Hans, kali ini Anais tak bisa bersikeras. Usai pamit pada kakek mertuanya, wanita itu pun menghampiri Jade dan sang putra yang sudah rapi dengan pakaian berkuda. “Reins!” tukas Anais menyeru. Ya, River Reiner Herakles-yang akrab disapa Reins oleh Anais itu adalah bocah lelaki kecil yang menawan dan energik. Semakin dia tumbuh besar, rupa wajahnya semakin mirip dengan Jade. “Lihat aku, Mommy! Apa aku sudah mirip Daddy?” tukas River memamerkan pen
***“Sebaiknya Anda berhenti minum, Tuan,” tukas seorang lelaki yang merupakan Asisten Pribadi Denver selama di Asia.“Singkirkan tanganmu, sialan!”Alih-alih menurut, Denver malah menampik tangan asistennya seraya mengumpat geram. Dia justru mengisi gelasnya dengan vodka karena pikirannya sangat semrawut. Akan tetapi, lagi-lagi asistennya menahan saat dirinya hendak meneguk minumannya.“Mengapa? Apa kau akan mengadu pada Kakek?!” decak Cucu kedua Hans tersebut.Dia merengkuh kerah sang asisten hingga wajah mereka lebih dekat. “Katakan pada Kakek, bahwa aku hanya bermain-main di sini. Laporkan saja kerjaku tidak becus dan hanya membuang waktu dengan para wanita penghibur. Bukankah itu sudah cukup untuk memenuhi laporanmu tentangku?!”“Tuan, Anda tidak boleh—”“Berisik!” Denver kembali menyambar dan lantas melepas cekalan tangan dari kerah asistennya.Dia menyabit gelas vodkanya, lantas meneguk minumannya hingga tandas. Begitu cairan memabukkan itu mengaliri tenggorokannya, pria itu m
“Dokter, bicaralah dengan jujur. Istri saya sedang dalam bahaya, tapi bagaimana bisa Anda mengatakan sesuatu yang konyol?!” Jade memberang seiring amarah perih menjalari raganya. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak ada pilihan lain, sebab jika kami memaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan pelurunya, bayi dalam kandungan istri Anda bisa dalam bahaya. Namun, apabila peluru itu tidak segera dikeluarkan, nyawa istri Anda bisa terancam,” balas Dokter itu dengan raut wajah gelisah. Memang, dirinya seperti menemui jalan buntu. Dia pun tidak bisa mengambil risiko sebab ini menyangkut hidup dan mati seseorang. “Se-sebab itu, kami menyerahkan keputusan pada Anda, selaku suaminya. Apapun pilihan—” “Pilihan?!” Jade lantas menyahut sebelum ucapan tenaga medis itu tuntas. “Apa yang Anda maksud dengan pilihan, Dokter? Anda sama saja meminta saya untuk membunuh salah satu dari mereka!” Manik abu pria tersebut tampak membesar dengan getir. Dirinya sungguh tak bisa mengambil keputusan mengenai perkar
Netra abu Jade membelalak selebar cakram begitu melihat peluru melesat ke dada kiri Anais. Sensasi terbakar bercampur perih, kini seolah menyobek jantung pria itu.“Tidak, Anais!” Dirinya buru-buru menuju istrinya, tapi tanpa dia tahu, Aretha malah mengarahkan pistol padanya.‘Dasar pasangan sialan! Lebih baik kalian ke neraka bersama!’ decak Adik angkat Anais itu dalam batin.Tangannya bersiap menarik pelatuk senjata apinya, tapi Carlein yang berada di belakang Jade, lebih dulu melesatkan tembakan hingga tepat mengenai lengan Aretha. Suara desingan peluru Cerlein sontak membuat semua orang tertegun, tapi Jade tanpa peduli hanya berlari pada Anais.Pria tersebut merengkuh sang istri yang masih terikat di kursi. Gelenyar merah pun merembes dari balik dress putih gading yang wanita itu kenakan. Dan begitu menyadari sang suami tiba, manik Anais pun bergetar seolah menemukan muaranya.“Jade … a-aku tahu kau akan datang. Kau pasti menemukanku di mana pun aku berada.” Anais bertutur dengan
***Nyaris satu jam, akhirnya Jade baru membuka ponselnya. Dan saat itu juga, keningnya mengernyit sebab ada beberapa panggilan tak terjawab dari sang istri. Dirinya yang kini berangkat menuju mansion Herakles, berupaya menelepon Anais kembali, tapi hasilnya nihil sebab istrinya tak mengangkat.“Mengapa dia tidak menerima panggilanku?” gumam Jade terserang bingung.“Mungkin saja Nyonya Anais saat ini sedang berbincang dengan Pimpinan, Tuan. Jadi Nyonya tidak sempat melihat ponselnya.” Carlein pun menyahut untuk menenangkan.Jika dipikir jernih, bisa saja itu benar, sehingga Jade pun membalas, “ya, mungkin. Terlebih lagi, Kakek sangat menantikan kelahiran bayi kami. Pasti Kakek mengajak Anais bicara banyak hal.”Jade menghela napas sembari merebahkan kepalanya di badan kursi mobilnya.‘Walau begitu, aku sangat cemas karena membiarkan Anais be
*** “Hei, mengapa di sini tidak ada minuman?!” Cedric membanting pintu lemari pendingin dengan emosi. Sepasang matanya yang cekung tampak mengerikan di wajahnya yang berang. Dia lantas menendang kursi, sampai membuat Aretha yang sedari tadi melihat sesuatu di laptopnya menjadi terusik. “Hah, sialan! Rumah macam apa ini?! Benar-benar memuakkan!” Cedric kembali mengumpat kasar. Sang adik yang sudah tidak tahan dengan tabiat kakaknya pun menyambar, “apa Kak Cedric buta? Di sana banyak air, apa susahnya minum air itu?!” “Aku tidak butuh air, berengsek! Tapi alkohol, alkohol, sialan! Aku benar-benar stress, jadi setidaknya berikan aku bir!” Putra sulung Tigris Devante itu kembali mendengus dengan amukan berapi-api. Dia yang merupakan seorang pecandu narkotika sudah kesulitan mendapat obat terlarangnya, hingga setiap hari hanya melampiaskannya pada minuman. “Aish, sial! Ini bukan bar. Jika Kakak ingin bir, pergilah ke bar atau club malam. Jadi berhentilah mengeluh dan mengumpat, karen
‘A-apa aku tidak salah lihat?’ Anais membatin seiring dengan maniknya yang berkedip.Dirinya tercengang mendapati Lariat Anne datang bersama seorang pria. Mungkin di mata publik itu adalah hal biasa, tapi bagi Anais ini sungguh tak terduga sebab pria yang tengah menemani Anne tak lain adalah Eldhan Hermeden.‘Apakah selama ini mereka saling kenal? Mengapa Anne bisa datang bersama Eldhan?’ sambung wanita itu dalam hati.Apa saja yang sudah Anais lewatkan? Dia cukup lama tidak melihat Eldhan sejak tahu bahwa pria tersebut memiliki perasaan padanya. Ya, meski saat itu Anais belum jatuh cinta pada Jade, tapi dirinya merasa aneh dan tak bisa menerima hati Eldhan.Dari lawan arah, Lariat Anne mendekat bersama Eldhan di sebelahnya. Dan seperti biasa, penampilan Anne yang glamor, kini diimbangi Eldhan yang tampil dengan setelan jas berkelas.“Selamat atas pelantikan Anda sebagai Presiden Direktur DV Group, Nona,” tuturnya disertai senyum anggun.Anais dengan santun pun membalas, “terima kasih,
“A-apakah pria yang ada di foto waktu itu adalah ayahmu?” Anais bertanya ragu-ragu, dan itu sekejap membuat Jade menaikkan kedua alisnya. “Foto apa yang kau maksud?” balas sang pria bertanya. Ada jeda beberapa saat sebelum Anais menjawab. Dan ya, wanita itu baru sadar bawah dulu dia masuk ke ruang rahasia penthouse Jade tanpa persetujuan suaminya. ‘Aish, mengapa aku jadi mengungkit masalah itu? Harusnya aku tidak usah membahas tentang ayahnya lagi ‘kan? Dia menyembunyikan foto-foto itu pasti karena suatu alasan. Sekarang dia pasti curiga padaku. Apa yang harus aku katakan?’ geming Anais bingung dalam batin. “Apa kau—” “Ma-maafkan aku, Jade.” Anais segera menyahut ucapan sang pria yang belum tuntas. “Saat itu, ketika kau memergoki diriku di ruang rahasia penthouse milikmu, aku tidak sengaja melihat foto anak laki-laki kecil bersama seorang pria. A-aku pikir, itu adalah dirimu dan ayah mertua.” Mendengar penjelasan sang istri, Jade sekarang ingat. Ya, untuk pertama kalinya, dia mel
Jade segera membuka amplop putih dari Carlein. Irisnya memindai penasaran sebab asistennya bilang dia telah ditipu. Dan ya, di bagian akhir surat hasil tes yang kini dipegangnya, Jade melihat jelas bahwa keterangannya negative! Dia bahkan membaca berkali-kali, khawatir bila matanya salah menilik. Akan tetapi, keterangannya memang menunjukan bahwa hasil tes DNA yang dia lakukan bersama Anais tidak cocok. “Apa arti surat ini, Carlein?” tukasnya menuntut penjelasan. Sang asisten segera menjawab dengan tegas. “Ini adalah hasil tes yang sebenarnya, Tuan. Dokter itu telah menipu Anda dengan memalsukan hasil tes menjadi positif karena permintaan seseorang.” Detik itu juga, manik abu Jade tampak menyorot tajam dengan alis saling mendapuk. Tak bisa dipungkiri bahwa dia sungguh senang jika ternyata dirinya dan Anais bukanlah saudara, tapi di sisi lain, pria tersebut pasti akan murka karena ada orang yang ingin main-main dengannya. Namun, Jade tak bisa langsung girang sebelum memastikan semua